oleh :
Muhammad Fathoni, S. Pd.I
I.
Pendahuluan
Kebudayaan adalah hasil rasa, karsa dan karya
manusia yang dimanifestasikan dalam kegiatan yang berkaitan dengan peradaban,
kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan
moral maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.
Sejarah peradaban Islam tentang Bani Umayyah
yang kami tulis ini bertujuan untuk lebih bisa memahami secara kritis tentang
peradaban dan kebudayaan Islam Bani Umayyah I (Timur) khususnya dan umumnya
semua peradaban dan kebudayaan Islam, jadi bukan berarti bahwa masalah-masalah
yang menyangkut kebudayaan dan peradaban Islam lainnya menjadi tidak penting
dalam pembahasan ini.
Pada kesempatan ini, penulis hanya memfokuskan
pada pembahasan sejarah peradaban Islam pada masa Bani Umayyah I yang meliputi
dari awal mula berdirinya Bani Umayyah, para khalifah yang berkuasa, bagaimana
kemajuan peradabannya dan prestasi yang dicapai serta kemunduran yang dialami
bani Umayyah sehingga kekuasaan pemerintahannya jatuh ke Bani Abbasiyah.
II.
Pembahasan
1.
Sejarah
Kelahiran Bani Umayyah
Pada saat Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai
khalifah, banyak terjadi pemberontakan. Diantaranya dari Mu’awiyah bin Abu
Sufyan (yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di Damaskus, Siria) dan
didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi yang telah dipecat Ali r.a. Disini
timbul indikasi konflik atau perang saudara karena Mu’awiyah menuntut balas atas
kematian Utsman.
Tatkala Ali beserta pasukannya bertolak dari
Kuffah menuju Siria, mereka bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di tepi sungai
Eufrat atas, Shiffin (657M). Terjadilah perang yang disebut perang
Shiffin. Perang ini tidak konklusif sehingga terjadi kebuntuan yang akhirnya
mengarah pada tahkim atau arbitrase. Dalam majlis tahkim ini ada dua mediator
atau penengah. Mediator dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari (gubernur
Kuffah), sedangkan mediator dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn al-Ash. Namun
tahkim pun tetap tidak menyelesaikan masalah.[1]
Menurut Ibnu Khaldun, setelah fitnah antara Ali
– Mu’awiyah, jalan yang ditempuh adalah jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka
berperang bukan untuk menyebar kebatilan atau menimbulkan kebencian, tapi
sebatas perbedaan dalam ijtihad dan masing-masing menyalahkan hingga timbul
perang. Walaupun yang benar adalah Ali, Mu’awiyah tidak melakukan tindakan
berlandaskan kebatilan, tetap orientasinya dalam kebenaran.[2]
Pihak Ali terpecah menjadi dua golongan, yaitu
Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali sekaligus menentang tahkim)
dan Syi’ah (para pengikut setia Ali). Di lain pihak, Mu’awiyah, yang saat itu
sebagai gubernur Damaskus melakukan strategi dengan menaklukkan Mesir dan
mengangkat ‘Amr ibn al-Ash sebagai khalifah di sana.
Jadi, di akhir masa pemerintahan Ali, umat Islam
terpecah menjadi tiga kekuatan politik; Mu’awiyah, Syi’ah, dan Khawarij.
Kemunculan Khawarij semakin memperlemah partai ‘Ali, di sisi lain Mu’awiyah
semakin kuat. Mu’awiyah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Yerusalem
(660). Kemudian ‘Ali wafat karena dibunuh oleh Ibn Muljam, salah seorang
anggota Khawarij (661).[3]
Setelah ‘Ali wafat, kursi jabatan kekhalifahan
dialihkan kepada anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya
(Syi’ah) yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu
percobaan yang tidak mendapat dukungan yang kuat. Hasan menjabat sebagai
khalifah hanya dalam beberapa bulan saja.[4]
Di tengah masa kepemimpinan Hasan yang makin
lemah dan posisi Mu’awiyah lebih kuat, akhirnya Hasan mengadakan akomodasi atau
membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian
tersebut adalah:
a)
Agar Mu’awiyah tidak menaruh
dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
b)
Menjamin keamanan dan memaafkan
kesalahan-kesalahan mereka.
