Oleh : Muhammad Fathoni, S. Pd.I
1.
PENDAHULUAN
Filsafat
merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatu
secara mendalam dan sungguh-sungguh, radikal sehingga mencapai hakekat segala
situasi tersebut. Oleh karena itu, Filsafat termasuk ilmu istemewa yang mencoba
menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa,
karena masalah tersebut terdapat di luar atau di atas jangakauan ilmu
pengetahuan biasa.
Berfikir dengan filsafat (filosofis)
tersebut dapat digunakan dalam memahami ajaran agama (Islam), dengan harapan
agar hikmah, hakikat, atau inti dari ajaran tersebut dapat dimengerti dan
dipahami secara seksama. Berfikir secara filsafat inilah yang disebut sebagai
metode pendekatan filsafat dalam mengkaji studi Islam. Melalui pendekatan ini,
seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik
yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa,
kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah
pengakuan formalistik, misalnya sudah haji dan sudah menunaikan rukun islam
yang kelima dan berhenti sampai disana, mereka tidak dapat merasakan
nilai-nilai spritual yang terkandung didalamnya.[1]
Pendekatan filsafat dalam
penelitian agama Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu. Al-Qur’an bukan karya
filosofis baik dari prilaku maupun ajarannya. Allah menyampaikan wahyunya
melalui al-Qur’an untuk mengingatkan kembali kepada kita akan kebenaran-kebenaran
tentang Tuhan dalam hubungannya dengan manusia, tentang hidup di dunia dan
akhirat, mengutip cerita-cerita lama, menjanjikan imbalan atau hukuman atas
setiap perbuatan manusia. Tetapi di samping kebenaran-kebenaran keagamaan,
al-Qur’anpun memuat unsur-unsur kefilsafatan artinya pernyataan-pernyataan yang
memberikan bahan untuk direnungkan, tentang Tuhan, tentang penciptaan, tentang
alam semesta, tentang manusia, takdir dan lain sebagainya.[2]
Penelaahan
tentang Tuhan dalam perspektif filsafat lazimnya disebut teologi kodrati
atau teodise. Yang menjadi obyeknya adalah Tuhan sebagaimana dikenal
oleh akal kodrati. Penelaahan tentang Tuhan merupakan puncak metafisika yang
khusus, dan berbeda dengan metafisika lainnya yang membahas tentang “ada” pada
umumnya. Dan berbeda pula dengan teologi suci yang diterangi wahyu untuk
manusia di dalam iman kepercayaan.[3]
Iman
atau kepercayaan kepada Tuhan dapat dipertanggung jawabkan secara rational
dalam dua pengertian, secara teologis dan folosofis. Secara teologis,
iman dipertanggungjawabkan jika dapat ditunjukan bahwa apa yang diimani serta
kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu adalah sesuai dengan sumber
iman sendiri yang berupa wahyu. Jadi teologi berdasarkan wahyu agama yang
bersangkutan dan sekaligus wahyu adalah sumber kebenaran. Mengingat setiap
agama mempunyai wahyu atau dasarnya sendiri, maka setiap agama mempunyai
teologi tersendiri. Pertanggungjawaban iman secara teologis diarahkan dalam
rangka refleksi dan diskursus di dalam umat agama yang bersangkutan. Sedangkan
secara filosofis, iman dipertanggungjawabkan dan dipahami secara
rasional atau nalar sehingga filsafat ketuhanan hanya mempertanyakan hal-hal
yang paling mendasar atau inti, misalnya, tentang adanya Tuhan. Karena itu,
pertanyaan mendasar dari filsafat ketuhanan adalah: Bagaimana kepercayaan bahwa
ada Tuhan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional ?.[4]
Oleh
karenanya, mengartikan agama dengan menggunakan ilmu filsafat adalah filsafat
sebagai media untuk manusia mencari makna Tuhan atau ma’rifatullah secara
mendalam, dan menggunakan logikanya sebagai alat pencari makna islam itu
sendiri. Tetapi yang perlu digarisbawahi, logika manusia memiliki keterbatasan.
Sehingga Al-Quran tidak semua ayatnya dapat di terjemahkan secara logika,
contohnya saja ayat tentang keberadaan tuhan.
