Sunday, December 16, 2012

PERADABAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH


oleh : 
Muhammad Fathoni, S. Pd.I 
 

I.                   Pendahuluan
Kebudayaan adalah hasil rasa, karsa dan karya manusia yang dimanifestasikan dalam kegiatan yang berkaitan dengan peradaban, kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.
Sejarah peradaban Islam tentang Bani Umayyah yang kami tulis ini bertujuan untuk lebih bisa memahami secara kritis tentang peradaban dan kebudayaan Islam Bani Umayyah I (Timur) khususnya dan umumnya semua peradaban dan kebudayaan Islam, jadi bukan berarti bahwa masalah-masalah yang menyangkut kebudayaan dan peradaban Islam lainnya menjadi tidak penting dalam pembahasan ini.
Pada kesempatan ini, penulis hanya memfokuskan pada pembahasan sejarah peradaban Islam pada masa Bani Umayyah I yang meliputi dari awal mula berdirinya Bani Umayyah, para khalifah yang berkuasa, bagaimana kemajuan peradabannya dan prestasi yang dicapai serta kemunduran yang dialami bani Umayyah sehingga kekuasaan pemerintahannya jatuh ke Bani Abbasiyah. 

II.                Pembahasan
1.        Sejarah Kelahiran Bani Umayyah
Pada saat Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah, banyak terjadi pemberontakan. Diantaranya dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan (yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di Damaskus, Siria) dan didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi yang telah dipecat Ali r.a. Disini timbul indikasi konflik atau perang saudara karena Mu’awiyah menuntut balas atas kematian Utsman.
Tatkala Ali beserta pasukannya bertolak dari Kuffah menuju Siria, mereka bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di tepi sungai Eufrat atas, Shiffin (657M). Terjadilah perang yang disebut perang Shiffin. Perang ini tidak konklusif sehingga terjadi kebuntuan yang akhirnya mengarah pada tahkim atau arbitrase. Dalam majlis tahkim ini ada dua mediator atau penengah. Mediator dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari (gubernur Kuffah), sedangkan mediator dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn al-Ash. Namun tahkim pun tetap tidak menyelesaikan masalah.[1]
Menurut Ibnu Khaldun, setelah fitnah antara Ali – Mu’awiyah, jalan yang ditempuh adalah jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka berperang bukan untuk menyebar kebatilan atau menimbulkan kebencian, tapi sebatas perbedaan dalam ijtihad dan masing-masing menyalahkan hingga timbul perang. Walaupun yang benar adalah Ali, Mu’awiyah tidak melakukan tindakan berlandaskan kebatilan, tetap orientasinya dalam kebenaran.[2]
Pihak Ali terpecah menjadi dua golongan, yaitu Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali sekaligus menentang tahkim) dan Syi’ah (para pengikut setia Ali). Di lain pihak, Mu’awiyah, yang saat itu sebagai gubernur Damaskus melakukan strategi dengan menaklukkan Mesir dan mengangkat ‘Amr ibn al-Ash sebagai khalifah di sana.
Jadi, di akhir masa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik; Mu’awiyah, Syi’ah, dan Khawarij. Kemunculan Khawarij semakin memperlemah partai ‘Ali, di sisi lain Mu’awiyah semakin kuat. Mu’awiyah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Yerusalem (660). Kemudian ‘Ali wafat karena dibunuh oleh Ibn Muljam, salah seorang anggota Khawarij (661).[3]
Setelah ‘Ali wafat, kursi jabatan kekhalifahan dialihkan kepada anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah) yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan yang kuat. Hasan menjabat sebagai khalifah hanya dalam beberapa bulan saja.[4]
Di tengah masa kepemimpinan Hasan yang makin lemah dan posisi Mu’awiyah lebih kuat, akhirnya Hasan mengadakan akomodasi atau membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut adalah:
a)               Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
b)              Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
c)                Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
d)              Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
e)               Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.[5]

Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya sebagai khalifah kepada Mu’awiyah. Akibat perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661). Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita.[6]
Persitiwa ini menandai dimulainya kekuasaan Bani Umayyah dibawah kekuasaan tangan Muawiyah bin Abu Sufyan dan diteruskan secara turun-temurun kepada keluarganya.
Setelah pergantian kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib ke Muawiyah, terjadi perombakan sistem kekuasaan dan pemerintahan. Sistem kekhalifahan mengalami perubahan baru, yaitu sistem monarki (kerajaan). Suksesi kepemimpinan seperti ini terjadi ketika Mu’awiyah menitahkan untuk mewariskan jabatan kekhalifahan kepada anaknya, Yazid ibn Mu’awiyah. Maka dari sinilah awal mula  sistem kekhalifahan berlaku.
Penyebutan Bani/Daulah Umayyah disandarkan pada nama Umayyah ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf, salah satu pemimpin suku Quraisy pada zaman jahiliyah.[7]
Muawiyah bin Abu Sufyan, adalah tokoh penting dalam Bani Umayyah, beliau terkenal dengan alim dan santun, juga termasuk salah satu sahabat nabi yang sering menemani Rasulullah. [8]
Muawiyah ibn Abu Sufyan ibn Harb adalah pendiri bani Umayyah dan sekaligus khalifah pertama. Dia juga termasuk orang yang pertama kali dalam sejarah kekhalifahan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kuffah ke Damaskus.[9]
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.

2.     Para Khalifah Bani Umayyah
Dinasti Umayyah sejak tahun 41 H/661 M sampai tahun 132 H / 750 M, kurang lebih selama hampir satu abad atau 90 tahun. Di mulai sejak masa pendirian bani Umayyah oleh Muawiyah dan ditutup oleh Marwan II.
Berikut ini adalah tabel urutan Khalifah Bani Umayyah :[10]
Periode
Khalifah
Keterangan
41 H / 661 M
Muawiyah I (bin Abi Sufyan)
Pendiri Bani Umayyah, berkuasa selama ± 19 tahun
sekaligus tokoh paling berpengaruh
60 H / 680 M
Yazid I
Berkuasa selama ± 3 tahun, khalifah kejam dan bengis (tragedi Karbala)
64 H / 683 M
Muawiyah II
Berkuasa tidak lebih dari 1 tahun (mengundurkan diri karena sakit)
64 H / 684 M
Marwan I
Berkuasa tidak lebih dari 1 tahun (tidak mendapat dukungan masyarakat)
65 H / 685 M
Abdul Malik
Berkuasa ± 21 tahun juga tokoh berpengaruh (khalifah pertama yang mengenalkan mata uang Arab dan penggunaan bahasa arab dalam pemerintahan / arabisasi)
86 H / 705 M
Al Walid I
Berkuasa ± 9 tahun (negarawan, arsitektur ulung, perluasan masjid Nabawi, perluasan wilayah kekuasaan)
96 H / 715 M
Sulayman
Berkuasa ± 2 tahun (terjadi perang saudara
99 H / 717 M
Umar bin Abdul Aziz
Berkuasa ± 2 tahun, dikenal sebagai sufi-nya Bani Umayyah, reformasi zakat & sodakoh, tidak ada orang miskin pada masanya
101 H / 720 M
Yazid II
Berkuasa ± 4 tahun, khalifah yang glamour dan ekstravaganza, konflik dengan masyarakat
105 H / 724 M
Hisyam bin Abdul Malik
Berkuasa ± 19 tahun, banyak terjadi konflik di masyarakat
125 H / 743 M
Al Walid II
Berkuasa ± 1 tahun, konflik juga belum mereda
126 H / 744 M
Yazid III
Berkuasa tidak lebih dari 1 tahun, banyak terjadi pemberontakan
126 H / 744 M
Ibrahim
Berkuasa tidak lebih dari 1 tahun (periode paling singkat), terjadi konflik internal keluarga)
127-132 H / 744 -750 M
Marwan II (bin Muhammad)
Berkuasa ± 5 tahun, banyak terjadi pemberontakan, kekhalifahan jatuh ke tangan Bani Abbasiyah

3.     Kemajuan Peradaban yang Dicapai
Kekuasaan bani Umayyah hampir satu abad, ini bukan masa yang sedikit untuk menyebarkan agama Islam dan membangun sebuah peradaban baru sehingga terciptalah peradaban yang islami. Ada beberapa prestasi yang patut kita banggakan dari masa Bani Umayyah ini, karena telah meletakkan pondasi awal untuk membangun peradaban Islam yang kokoh.
Adapun kemajuan-kemajuan yang diraih Bani Umayyah diantaranya adalah :[11]
a.         Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada masa Dinasti Umayyah, pusat pemerintahan dari Madinah dipindahkan ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah, pusat kaum Syi’ah, dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah genggaman Mu’awiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi gubernur di distrik ini sejak zaman Khalifah Umar bin al-Khattab.[12]
Dalam menjalankan pemerintahannya, Khalifah Dinasti Umayyah dibantu oleh beberapa al-Kuttab (sekretaris) yang meliputi :
a.       Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b.      Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
c.       Katib asy-Syurthah yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
d.      Katib al-Qadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat. [13]