c)
Agar pajak tanah negeri Ahwaz
diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
d)
Agar Mu’awiyah membayar kepada
saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
e)
Pemberian kepada Bani Hasyim
haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.[5]
Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam
kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya sebagai khalifah kepada
Mu’awiyah. Akibat perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi
penguasa absolut. Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui
forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali
oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia
dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am
jama’ah (661). Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah pengakuan
terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka, di sini
telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya
dapat dikatakan bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita.[6]
Persitiwa ini menandai dimulainya kekuasaan Bani
Umayyah dibawah kekuasaan tangan Muawiyah bin Abu Sufyan dan diteruskan secara
turun-temurun kepada keluarganya.
Setelah pergantian kekuasaan dari Ali bin Abi
Thalib ke Muawiyah, terjadi perombakan sistem kekuasaan dan pemerintahan. Sistem
kekhalifahan mengalami perubahan baru, yaitu sistem monarki (kerajaan). Suksesi
kepemimpinan seperti ini terjadi ketika Mu’awiyah menitahkan untuk mewariskan
jabatan kekhalifahan kepada anaknya, Yazid ibn Mu’awiyah. Maka dari sinilah
awal mula sistem kekhalifahan berlaku.
Penyebutan Bani/Daulah Umayyah disandarkan pada
nama Umayyah ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf, salah satu pemimpin suku Quraisy
pada zaman jahiliyah.[7]
Muawiyah bin Abu Sufyan, adalah tokoh penting
dalam Bani Umayyah, beliau terkenal dengan alim dan santun, juga termasuk salah
satu sahabat nabi yang sering menemani Rasulullah. [8]
Muawiyah ibn Abu Sufyan ibn Harb adalah pendiri
bani Umayyah dan sekaligus khalifah pertama. Dia juga termasuk orang yang
pertama kali dalam sejarah kekhalifahan memindahkan ibukota kekuasaan Islam
dari Kuffah ke Damaskus.[9]
Pernyataan
di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia
seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban
besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu
bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang
pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
2. Para Khalifah Bani Umayyah
Dinasti Umayyah sejak tahun 41 H/661 M sampai
tahun 132 H / 750 M, kurang lebih selama hampir satu abad atau 90 tahun. Di
mulai sejak masa pendirian bani Umayyah oleh Muawiyah dan ditutup oleh Marwan II.
Berikut ini adalah tabel urutan Khalifah Bani
Umayyah :[10]
Periode
|
Khalifah
|
Keterangan
|
41 H / 661 M
|
Muawiyah I (bin Abi Sufyan)
|
Pendiri Bani Umayyah, berkuasa selama ± 19
tahun
sekaligus tokoh paling berpengaruh
|
60 H / 680 M
|
Yazid I
|
Berkuasa selama ± 3 tahun, khalifah kejam dan
bengis (tragedi Karbala)
|
64 H / 683 M
|
Muawiyah II
|
Berkuasa tidak lebih dari 1 tahun
(mengundurkan diri karena sakit)
|
64 H / 684 M
|
Marwan I
|
Berkuasa tidak lebih dari 1 tahun (tidak
mendapat dukungan masyarakat)
|
65 H / 685 M
|
Abdul Malik
|
Berkuasa ± 21 tahun juga tokoh berpengaruh
(khalifah pertama yang mengenalkan mata uang Arab dan penggunaan bahasa arab
dalam pemerintahan / arabisasi)
|
86 H / 705 M
|
Al Walid I
|
Berkuasa ± 9 tahun (negarawan, arsitektur
ulung, perluasan masjid Nabawi, perluasan wilayah kekuasaan)
|
96 H / 715 M
|
Sulayman
|
Berkuasa ± 2 tahun (terjadi perang saudara
|
99 H / 717 M
|
Umar bin Abdul Aziz
|
Berkuasa ± 2 tahun, dikenal sebagai sufi-nya
Bani Umayyah, reformasi zakat & sodakoh, tidak ada orang miskin pada masanya
|
101 H / 720 M
|
Yazid II
|
Berkuasa ± 4 tahun, khalifah yang glamour dan
ekstravaganza, konflik dengan masyarakat
|
105 H / 724 M
|
Hisyam bin Abdul Malik
|
Berkuasa ± 19 tahun, banyak terjadi konflik di
