Showing posts with label institusi pendidikan islam. Show all posts
Showing posts with label institusi pendidikan islam. Show all posts

Wednesday, January 13, 2021

INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM PRA KEBANGKITAN MADRASAH DAN KUTTAB

 

  1. Pendahuluan

 Pendidikan Islam secara umum dimulai sejak berjibakunya Nabi Muhammad saw dengan masyarakat Arab Quraisy di Makkah. Awal pendidikan Islam secara resmi ketika turunnya wahyu pertama dilanjutkan wahyu kedua dan dikuatkan dengan turunnya surat al-Hijr: 94-95[1] tentang cakupan pendidikan Islam sudah waktunya meluas menuju masyarakat Inter­nasional dengan memanfaatkan kegiatan haji pada tahun ke 12 kenabian. Kegiatan pendidikan Islam menjadi keharusan dilakukan nabi Muhammad saw untuk menyadarkan bangsa Arab tentang arah kehidupan manusia di dunia ini. Pola pendidikan Islam awal tentu tidak seperti keadaan yang kita kenal sekarang dengan fasilitas lengkap dan modern. Sesuai masanya pendidikan Islam awal, sangat sederhana dengan fasilitas seadanya, namun outputnya tidak bisa diabaikan, para ulama berpendapat, bahwa hasil didikan awal tersebut menjadi generasi terbaik sepanjang sejarah.

Adapun pembahasan sesi ini akan difokuskan pada; pengertian lembaga pendidikan Islam, perkembangan pendidik­an Islam periode awal dan institusi-institusi pendidikan Islam pra kebangkitan Madrasah dan Kuttab, kesimpulan dan soal-soal latihan

  1. Pembahasan
  1. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam

Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, yaitu:

  1. Pengertian secara fisik, materil, konkrit
  2. Pengertian secara non-fisik, non-materil dan abstrak[2]

Dalam bahasa Inggris, lembaga disebut institut (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam penger­tian nonfisik disebut dengan pranata[3].

Ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian lembaga, pertama pengertian fisik materil, konkret, dan kedua pengertian secara nonfisik, non materil dan abstrak. Adanya dua versi pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek nonfisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan membantu mencapai tujuan. Adapun lembaga pendidikan Islam secara terminologi dapat diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian konkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian secara abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri[4].

Secara terminologi menurut Hasan Langgulung lembaga pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya, baik yang tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah mesjid, sekolah, kuttab dan sebagainya. Pendidikan Islam termasuk bidang sosial sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga sosial tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu:

  1. Asosiasi, misalnya universitas, persatuan atau perkumpulan,
  2. Organisasi khusus, misalnya penjara, rumah sakit dan sekolah-sekolah,
  3. Pola tingkah laku yang menjadi kebiasaan atau pola hubungan sosial yang mempunyai hubungan tertentu[5].

Lembaga sosial adalah himpunan norma-norma tentang keperluan-keperluan pokok di dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Berdasarkan uraian di atas, lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dan ber­tanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. Adapun lembaga pendidikan Islam dapat diartikan dengan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan[6].

  1. Awal Perkembangan Pendidikan Islam

Perkembagan pendidikan Islam dikelompokkan kepada tiga   tahap dan dua periodisasi (Makah dan Madinah).

  1. Tahap Pendidikan Islam pada Periode Makah

Tahapan Pertama ditandai ketika Nabi Muhammad saw melakukan pendidikan secara sembunyi-sembunyi terhadap kaum kerabatnya di Makah. Aktifitas tersebut setelah wahyu pertama surat al-‘Alaq 1-5 diturunkan Allah swt melalui malaikat Jibril (ar-Ruh- al Amin).

Perkembangan pendidikan Islam masa sembunyi-sembunyi terbatas untuk kaum kerabat dan orang-orang dekat nabi dari golongan bani Hasyim dan sebagian kecil golongan Bani Makhzum[7]. Kegiatan pendidikan Islam langsung dibina nabi Muhammad saw yang diadakan di rumah Arqam bin Abi Arqam. Pendidikan di rumah Arqam bin Abi Arqam berlangsung selama 3 tahun sampai turun wahyu kedua dalam surat al-Mudatsir 1-7.

Adapun para sahabat awal (as-Sabiquuna-al-Awwaluun) yang menjadi peserta didik (menerima dakwah) Nabi ialah istri nabi sendiri, Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar as-Shidiq dan Arqam bin Abi Arqam. Intensitas pendidikan di rumah Arqam lebih ditingkatkan seiring semakin bertambahnya jumlah orang- orang yang bergabung yang kebanyakan mereka adalah golongan mustad’­afin (terpinggirkan) secara ekonomi dan politik kekuasaan di Makah.

Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy (1999) menyebut­kan, ketika orang-orang yang menganut Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan perempuan, pembinaan dan pengajaran pada tahap ini kemudian telah menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan perempuan penganut Islam[8]. Materi-materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan nabi fokus pada mengajarkan al-Qur’an dan Sunnah[9], orientasi materi bertitik tolak pada;

  1. Penanaman ketauhidan ke dalam jiwa para sahabat, sehingga setiap tingkah laku para sahabat mampu me­man­carkan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap tingkah lakunya baik dalam keadaan sendiri maupun bersama-sama di lingkungan keluarga dan masyarakat. Efek dari penjewantahan nilai-nilai tersebut ikut membantu proses penyebaran secara tidak langsung pendidikan Islam ke tengah-tengah masyarakat Quraisy yang lebih luas[10].
  2. Pendidikan ibadah, amal ibadah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad di Makah tentang shalat, sebagai per­nyataan pengabdian hanya kepada Allah swt. Ibadah shalat juga titik balik pengingkaran kaum muslimin awal kepada tuhan-tuhan nenek moyang bangsa Arab sekaligus proses penanaman tauhid uluhiyah[11].
  3. Pendidikan akhlak, nabi Muhammad saw sangat meng­anjurkan penduduk Makah yang telah menerima Islam agar melaksanakan akhlak yang terpuji, seperti; mene­pati janji, pemaaf, bersyukur, tawakal, tolong menolong, berbuat baik kepada ibu bapak, membantu orang miskin dan orang musafir dan meninggalkan akhlak yang buruk[12].

Sedangkan untuk perencanaan pembelajaran al-Qur’an sebagaimana disebutkan as-Suyuti (dalam Syalabi) bahwa para sahabat menghafal 10 ayat. Di mana jumlah ini tidak ditambah sampai materi tersebut difahami dan diamalkan oleh para sahabat (peserta didik)[13].

Peren­cana­an pembelajaran seperti di atas dinamai hidden curriculum (kurikulum tersembunyi). Namun walaupun tersembunyi kurikulum tersebut telah terstruktur dengan baik bila dibandingkan dengan sistem pen­didikan modern hari ini. Nabi Muhammad saw ternyata jauh-jauh hari telah dengan cerdas meletakkan dasar-dasar kurikulum yang terukur model perencanaan pendidikan Islam. Perencanaan yang telah dibuat nabi tersebut dianggap luar biasa, mengingat ilmu-ilmu pedagogik belum dikenal. Ilmu pedagogik yang berkembang masa itu masih mengandalkan aspek oral (lisan). Adapun selain oral seperti tulis baca masih belum dikenal secara luas, sehingga dengan situasi demikian membuat perencanaan pembelajaran seperti sekarang adalah menjadi tidak mungkin lahir.

Kondisi yang sangat sederhana itu ternyata merupakan kunci keberhasilan pendidikan Islam. Pertanyaannya adalah mengapa bisa demikian? Hal tersebut karena penekanan pendidikan Islam diarahkan berdasarkan pada konteks keahlian dan kemampuan peserta didik. Peserta didik dibina dan ditempa sampai benar-benar matang dan siap dengan keahlian yang diinginkan Nabi Muhammad saw sebagai pendidik. Proses pendidikan diseting dengan menetapkan setiap indikator keberhasilan harus tercapai dengan sempurna, baru kemudian disusul dengan materi selanjutnya. Terkadang untuk satu materi Nabi sering mengulangi sampai ranah afective peserta didik mampu berkembang dengan baik.

Pola pendidikan seperti ini juga telah membawa keberhasilan yang signifikan atas kegiatan pendidikan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan (1868-1923 M) di Yogyakarta saat beliau melakukan gerakan perubahan di sana. Disebutkan pada salah satu pertemuan (pengajian al-Qur’an di Langgar), KH. Ahmad Dahlan ditanya oleh peserta didiknya tentang pengkajian surat al-Maun yang tidak pernah selesai dibahas. Mereka protes mengapa pelajaran selanjutnya tidak diberikan oleh KH. Ahmad Dahlan kepada mereka.

Menyikapi nada protes peserta didiknya tersebut KH. Ahmad Dahlan melemparkan sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh para peserta didiknya, yaitu sudahkah mereka melak­sanakan materi-materi yang sedang dibahas tersebut. Setelah mendengar pertanyaan demikian dari KH. Ahmad Dahlan para peserta didiknya terdiam, karena memang mereka belum melaksanakannya.