Dari
gambaran diatas ada pertanyaan yang menggelitik bagi bagi umat beragama
(khususnya orang Islam), karena sudah mafhum oleh kita bahwa manusia dilarang
untuk memikirkan eksistensi dzat Tuhan, namun sebaliknya hanya diperbolehkan
memikirkan hasil karya ciptaanNya (makhluk). Oleh karena itu pertanyaan : haruskah
Tuhan itu ada? haruskah Tuhan itu Esa dan mengapa harus Esa ?. Semua pertanyaan
ini dapat dijawab berdasarkan berbagai pendekatan filosofis, seperti ontologis,
epistimologis kosmologis, teleologis, dan moral.
2.
PEMBAHASAN
Filsafat
pada intinya beruapaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu
yang berada di balik obyek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar,
asas, dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriyah.
Sebelum membahas eksistensi Tuhan dalam Islam dengan
pendekatan filosofis, alangkah lebih baiknya kita bahas terlebih dahulu
beberapa bagian-bagian yang terkait dengan filsafat yang kemudian kita
elaborasikan dengan eksistensi Tuhan dalam agama Islam.
a. Pendekatan Ontologis.
Kata Ontology
(bahasa Inggris) atau kata sifatnya, ontologis, berasal dari bahasa
Yunani, yaitu; on atau ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi,
ilmu tentang). Dengan demikian, ontologi adalah pengetahuan tentang
eksistensi segala sesuata yang ada. Menurut Loren Bagus[5],
ontologi mengandung beberapa pengertian:
1)
Studi
mengenai ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri, yang berbeda
dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Studi tentang Yang Ada dalam
bentuk yang sangat abstrak mengajukan pertanyaan seperti: Apa itu Ada-dalam
dirinya sendiri? Apa hakikat Ada sebagai Ada ?
2)
Cabang
filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin
dengan menggunakan kategorisasi, seperti: ada/menjadi,
aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, esensi, keniscayaan, yang ada sebagai
yang ada, ketergantungan pada dirinya sendiri, hal mencukupi diri sendiri,
hal-hal terakhir, dasar.
3)
Cabang
filsafat yang mencoba ; melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang
Absolut, Bentuk Abadi Sempurna; menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya
bagi eksistensinya; dan menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang
bersifat individual dan hidup dalam sejarah realitas tertentu.
4)
Cabang
filsafat yang mengajukan pertanyaan; Apa arti “ Ada, Berada), dan yang
menganalisis macam-macam makna yang memungkinkan hal-hal yang dapat dikatakan
Ada atau Berada.
5)
Cabang
filsafat yang: menyelidiki jenis realitas suatu hal yang nyata; menyelidiki
jenis realitas yang dimiliki hal-hal, misalnya, apa yang dimiliki suatu
bilangan, dan menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas dan/atau ilusi.
Menurut
Juhaya S. Praja, ontologi merupakan ilmu pengetahuan yang menjelaskan hakikat
yang ada atau disebut pula sebagai teori hakikat. Jadi, ontologi
mempertanyakan, apa sebenarnya hakikat dari segala sesuatu yang ada.
Menurutnya, ada empat aliran filsafat yang memberi jawaban atas pertanyaan
tersebut, yaitu; materialisme, idealisme, dualisme, dan agnosticisme.[6]
Kita
ambil salah satu pandangan agnoticisme misalnya, dalam masalah eksistensi
Tuhan, aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak akan sanggup untuk
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan; pada prinsipnya aliran ini tidak
menafikan Tuhan secara tegas dan tidak juga mengatakan bahwa Tuhan itu ada.