masyarakat
|
125 H / 743 M
|
Al Walid II
|
Berkuasa ± 1 tahun, konflik juga belum mereda
|
126 H / 744 M
|
Yazid III
|
Berkuasa tidak lebih dari 1 tahun, banyak
terjadi pemberontakan
|
126 H / 744 M
|
Ibrahim
|
Berkuasa tidak lebih dari 1 tahun (periode
paling singkat), terjadi konflik internal keluarga)
|
127-132 H / 744 -750 M
|
Marwan II (bin Muhammad)
|
Berkuasa ± 5 tahun, banyak terjadi
pemberontakan, kekhalifahan jatuh ke tangan Bani Abbasiyah
|
3. Kemajuan Peradaban yang Dicapai
Kekuasaan bani Umayyah hampir satu abad, ini
bukan masa yang sedikit untuk menyebarkan agama Islam dan membangun sebuah
peradaban baru sehingga terciptalah peradaban yang islami. Ada beberapa
prestasi yang patut kita banggakan dari masa Bani Umayyah ini, karena telah
meletakkan pondasi awal untuk membangun peradaban Islam yang kokoh.
Adapun kemajuan-kemajuan yang diraih Bani
Umayyah diantaranya adalah :[11]
a.
Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada masa Dinasti Umayyah,
pusat pemerintahan dari Madinah dipindahkan ke Damaskus. Keputusan ini
berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari
Kufah, pusat kaum Syi’ah, dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim.
Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah
yang berada di bawah genggaman Mu’awiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat
menjadi gubernur di distrik ini sejak zaman Khalifah Umar bin al-Khattab.[12]
Dalam menjalankan
pemerintahannya, Khalifah Dinasti Umayyah dibantu oleh beberapa al-Kuttab
(sekretaris) yang meliputi :
a. Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b. Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal
yang berkaitan dengan ketentaraan.
c. Katib asy-Syurthah yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
d. Katib al-Qadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib
hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat. [13]
Kemudian, Mu’awiyah juga
memisahkan antara urusan keuangan dan urusan pemerintahan. Dia mengangkat
seorang gubernur di setiap provinsi untuk melaksanakan pemerintahan. Akan
tetapi, untuk memungut pajak, di masing-masing provinsi diangkat seorang
pejabat khusus dengan gelar Shahib al-Kharraj. Pejabat ini terikat dengan
gubernur, dan diangkat oleh khalifah. Dalam masalah keuangan, gubernur harus
menggantungkan dirinya pada Shahib al-Kharraj, dan hal ini membatasi
kekuasaannya. Demikianlah Mu’awiyah mengembangkan keadaan yang teratur dari
kekacauan.[14]
Dari
deskripsi diatas dapat kita ketahui bahwa jenis atau pola pemerintahan
terdahulu mulai berubah sejak zaman Mu’awiyah. Mu’awiyah bermaksud mengikuti
gaya pemerintahan monarki di Persia dan Bizantium. Ia tetap memakai istilah
khalifah, namun memberi interprestasi baru. Ia menyebut dirinya “khalifah
Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Menurut beberapa
ahli sejarah, pola pemerintahan yang dipakai pada masa Bani Umayyah adalah
Otokrasi. Walaupun telah berbentuk kerajaan, Bani Umayyah tetap membuktikan
eksistensinya dengan terus membuat kemajuan-kemajuan.
b.
Bidang Militer dan Ekonomi
Pemindahan ibukota dari Madinah ke Damaskus
melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari
pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada
sebuah kota yang kosmopolitan. Dari kota inilah daulah Umayyah melanjutkan
ekspansi kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat,
yaitu sebuah imperium Arab.[15]
Ekspansi yang berhasil dilakukan pada masa
Mu’awiyah antara lain ke wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke sungai
Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, serangan ke ibukota Bizantium
(Konstantinopel). Kemudian ekspansi ke timur dilanjutkan oleh khalifah Abdul
Malik yang berhasil menaklukkan Balkh, Sind, Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan
India. Ekspansi ke barat dilanjutkan pada masa al-Walid ibn Abdul Malik dengan
mengadakan ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju barat daya, benua Eropa.