Sangat urgen sekali hari ini, walau kita tidak boleh menyebutkan kata terlambat terhadap proses yang baik seperti yang dilakukan Nabi dan KH. Ahmad Dahlan di atas, bahwa sudah mesti menyingkapkan kekaburan pemikiran kolektif kita bahwa perencanaan pendidikan berbasis keahlian dan kemam­puan perlu kembali dijewantahkan dengan konsisten oleh para perencana dan pelaku pendidikan (dosen, guru dll) agar pembelajaran menjadi lebih mendapatkan makna esensialnya. Maksudnya adalah jangan sampai proses pendidikan hanya berjibaku pada indikator berbasis kejar setoran dengan menetapkan target waktu tertentu sementara kita sering mengalpakan perhatian terhadap bagaimana peningkatan kemampuan peserta didik dari waktu ke waktu. Dengan demikian pelajaran yang ditambah hanya menjadi sampah intelektual belaka.

Mungkin penjelasan di atas merupakan bentuk ‘kegalauan’ yang mewakili kesadaran esensi pendidikan Islam yang terkubur dan telah menghilang yang perlu dibangkitkan kembali. Tentu saja untuk mengembalikan apa yang dijelaskan di atas memerlukan perubahan mindset berani dalam mengajar materi agama Islam. Adapun perubahan pemikiran (mindset) yang berani itu adalah tidak ragu menabrak sistem pendidikan yang ada dengan semangat kecerdasan. Kita sadari bahwa pengajar tidak hanya menciptakan proses transfer knowledge belaka, namun lebih jauh, yang menjadi lebih penting menanamkan nilai-nilai ilmu itu kepada peserta didik yang muaranya menjadi pakaian kepribadiannya.

Adapun metode pendidikan yang digunakan oleh Rasulullah periode Makah ada beberapa bentuk, diantaranya yaitu[14]:

  1. Metode Personal, metode semacam ini terjadi dengan cara individual, yaitu antara dai (pendidik/penceramah) dan mad’u (jamaah). Dengan langsung bertatap muka sehingga materi yang disam­paikan langsung diterima, dan biasanya reaksi yang ditimbulkan mad’u langsung diketahui. Pendekatan ini Rasul lakukan untuk mencegah guncangan reaksioner di kalangan masyarakat Quraisy, yang pada saat itu masih percaya dengan kepercayaan animisme warisan leluhur mereka.
  2. Metode Diskusi,di mana Dai sebagai narasumber sedang­­kan Mad’u sebagai audience. Tujuannya ialah untuk pemecahan problematika yang ada kaitannya dengan dakwah, sehingga apa yang menjadi per­masalahan dapat ditemukan jalan keluarnya. Pada masa sembunyi-sembunyi diskusi masih seputar ke­tauhidan, atau apa saja ajaran Islam itu, dan juga mengenai kehidupan setelah mati. Diskusi pada kondisi seperti itu tidak leluasa karena harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
  3. Metode Bi al-Hal, dakwah metode ini dilakukan dengan ajakan melalui upaya penyatuan antara pemahaman atau pengetahuan (thinking) dengan keya­kin­an atau perasaan (feeling). Dengan demikian, dakwah dengan metode ini dapat dilakukan dengan mauidhah hasanah (memberi contoh teladan).

Metode pendidikan dan pengajaran ini sesuai dengan kebutuhan dan situasi makah dalam kurun 3 tahun masa pendidikan Islam periode sembunyi-sembunyi. Di mana taktik ini dilakukan agar pemimpin Quraisy tidak terlalu terkejut atas kehadiran Islam di Mekah. Masalah kema­pan­an agama dan hirarkis kekuasaan yang ada di Makah sangat sulit memberikan celah untuk munculnya agama baru apalagi agama Islam.

Adapun Islam dengan doktrin dan misinya telah dianggap sangat revolusioner dan sangat radikal. Misi Islam yang dianggap terlalu ekstrem radikal tersebut adalah upaya mencongkel kemapanan kaum borjuis (kaya) dengan penyamarataan antara budak dan majikan. Salah satu misi Islam bahwa kaum budak dipandang sama dengan majikan untuk masalah hak dan kewajiban. Penyetaraan ini tentu mengganggu kemapanan sosial bangsa Quraisy secara umum. Budak menjadi setara dengan majikan yang selama ini sangat berkuasa terhadap mereka. Kemudian memberikan pembagian harta warisan yang pantas kepada kaum wanita yang sebelumnya hanya sebagai ‘pelengkap penderita’ bahkan sekaligus bisa diwariskan (wanita termasuk harta warisan).