Kemudian, Mu’awiyah juga memisahkan antara urusan keuangan dan urusan pemerintahan. Dia mengangkat seorang gubernur di setiap provinsi untuk melaksanakan pemerintahan. Akan tetapi, untuk memungut pajak, di masing-masing provinsi diangkat seorang pejabat khusus dengan gelar Shahib al-Kharraj. Pejabat ini terikat dengan gubernur, dan diangkat oleh khalifah. Dalam masalah keuangan, gubernur harus menggantungkan dirinya pada Shahib al-Kharraj, dan hal ini membatasi kekuasaannya. Demikianlah Mu’awiyah mengembangkan keadaan yang teratur dari kekacauan.[14]
Dari deskripsi diatas dapat kita ketahui bahwa jenis atau pola pemerintahan terdahulu mulai berubah sejak zaman Mu’awiyah. Mu’awiyah bermaksud mengikuti gaya pemerintahan monarki di Persia dan Bizantium. Ia tetap memakai istilah khalifah, namun memberi interprestasi baru. Ia menyebut dirinya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Menurut beberapa ahli sejarah, pola pemerintahan yang dipakai pada masa Bani Umayyah adalah Otokrasi. Walaupun telah berbentuk kerajaan, Bani Umayyah tetap membuktikan eksistensinya dengan terus membuat kemajuan-kemajuan.

b.        Bidang Militer dan Ekonomi
Pemindahan ibukota dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada sebuah kota yang kosmopolitan. Dari kota inilah daulah Umayyah melanjutkan ekspansi kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat, yaitu sebuah imperium Arab.[15]
Ekspansi yang berhasil dilakukan pada masa Mu’awiyah antara lain ke wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, serangan ke ibukota Bizantium (Konstantinopel). Kemudian ekspansi ke timur dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik yang berhasil menaklukkan Balkh, Sind, Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan India. Ekspansi ke barat dilanjutkan pada masa al-Walid ibn Abdul Malik dengan mengadakan ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju barat daya, benua Eropa. Wilayah lainnya yang berhasil ditaklukan adalah al-Jazair, Maroko, ibukota Spanyol (Kordova), Seville, Elvira, dan Toledo. Di zaman Umar ibn Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Perancis. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Siria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, dan sebagian Asia Tengah.[16]
Mu’awiyah mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan jabatan Qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Abdul Malik ibn Marwan adalah khalifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat al-Qur’an.[17]
Sejumlah uang emas dan perak pernah dicetak sebelumnya pada masa ’Abd al-Malik, tapi cetakan itu hanyalah tiruan dari mata uang Bizantium dan Persia. Selanjutnya pada tahun 695-M, ’Abd al-Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Wakilnya di Irak, al-Hajjaj, mencetak uang perak di Kufah pada tahun berikutnya.[18]