Wilayah lainnya yang berhasil ditaklukan adalah al-Jazair, Maroko, ibukota
Spanyol (Kordova), Seville, Elvira, dan Toledo. Di zaman Umar ibn Abdul Aziz,
serangan dilakukan ke Perancis. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Siria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, dan sebagian Asia
Tengah.[16]
Mu’awiyah
mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan
jabatan Qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Abdul Malik ibn
Marwan adalah khalifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskan
di atasnya ayat-ayat al-Qur’an.[17]
Sejumlah
uang emas dan perak pernah dicetak sebelumnya pada masa ’Abd al-Malik, tapi
cetakan itu hanyalah tiruan dari mata uang Bizantium dan Persia. Selanjutnya
pada tahun 695-M, ’Abd al-Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni
hasil karya orang Arab. Wakilnya di Irak, al-Hajjaj, mencetak uang perak di
Kufah pada tahun berikutnya.[18]
c.
Bidang Sosial dan Budaya
Pada
masa Dinasti Umayyah, orang-orang muslim Arab memandang dirinya lebih mulia
dari segala bangsa bukan Arab (Mawali).
Orang-orang Arab memandang dirinya “sayyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab,
seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa
Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian
hak-hak bernegara.[19]
Masyarakat
pada masa Dinasti Umayyah terbagi ke dalam empat kelas sosial. Kelas tertinggi
biasanya diisi oleh para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan
kaum aristokrat Arab. Kelas sosial kedua adalah para muallaf yang masuk Islam
melalui pemaksaan sehingga negara mengakui hak penu mereka sebagai warga
muslim. Kelas sosial ketiga adalah anggota sekte dan para pemilik kitab suci
yang diakui, yang disebut ahl al-dzimmah,
yaitu orang Yahudi, Kristen dan Saba yang telah mengikat perjanjian dengan umat
Islam. Selanjutnya, kelas paling rendah dalam masyarakat adalah golongan budak.
Meskipun perlakuan terhadap budak telah diperbaiki, tetapi dalam prakteknya
mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah.[20]
Khalifah
Dinasti Umayyah banyak yang bergaya hidup mewah dan sama sekali berbeda dengan
para khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan
orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti
untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita
cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan tersebut
mereka digaji oleh pemerintah secara tetap.[21]
Selama periode kekuasaan Dinasti Umayyah, dua
kota Hijaz, Mekah dan Madinah, menjadi tempat berkembangnya musik, lagu dan
puisi. Sementara itu, kota kembar di Irak, Bashrah dan Kufah, berkembang
menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam. Di sini, kajian ilmiah
tentang bahasa dan tata bahasa Arab telah dimulai. Motif awalnya adalah
keinginan untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk agama Islam baru yang
ingin mempelajari Al-Qur’an, menduduki posisi pemerintahan, dan bisa
berinteraksi dengan para penakluk. Di samping itu, kesenjangan yang besar
antara bahasa klasik Al-Qur’an dengan bahasa percakapan
sehari-hari yang telah tercampur dengan bahasa Suriah, Persia dan bahasa
serta dialek lain menjadi pemicu munculnya minat pengkajian bahasa. Oleh karena
itu, bukan suatu kebetulan jika perintis tata bahasa Arab legendaris Abu
al-Aswad al-Duwali (wafat 688-M), berasal dari Baghdad.[22] Di
bidang kesastraan, muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn Abi Rabi’ah,
Tuwais, Ibnu Suraih, dan Al-Garidh.
d.
Bidang Ilmu dan Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan di masa ini mengalami perkembangan yang pesat, bahkan ilmu
pengobatan mencapai kesempurnaannya di Arab. Khalid bin Yazid memperoleh kesarjanaan
dalam ilmu kimia dan kedokteran, serta menulis beberapa buku tentang bidang
itu.[23] Khalid
bin Yazid (wafat tahun 704-M atau 708-M) putra khalifah Dinasti Umayyah kedua,
merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan
Koptik tentang kimia, kedokteran, dan astrologi. Meskipun terbukti legendaris,
mengasosiasikan penerjemahan itu kepada Khalid bin Yazid menjadi penting,
karena hal itu membuktikan fakta bahwa orang Arab menggali tradisi ilmiah
mereka dari sumber-sumber Yunani, dan dari sanalah mereka memperoleh tenaga
penggeraknya.