Singkatnya, faham agnoticisme adalah ajaran keraguan sehingga dinamakan
pula sebagai aliran skepticisme, antara atheisme dengan theisme
sehingga memungkinkan untuk ditarik ke dalam lingkungan agama.[7]
Kaitannya
dengan pertanyaan eksistensi Tuhan; haruskah Tuhan itu ada? haruskah Tuhan itu
Esa ? dan mengapa harus Esa ?, maka argumen-argumen ontologis merupakan salah
satu upaya untuk membuktikan eksistensi Tuhan yang paling termasyhur dan
kontroversi, yang banyak dibahas oleh para filosof besar. Yang pertama kali
mengemukakan pertanyaan ini adalah Santo Anselmus dari Canterbury (1033-1109
M). Ia berargumentasi sebagai berikut: Allah adalah Pengada yang tak dapat
dipikirkan oleh sesuatu yang lebih besar daripada-Nya (id quo majus cogitari
nequit). Tetapi sesuatu yang tak dapat dipikirkan itu tentu bereksistensi
dalam kenyataan bukan hanya dalam pikiran, sebab jika eksistensi-Nya hanya
dalam pikiran subyek yang memikirkan, umpamanya dalam pikiran Anselmus sendiri,
maka tentu harus ada sesuatu yang lebih besar yang dapat dipikirkan, yakni; yang
nyata-nyata ada di luar pikiran. Maka, mengingat kita dapat memikirkan
Allah sebagai “Sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar
daripadanya”, maka Allah mesti
bereksistensi dalam kenyataan. Jadi eksistensi Allah tidak dapat disangkal.[8]
Bagaimana
argumen tersebut dapat dinilai ? Menurut Franz Magnis Suseno memberi tanggapan
sebagai berikut:
Pertama, perlu ditegaskan bahwa secara
prinsip dari memikirkan sesuatu tidak pernah dapat disimpulkan ke eksistensi
nyata tentang sesuatu yang dipikirkan itu, misalnya, dari analisa sebuah konsep
tak pernah diketahui apakah yang ditandai oleh konsep itu nyata-nyata ada atau
tidak. Dengan demikian, teka-teki argumentasi Anselmus dapat diungkap, yakni
yang dibuktikan hanyalah jika kita memikirkan Allah, Allah sebagai sesuatu yang
tak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya, dan karena itu Allah
harus dipikirkan sebagai bereksistensi dengan mutlak. Akan tetapi, pertanyaan
apakah memang ada “ sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih
besar daripadanya”, sama sekali belum terjawab. Memang jika Allah itu ada, maka
Allah memang tidak mungkin tidak ada; namun pertanyaan, “ apakah Allah ada”,
tidak dapat dijawab hanya dari bagaimana kita memikirkan-Nya.[9]
Dengan demikian, pembuktian ontologis Allah terbukti tidak absah.
Kedua, jika demikian argumentasi
ontologis tentang eksistensi Allah belum selesai . Oleh karena itu, kita harus
memikirkan eksistensi Allah itu dari realitas terbatas ke realitas mutlak. Yang
mutlak adalah sesuatu yang ada karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu
yang lain, yakni Allah itu mesti ada, dan karena itu mesti esa. Argumentasi ini
sangat sederhana dengan tiga langkah:
a.
Ditegaskan
bahwa kalau ada sesuatu, maka harus ada yang mutlak;
b.
Diperlihatkan
bahwa segenap realitas yang berubah-rubah tidak mungkin mutlak;
c.
Ditarik
kesimpulan bahwa selain realitas yang berubah-rubah mesti ada yang lain lagi, “
yang mutlak”, yang berbeda dengan realitas yang berubah-rubah itu.[10]
Selain
Anselmus, argumen ontologi disampaikan pula oleh Descartes. Menurut
Descartes, Allah adalah Yang Ada, sempurna dan tak terbatas. Karena itu,
wajib mengandaikan bahwa Allah itu Maha Kekal, Maha Kuasa, serta Maha Sempurna. Dialah sebab
keberadaanku, yang menanamkan ide tentang Dia dalam pikiranku, dan
pikiran-pikiran lain seterusnya.[11]
Sedang
menurut filosof muslim al Kindi, alam semesta berjalan secara teratur atas
dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat
Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek
utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one),
yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the
True One ini.[12]
Pertama-tama
al-Kindī menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya
sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular).
Kajian filsafat ketuhanannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas
itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam
partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda
memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan
hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat
universal dalam bentuk genus dan spesies.[13]
Al
Kindī berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan
keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari
sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari
banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari
individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian tubuh.
Selanjutnya,
ia berargumen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian,
bukanlah disebabkan oleh setiap serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus
ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab
itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang
Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan.
Hanya
saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī masih
terpengaruh oleh Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari
penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat
negatif, yaitu dengan ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak
seperti manusia.[14]
Namun tidak seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah
pencipta, bukan penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk,
tidak bertubuh. Tuhan adalah Penyebab dari segala sebab. Setelah melakukan
sebab itu, Tuhan tetap melakukan sesuatu (‘Illah al-Fā’ilah).
Disinilah
letak perbedaannya, Tuhan tidak diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang
mengatakan Tuhan tidak bergerak, sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun
setelah emanasi. Sehingga Tuhan dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang
partikular. Berbeda dengan al-Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.[15] Al-Kindī menyebut, Tuhan yang
seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi penyebab dan bertindak aktif.
Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku yang
metaforis (agen kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti.
Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia
membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bawah. Secara general, wujud alam
tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan.
Proses
keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang
terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bawah
adalah terdiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain
sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep
penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada melalui emanasi.
Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan.[16]
Namun,
analisis secara umum al Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah
pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah
konsep Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi al Kindī
alam dunia mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut
al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm.
Yang beremanasi dari sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.[17]
b. Pendekatan Epistemologis.
Kata
epistemologi berasal dari bahasa Yunani: episteme, yang berarti knowledge
atau pengetahuan. Logy berarti teori. Oleh sebab itu, epistemologi
diartikan sebagai teori pengetahuan atau filsafat ilmu. Terdapat
tiga persoalan pokok dalam bidang ini: Apakah pengetahuan itu ? Apa
sumber-sumber pengetahuan itu ? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang
dan bagaimana kita mengetahui? Apakah pengetahuan kita itu benar ?[18]
Pendekatan
ini dapat dipergunakan dalam memahami eksistensi atau kebenaran adanya Tuhan
Yang Maha Esa, yaitu berdasarkan sumber pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini,
Juhaya S. Praja menegaskan bahwa pengetahuan yang kian hari kian bertambah,
pada dasarnya bersumber kepada tiga macam sumber, yaitu: (1) pengetahuan yang
langsung diperoleh; (2) pengetahuan konklusi, dan (3) pengetahuan kesaksian dan
autoritas.[19]
Wujud
Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud,
eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh
akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi,
sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap
oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang
dinamakan wahyu.
Al
Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusia memiliki sisi kelemahan.
Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh
akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka,
manusia perlu dibimbing oleh wahyu.
c. Pendekatan Kosmologis.
Cosmology
(Inggris), berasal dari bahasa Yunani, cosmos (dunia, alam
semesta) dan logos (ilmu tentang, alasan pokok bagi, suatu
pertimbangan). Cosmologi sebagai suatu aliran filsafat mempunyai beberapa
pandangan, yaitu:
1) Ilmu tentang alam semesta sebagai
suatu sistem yang rasional dan teratur;
2) Sering ditunjukkan sebagai cabang
ilmu pengetahuan secara khusus, misalnya, astronomi, yang berupaya membuat
hipotesis mengenai asal, struktur, ciri khas, serta perkembangan alam fisik
menurut pengamatan dan metodologi ilmiah;
3) Ilmu yang memandang alam semesta
sebagai suatu sistem yang integral; dan bagian alam itu berdasarkan pengamatan
astronomi merupakan satu bagian dari keseluruhan;
4) Secara tradisional, cosmologi
merupakan cabang metafisika yang bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai
asal dan susunan alam raya, penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau
mekanisme, kodrat hukum, waktu, ruang, dan kausalitas. Tugas cosmologi berbeda
dengan ontologi; cosmologi mencoba mencari apa yang berlaku bagi dunia ini,
sementara ontologi berusaha mencari relasi-relasi dan pembedaan-pembedaan yang
dapat berlaku dalam dunia manapun.[20]
Tuhan
menurut Al Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa,
Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia
hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan
utama filsafatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya,
adalah menyelidiki kebenaran, maka filsafat pertamanya adalah pengetahuan
tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang
Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan
demikian corak filsafat al Kindī adalah teistik, semua kajian tentang
teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu,
sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika,
dan konsep Tuhan.[21]
Argumentasi
kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al Kindī dalam menjelaskan
ketuhanan. Bagi al Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab
kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah
sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab
dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak.
d. Pendekatan Moral.
Istilah
moral (Inggris) atau moralis (Latin), berasal dari mos
atau moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan),
atau mores (adat istiadat, tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Moral sebagai
suatu istilah ilmu mengandung pengertian:
1)
Menyangkut
kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagi baik/buruk, benar/salah, dan
tepat/tidak tepat.
2)
Sesuai
dengan kaidah-kaidah diterima menyangkut apa yang dianggap benar, bajik, adil
dan pantas.
3)
Sebagai
suatu kemampuan untuk mengarahkan atau diarahkan, mempengaruhi atau dipengaruhi
oleh keinsafan akan benar sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku yang dinilai
benar atau salah.
4)
Menyangkut
cara seseorang bertingkah laku dalam berhubungan dengan pihak lain.[22]
Dalam
ajaran Islam, penggunaan kata-kata moral, etika, sopan santun menunjukkan bahwa
konsep utama dalam al-Qur’an adalah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang
maha adil, dan bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep sucinya
hanyalah refleksi yang suram atau imitasi yang sangat tidak sempurna dari sifat
ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respon khusus yang diperoleh
dari perbuatan-perbuatan ketuhanan.[23] Di sini, seorang muslim
dituntut untuk sebisa mungkin meniru sikap etis Tuhan, karena pada kenyataannya
Tuhan merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam
teks suci al-Qur’an.