Kedua, setelah turun wahyu kedua surat al- Mudatsir 1-7 yang bermaksud supaya nabi Muhammad saw mengadakan pendidikan secara terang-terangan kepada bangsa Quraisy khususnya[15].

Dalam wahyu kedua ini Nabi Muhammad saw diperin­tah­kan oleh Allah swt agar melakukan aktivitas pendidikan tidak lagi terbatas kepada kaum kerabat terdekat serta tidak lagi dengan cara tersembunyi akan tetapi kegiatan pendidikan sudah saatnya dilakukan dengan cara terang-terangan. Sebab isyarat wahyu menyebutkan bahwa waktunya sudah tepat untuk melaksanakan pendidikan lebih luas kepada masyarakat Quraisy. Diantaranya ketersediaan sumber daya insani (SDI) berupa keberadaan tenaga pendidik. Selain Nabi sebagai pendidik utama, para sahabat dianggap berkom­peten menjadi pendidik bagi masyarakat Arab karena telah di­training langsung oleh Nabi Muhammad saw selama 3 tahun untuk pokok materi pendidikan mengenai ketauhidan.

Ketiga, setelah melakukan pendidikan dan pengajaran Islam secara terang-terangan kepada bangsa Quraisy, nabi Muhammad saw mengubah strategi pendidikan menjadi terbuka untuk umum (secara umum). Pendidikan dan pengajaran ini bersifat internasional yang berlandaskan pada surat al-Hijr: 94-95. Sebagai tindak lanjut dari perintah Allah tersebut pada musim haji, Nabi mendatangi kemah jamaah haji.

Pada awalnya banyak jamaah haji yang menolak kecuali sekelompok jamaah dari Yastrib. Jamaah Yastrib tersebut berasal dari kabilah Khazraj yang sangat antusias menerima pengajaran Nabi[16]. Untuk meneruskan pendidikan dan pengajaran Islam yang telah dirintis Nabi tersebut seterusnya diserahkan kepada Mus’ab bin Umair seorang sahabat beliau yang telah mengikuti proses pendidikan Islam selama 3 tahun di rumah Arqam bin Abi Arqam. Tugas itu tidak dilaksanakan di masa berlangsungnya haji akan tetapi langsung di Kota Yastrib. Dengan diutusnya Mus’ab bin Umair ke Yastrib telah membuka harapan baru bagi perkembangan pendidikan Islam untuk masa selanjutnya.

Dua tahapan pendidikan Islam yang dilakukan Nabi Muhammad saw hanya untuk kota Makah, tahapan ini digunakan Nabi untuk mempersiapkan tenaga pendidik dari keluarga dekatnya atau golongan Quraisy. Pertimbangan yang digunakan ialah :

Pertama, pendidikan Islam lambat laun harus di­sebarkan, sehingga membutuhkan tenaga-tenaga yang siap didistribusikan sesuai kebutuhan, maka para sahabat awal merupakan input yang sangat masuk akal, karena selain keterampilan dalam mengajar juga dibutuhkan nyali yag cukup kuat, sebab situasi kala itu tidak men­dukung untuk mengadakan pendidikan Islam. Di samping materi-materinya dinilai sangat radikal untuk ukuran bangsa Arab.

Kedua, keefektifan dan keefesienan, maksudnya, pen­didikan calon pendidik terdiri dari kalangan arab Quraisy sendiri atau orang yang telah mengenal dan berasimilasi dengan baik ke dalam budaya Quraisy, terutama linguistik Arab (kebahasaan) di Makah[17]. Pertimbangan tersebut, ber­kaitan dengan materi (wahyu) yang akan disampaikan sesuai dialek Quraisy.

Ketiga, aspek penjiwaan/internalisasi materi ajar yang diberikan kepada peserta didik (audience). Maksudnya, kondisi psikologi para sahabat calon pendidik secara kontekstual, sangat tepat untuk mendukung penguasaan, kemantapan transfer knowledge dan values kepada audience. Karena sebagian mereka adalah kaum lemah dan sebagian budak yang terpinggirkan di Makah, sedangkan materi yang akan diberikan berkaitan langsung dengan semangat pembebasan mereka dari kemapanan budaya feodal patriacal[18] Quraisy tersebut.

Pada tahapan ketiga, proses pendidikan telah bisa disebut bercakupan internasional. Karena pesan pendidik­an telah disampaikan juga kepada orang Yastrib suku Khazraj. Dengan ruang lingkup pendidikan Islam yang semakin meluas, maka metode dan materinya juga ikut bertambah sesuai materi (wahyu) yang diturunkan Allah swt. (penambahan materi pendidikan sudah masuk pada periode pendidikan Madinah).