Naskah-naskah
astrologi dan kimia yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq (700-M-765-M),
seorang keturunan Khalifah ’Ali bin Abi Thalib, dan salah satu dari 12 imam
Syi’ah, telah diragukan keasliannya oleh para sarjana modern yang kritis.
Kenyataan paling tidak menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada masa
Dinasti Umayyah adalah bahwa ia tidak mewariskan kepada kita sumber-sumber
berbentuk dokumen yang bisa dijadikan bahan kajian.[24]
Keberhasilan Bani Umayyah yang didirikan
Muawiyah bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, karena jauh sebelum
Muawiyah menjadi khalifah sudah memiliki basis kekuatan yang dibangunnya sejak
di menjadi gubernur Damaskus.
Berikut ini adalah faktor keberhasilan Muawiyah
mendirikan bani Umayyah :
1.
Adanya dukungan yang solid dari
rakyat Suriah dan keluarga Bani Umayyah. Penduduk Suriah terkenal dengan system
kemiliteran yang kokoh, ini terbukti ketika melawan tentara Romawi.[25]
2.
Muawiyah sangat bijaksana dalam
memilih dan menempatkan para pembantunya untuk mengisi jabatan-jabatan penting,
tak pelak banyak yang menjulukinya sebagai administrator ulung.[26] Ada
tiga nama yang berpengaruh semasa pemerintahannya yaitu : Amr bin Ash, Mughirah
bin Syu’bah dan Ziyad bin Abihi, ketiga orang ini terkenal sebagai politikus
handal di kalangan Muslim Arab.
3.
Muawiyah adalah negarawan
sejati yang terkenal dengan kepiawaian dan kebijaksanaannya. Sebagai bukti
adalah keputusannya untuk mengawali sistem kekhalifahan pada masa Bani Umayyah.[27]
4. Masa Kemunduran Bani Umayyah
Berbagai kemajuan memang telah dicapai oleh bani
Umayyah, namun konflik internal tetap terjadi. Hal ini terbukti dengan
banyaknya gerakan pemberontakan yang muncul dan pada akhirnya menimbulkan
perang saudara.
Karena konflik internal dalam negeri yang tidak
bisa diselesaikan, akhirnya dinasti ini tumbang (750), dan digantikan dengan
Daulat Bani Abbasyiyah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayyah
melemah dan membawanya pada keancuran, yaitu:
-
Sistem pergantian khalifah melalui
garis keturunan merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang menekankan
aspek senioritas. Cara pengaturan yang tidak jelas serta terjadi persaingan
tidak sehat di dalam keluarga kerajaan.
-
Adanya permasalahan suksesi
kepemimpinan. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan
kekuasaan secara turun temurun mengakibatkan gangguan serius di tingkat Negara.[28]
-
Latar belakang Bani Umayyah
tidak lepas dari konflik politik pada masa Ali, jadi banyak perlawanan dari
golongan oposisi.
-
Terjadi pertentangan antar
etnis, antar suku dan status golongan mawali.
-
Sikap hidup mewah di istana
yang dilakukan anak-anak khalifah.
-
Muncul kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib.
-
Sisa-sisa kelompok pendukung Khalifah ‘Ali bin
Abi Thalib yang umumnya adalah kaum Syi’ah dan kelompok Khawarij terus aktif
menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka maupun secara tersembunyi. Tentu
saja gerakan oposisi ini sangat berpengaruh sekali terhadap stabilitas
pemerintahan Dinasti Umayyah.
-
Sebagian besar golongan Mawali
(non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak
puas dengan kebijakan pemerintahan Dinasti Umayyah. Karena status tersebut
menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka
tidak mendapat fasilitas dari penguasa Dinasti Umayyah sebagaimana yang
diperoleh oleh orang-orang Islam Arab.
-
Sikap hidup mewah di lingkungan
istana merupakan salah satu faktor lemahnya pemerintahan Dinasti Umayyah,
sehingga keturunan Dinasti Umayyah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan
ketika mereka mewarisi kekuasaan.