Banyak
para ahli merasa kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an
berkaitan dengan konsep moral dan etika religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan
al-taqwa. Perbuatan-perbuatan yang
baik biasa disebut shalihat,
sedangkan perbuatan yang buruk disebut sayyiat.
Perbuatan sayyiat secara umum disebut itsm atau wizr yaitu dosa atau kejahatan
yang arti asalnya adalah beban.[24]
Term-term
di atas menjadi dasar umat Islam terhadap pengembangan konsep-konsep moral,
yang disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan terhadap
term-term tersebut juga dijelaskan dalam al-Qur’an serta masing-masing memiliki
akibatnya. Perbuatan-perbuatan shalih akan membawa manusia kepada konsekuensi
yang baik bagi pelakunya dan perbuatan-perbuatan sayyiah juga akan membawa
pelakunya terhadap akibat yang dapat merugikan dan membebani dirinya sendiri.
Dari
keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa persoalan moral adalah persoalan
nilai tertinggi yang ingin dicapai manusia, apakah nilai tersebut berasal dari
manusia sendiri atau dari luar dirinya? Tentunya, nilai yang tertinggi adalah
harus bersumber dari dzat yang tak terbatas pula, yaitu Allah. Karena itu,
hukum Ilahi akan menjadi sumber kekuatan hukum moral kodrati yang
mengikat dan tak bersyarat, sehingga tujuan tertinggi manusia adalah
kebahagiaan. Tujuan ini akan tercapai di dunia lain bila manusia mengikatkan
dirinya sebagai milik Allah. Dengan demikian, secara moral keberadaan Tuhan
merupakan suatu kepastian sebagai sumber nilai tertinggi.
3.
KESIMPULAN
Dari pemaparan
diatas, ada beberapa meeting points yang
bisa kita ambil sebagai tambahan pengetahuan dan memperteguh keyakinan kita
akan eksistensi Tuhan (Allah), diantaranya adalah :
o
Pengetahuan
dan pemahaman tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi.
Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam
semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata
sebagai kausal pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya
bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.
o
Jadi
pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat. Namun
pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan
berpikir pada orang beriman. Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari
teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya
(Filsafat manusia, filsafat alam, dan lain-lain).
o
Maka
para filosof mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai
dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas tertinggi
yang dinamakan Allah itu, ide
dan gambaran Allah melalui segala sesuatu sekitar diri kita.
o Secara ontologis, keberadaan Tuhan
adalah suatu keniscayaan sebagai suatu realita tak terbatas (mutlak) yang mesti
Esa
o Secara epistemologis, Tuhan dipahami
sebagai sumber pengetahuan yang menerangkan bukti-bukti dan otoritatif bagi
para nabi atau rasul-Nya tentang eksistensi diri-Nya dan eksistensi lain-Nya.
o Secara kosmologis, eksistensi
Tuhan dapat dipahami sebagai asal segala yang ada, yang mesti ada dan mesti
esa;
o Secara moral, Tuhan menjadi
sumber nilai yang menerangkan mana jalan yang baik dan mana yang buruk, mana
yang benar dan mana yang salah;
4.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun
sebagai tambahan setetes pengetahuan akan eksistensi Tuhan dalam Islam. Saran
dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk kebaikan kita bersama
dan perbaikan penulisan makalah berikutnya. Atas perhatian dan partisipasinya
kami ucapkan terima kasih. Selamat berdiskusi..!!
DAFTAR PUSTAKA
Al Kindi,
A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy,
(First Published, 2006).
Bagus, Loren, Kamus Filsafat, edisi
pertama, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Fakhry, Madjid, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin
Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Izutsu,
Toshihiko, Etika Beragama Dalam Qur’an,
terj. Mansurddin Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995).
Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer (Yogyakarta: Kanisius Pustaka
Filsafat, 1993).
------------, Manusia Di Dalam
Allah (1), Masalah Ketuhanan Dewasa Ini (Yogyakarta: Kanisius, 1982).
Nasr,
Seyyed Hossein & Oliver Leamen (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan,2003).
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. (Jakarta:
Rajawali Pres, 2009).
Praja, Juhaya S., Aliran-Aliran
Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997).
------------, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. (Jakarta: Teraju,
2002).
Supriyadi,
Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009).
Suseno,
Franz Magnis, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006).
Zar, Sirajuddin Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2007).
No comments:
Post a Comment