c.         Bidang Sosial dan Budaya
Pada masa Dinasti Umayyah, orang-orang muslim Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (Mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya “sayyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara.[19]
Masyarakat pada masa Dinasti Umayyah terbagi ke dalam empat kelas sosial. Kelas tertinggi biasanya diisi oleh para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan kaum aristokrat Arab. Kelas sosial kedua adalah para muallaf yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga negara mengakui hak penu mereka sebagai warga muslim. Kelas sosial ketiga adalah anggota sekte dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang disebut ahl al-dzimmah, yaitu orang Yahudi, Kristen dan Saba yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam. Selanjutnya, kelas paling rendah dalam masyarakat adalah golongan budak. Meskipun perlakuan terhadap budak telah diperbaiki, tetapi dalam prakteknya mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah.[20]
Khalifah Dinasti Umayyah banyak yang bergaya hidup mewah dan sama sekali berbeda dengan para khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan tersebut mereka digaji oleh pemerintah secara tetap.[21]
Selama periode kekuasaan Dinasti Umayyah, dua kota Hijaz, Mekah dan Madinah, menjadi tempat berkembangnya musik, lagu dan puisi. Sementara itu, kota kembar di Irak, Bashrah dan Kufah, berkembang menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam. Di sini, kajian ilmiah tentang bahasa dan tata bahasa Arab telah dimulai. Motif awalnya adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk agama Islam baru yang ingin mempelajari Al-Qur’an, menduduki posisi pemerintahan, dan bisa berinteraksi dengan para penakluk. Di samping itu, kesenjangan yang besar antara bahasa klasik Al-Qur’an dengan bahasa percakapan sehari-hari yang telah tercampur dengan bahasa Suriah, Persia dan bahasa serta dialek lain menjadi pemicu munculnya minat pengkajian bahasa. Oleh karena itu, bukan suatu kebetulan jika perintis tata bahasa Arab legendaris Abu al-Aswad al-Duwali (wafat 688-M), berasal dari Baghdad.[22] Di bidang kesastraan, muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn Abi Rabi’ah, Tuwais, Ibnu Suraih, dan Al-Garidh.
d.        Bidang Ilmu dan Pengetahuan
Ilmu pengetahuan di masa ini mengalami perkembangan yang pesat, bahkan ilmu pengobatan mencapai kesempurnaannya di Arab. Khalid bin Yazid memperoleh kesarjanaan dalam ilmu kimia dan kedokteran, serta menulis beberapa buku tentang bidang itu.[23] Khalid bin Yazid (wafat tahun 704-M atau 708-M) putra khalifah Dinasti Umayyah kedua, merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik tentang kimia, kedokteran, dan astrologi. Meskipun terbukti legendaris, mengasosiasikan penerjemahan itu kepada Khalid bin Yazid menjadi penting, karena hal itu membuktikan fakta bahwa orang Arab menggali tradisi ilmiah mereka dari sumber-sumber Yunani, dan dari sanalah mereka memperoleh tenaga penggeraknya.
Naskah-naskah astrologi dan kimia yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq (700-M-765-M), seorang keturunan Khalifah ’Ali bin Abi Thalib, dan salah satu dari 12 imam Syi’ah, telah diragukan keasliannya oleh para sarjana modern yang kritis. Kenyataan paling tidak menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada masa Dinasti Umayyah adalah bahwa ia tidak mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk dokumen yang bisa dijadikan bahan kajian.[24]

Keberhasilan Bani Umayyah yang didirikan Muawiyah bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, karena jauh sebelum Muawiyah menjadi khalifah sudah memiliki basis kekuatan yang dibangunnya sejak di menjadi gubernur Damaskus.
Berikut ini adalah faktor keberhasilan Muawiyah mendirikan bani Umayyah :
1.        Adanya dukungan yang solid dari rakyat Suriah dan keluarga Bani Umayyah. Penduduk Suriah terkenal dengan system kemiliteran yang kokoh, ini terbukti ketika melawan tentara Romawi.[25]
2.        Muawiyah sangat bijaksana dalam memilih dan menempatkan para pembantunya untuk mengisi jabatan-jabatan penting, tak pelak banyak yang menjulukinya sebagai administrator ulung.[26] Ada tiga nama yang berpengaruh semasa pemerintahannya yaitu : Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah dan Ziyad bin Abihi, ketiga orang ini terkenal sebagai politikus handal di kalangan Muslim Arab.
3.        Muawiyah adalah negarawan sejati yang terkenal dengan kepiawaian dan kebijaksanaannya. Sebagai bukti adalah keputusannya untuk mengawali sistem kekhalifahan pada masa Bani Umayyah.[27]