-
Terakhir, penyebab langsung
tergulingnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-’Abbas bin Abd al-Muthallib. Gerakan ini sepenuhnya
memperoleh dukungan dari Bani Hasyim dan kubu Syi’ah serta golongan
Mawali yang merasa dianggap sebagai masyarakat kelas dua oleh
pemerintahan Dinasti Umayyah.[29]
III.
Kesimpulan
Dari
penjelasan panjang diatas, dapat kita ambil benang merah dari peradaban Islam
pada masa Bani Umayyah sebagai penerus perjuangan pengembangang Islam masa
sebelumnya, dimulai sejak zaman nabi Muhammad hingga khulafaurrasyidin kemudian
diteruskan oleh daulah bani Umayyah.
1.
Masa-masa kejayaan atau keemasan
yang terjadi pada zaman Muhammad saw. dan khulafaurrasyidin telah berakhir dan
digantikan dengan masa kerajaan (Otokrasi) oleh Bani Umayyah.
Sebagaimana perputaran roda kehidupan, begitulah yang terjadi dalam sejarah
Islam, kadang berada pada posisi puncak kejayaan dan kadang berada pada posisi
paling bawah.
2.
Banyak yang mengecam
pemerintaan Bani Umayyah, namun kita jangan sampai lupa terhadap jasa-jasa
dinasti ini yang telah turut membangun sebuah peradaban. Di tangan Bani
Umayyah, Islam mengalami banyak kemajuan dengan tersebarnya hingga ke banyak
wilayah. Walaupun berubah sistem tapi syiar islam begitu luas.
3. Bani
Umayyah memang tidak bisa disalahkan begitu saja, karena pastinya para penguasa
ini mempunyai ijtihad tersendiri untuk merubah sistem musyawarah menjadi
warisan khalifah disamping kondisi dan tekanan yang terjadi di masa itu.
4. Bani
Umayyah lahir dari gejolak politik yang haus akan kekuasaan. Dinasti Umayyah
masuk Islam setelah penaklukan kota Mekah, dan hal ini dilakukan sebagai salah
satu upaya untuk menjaga kehormatan dan melanggengkan kekuasaannya. Akhirnya
ambisi Dinasti Umayyah tercapai juga oleh keturunan yang bernama Mu’awiyah bin
Abi Sufyan hingga mencapai masa keemasannya.
IV.
Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun sebagai
tambahan pengetahuan akan sejarah peradaban Islam pada masa Bani Umayyah. Saran
dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk kebaikan kita bersama
dan perbaikan penulisan makalah berikutnya. Atas perhatian dan partisipasinya
kami ucapkan terima kasih. Selamat berdiskusi..!!
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman,
Dudung dalam Siti Maryam, dkk (editor), Sejarah
Peradaban Islam, (Yogyakarta : Lesfi, 2002).
Ali, K., A
Study of Islamic History (Studi Sejarah Islam), penerjemah Adang
Affandi,( Jakarta : Bina Cipta, 1995).
As-Suyuthi,
Imam, Tarikh Khulafa’,( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003)
Esposito,
John L., Islam dan Politik,( Jakarta: Bulan Bintang, 1990).
Hajsmy, A., Sejarah
Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993).
Hitti, Philip K., History of The Arabs, penerjemah R. Cecep Lukman
Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010),
Hodgson,
Marshall G. S., The Venture of Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002).
J.Sayuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta : LSIK, 1994).
Lapidus,
Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam :
Bagian Kesatu dan Dua, terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo, cet. I, 1999).
Mahmudunnasir, Syed, Islam Its Concepts & History, (New Delhi :
Kitab Bhavan, 1981).
Mufrodi,
Ali, Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997).
Qardhawi,
Yusuf, Meluruskan Sejarah Umat Islam,
terj. Cecep Taufiqurrahman, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005).
Rais,
Dhiauddin, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
Syalabi,
A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Al
Husna, 1982).
Thohir,
Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, cet. I, 2004).
Watt,
Montgomery, Pengantar Studi Al Quran,(
Jakarta : Rajawali, 1991).
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003).
makasih kak,copas..
ReplyDeleteijin copy pk guru
ReplyDelete