4.     Masa Kemunduran Bani Umayyah
Berbagai kemajuan memang telah dicapai oleh bani Umayyah, namun konflik internal tetap terjadi. Hal ini terbukti dengan banyaknya gerakan pemberontakan yang muncul dan pada akhirnya menimbulkan perang saudara.
Karena konflik internal dalam negeri yang tidak bisa diselesaikan, akhirnya dinasti ini tumbang (750), dan digantikan dengan Daulat Bani Abbasyiyah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayyah melemah dan membawanya pada keancuran, yaitu:
-        Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang menekankan aspek senioritas. Cara pengaturan yang tidak jelas serta terjadi persaingan tidak sehat di dalam keluarga kerajaan.
-        Adanya permasalahan suksesi kepemimpinan. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan kekuasaan secara turun temurun mengakibatkan gangguan serius di tingkat Negara.[28]
-        Latar belakang Bani Umayyah tidak lepas dari konflik politik pada masa Ali, jadi banyak perlawanan dari golongan oposisi.
-        Terjadi pertentangan antar etnis, antar suku dan status golongan mawali.
-        Sikap hidup mewah di istana yang dilakukan anak-anak khalifah.
-        Muncul kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib.
-         Sisa-sisa kelompok pendukung Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang umumnya adalah kaum Syi’ah dan kelompok Khawarij terus aktif menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka maupun secara tersembunyi. Tentu saja gerakan oposisi ini sangat berpengaruh sekali terhadap stabilitas pemerintahan Dinasti Umayyah.
-        Sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintahan Dinasti Umayyah. Karena status tersebut menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas dari penguasa Dinasti Umayyah sebagaimana yang diperoleh oleh orang-orang Islam Arab.
-        Sikap hidup mewah di lingkungan istana merupakan salah satu faktor lemahnya pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga keturunan Dinasti Umayyah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan ketika mereka mewarisi kekuasaan.
-        Terakhir, penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-’Abbas bin Abd al-Muthallib. Gerakan ini sepenuhnya memperoleh dukungan dari Bani Hasyim dan kubu Syi’ah serta golongan  Mawali yang merasa dianggap sebagai masyarakat kelas dua oleh pemerintahan Dinasti Umayyah.[29]



III.        Kesimpulan
Dari penjelasan panjang diatas, dapat kita ambil benang merah dari peradaban Islam pada masa Bani Umayyah sebagai penerus perjuangan pengembangang Islam masa sebelumnya, dimulai sejak zaman nabi Muhammad hingga khulafaurrasyidin kemudian diteruskan oleh daulah bani Umayyah.
1.    Masa-masa kejayaan atau keemasan yang terjadi pada zaman Muhammad saw. dan khulafaurrasyidin telah berakhir dan digantikan dengan masa kerajaan (Otokrasi) oleh Bani Umayyah. Sebagaimana perputaran roda kehidupan, begitulah yang terjadi dalam sejarah Islam, kadang berada pada posisi puncak kejayaan dan kadang berada pada posisi paling bawah.
2.    Banyak yang mengecam pemerintaan Bani Umayyah, namun kita jangan sampai lupa terhadap jasa-jasa dinasti ini yang telah turut membangun sebuah peradaban. Di tangan Bani Umayyah, Islam mengalami banyak kemajuan dengan tersebarnya hingga ke banyak wilayah. Walaupun berubah sistem tapi syiar islam begitu luas.
3.   Bani Umayyah memang tidak bisa disalahkan begitu saja, karena pastinya para penguasa ini mempunyai ijtihad tersendiri untuk merubah sistem musyawarah menjadi warisan khalifah disamping kondisi dan tekanan yang terjadi di masa itu.
4.   Bani Umayyah lahir dari gejolak politik yang haus akan kekuasaan. Dinasti Umayyah masuk Islam setelah penaklukan kota Mekah, dan hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kehormatan dan melanggengkan kekuasaannya. Akhirnya ambisi Dinasti Umayyah tercapai juga oleh keturunan yang bernama Mu’awiyah bin Abi Sufyan hingga mencapai masa keemasannya.

IV.         Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun sebagai tambahan pengetahuan akan sejarah peradaban Islam pada masa Bani Umayyah. Saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk kebaikan kita bersama dan perbaikan penulisan makalah berikutnya. Atas perhatian dan partisipasinya kami ucapkan terima kasih. Selamat berdiskusi..!!


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung dalam Siti Maryam, dkk (editor), Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta : Lesfi, 2002).
Ali, K., A Study of Islamic History (Studi Sejarah Islam), penerjemah  Adang Affandi,( Jakarta : Bina Cipta, 1995).
As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa’,( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003)
Esposito, John L., Islam dan Politik,( Jakarta: Bulan Bintang, 1990).
Hajsmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993).
Hitti, Philip K., History of The Arabs, penerjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010),
Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002).
J.Sayuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta : LSIK, 1994).
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam : Bagian Kesatu dan Dua, terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, cet. I, 1999).
Mahmudunnasir, Syed, Islam Its Concepts & History, (New Delhi : Kitab Bhavan, 1981).
Mufrodi,  Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997).
Qardhawi, Yusuf, Meluruskan Sejarah Umat Islam, terj. Cecep Taufiqurrahman, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005).
Rais, Dhiauddin, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1982).
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, cet. I, 2004).
Watt, Montgomery, Pengantar Studi Al Quran,( Jakarta : Rajawali, 1991).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).