  1. Tahap Pendidikan Islam Terbuka (Periode Madinah)

Tahapan pendidikan Islam periode ini terlaksana dengan turunnya surat al-Hijr: 94-95. Pelaksanaan ibadah haji merupakan momen yang sangat tepat untuk melaksanakan proses pengajaran/penyebaran pesan (wahyu) kepada jamaah haji yang datang ke Makah. Suku Khazraj adalah yang pertama menerima pengajaran ini.

Aspek psikologis adalah faktor utama sehingga mereka mudah menerima pengajaran. Karena materi yang disampaikan juga sangat relevan dengan kebutuhan mereka yang sedang dilanda perang saudara akut antara suku ‘Aus dan suku Khazraj di kota Yastrib. Sesuai dengan materi awal Nabi Muhammad saw di Makah yang concern pada ketauhidan dan akhlak mulia, di antaranya berakhlak baik kepada sesama manusia dan saling tolong menolong antar sesama manusia. Materi ini sangat mereka harapkan, bukan saja harapan sebatas pesan oral, akan tetapi lebih jauh supaya bisa diaplikasikan di negeri mereka yaitu Yastrib.

Kemudian aspek yang tidak kalah pentingnya adalah kewibawaan Nabi sebagai pengajar adalah hal yang sangat berkesan sekali, sehingga mereka berharap Rasul datang ke kota mereka untuk memberikan pengajaran sekaligus tinggal di sana.

Peserta didik Nabi di kelas internasional ini terdiri 12 laki-laki dan 1 orang perempuan[19]. Kemudian tahap kedua sebanyak 73 laki-laki dan 2 orang perempuan[20]. Karena semangat dan kesungguhan mereka, sekaligus untuk kontinuitas pendidikan kelas inter­nasional ini, maka untuk sementara Nabi mengutus Mus’ab bin Umair sebagai tenaga pendidik yang siap dan pilihan yang tepat waktu itu. Dikatakan siap karena beliau telah mendapat pendidikan langsung dari Nabi di rumah Arqam bin Abi Arqam. Dikatakan tepat, karena Mus’ab bin Umair dianggap mempunyai kapabalitas, cakap secara fisik (tampan) dan memiliki wibawa, sehingga dengan alasan tersebut, proses transfer materi pengajaran /pendidikan Islam menjadi mudah.

Kota Yastrib sebagai destinasi (tujuan) program pe­ngem­bangan pendidikan Islam adalah sesuatu yang sangat logis mengingat kondisi Makah yang tidak bersahabat terhadap program pengembangan pendidikan Islam. Maka para sahabat (tenaga pendidik) dengan berombongan melakukan hijrah ke Yastrib. Karen Amstrong menyebutkan perpindahan/hijrah ini merupakan titik balik perkembangan pendidikan (dakwah) Islam lebih luas[21].

Adapun inti program pengembangan pendidikan di Makah berorientasi pada; persiapan tenaga pengajar/pendidik, persiapan dan penempaan mental calon pengajar/pendidik. Dapat disebut bahwa tenaga pendidik awal ini telah melakukan magang/praktek lapangan (istilah modern) di Makah. Orientasi pendidikan Islam di Makah secara umum dikategorikan sebagai kelas tamhidi (persiapan), kecuali untuk calon pendidik awal, pengajaran yang diberikan Nabi lebih mendalam. Kondisi laten budaya Quraisy yang kental, menyebabkan proses pengajaran hanya dapat dilakukan secara terbatas.

Namun langkah ini sangat efektif, karena bangsa Quraisy telah mendapatkan informasi/pengetahuan Islam secara umum. Di saat fathuh (penaklukan) Makah di kemudian hari, orang Quraisy lebih mudah menerima pendidikan Islam, karena sebelumnya mereka telah memiliki pengetahuan tentang pengajaran Islam. Artinya bangsa arab di Makah telah mempunyai basic tentang Islam, sehingga banyak di antara mereka yang dengan sukarela masuk Islam ketika penaklukan berlangsung. Sebagian ada juga yang masuk secara terpaksa, namun proses dialogis yang terus dilakukan Rasul dan para Sahabat, mereka yang terpaksa menjadi bisa menerima.

Kembali kepada topik ini, pada pagi hari tanggal 4 September 622 M, rombongan sahabat Makah (Muhajrin) telah sampai di Yastrib. Di hari yang sama Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar baru tiba di Quba’. Mereka tinggal di sana selama 3 hari sebelum menyusul rombongan Muhajrin di Yastrib. Di Quba’ nabi memberikan pengajaran dan pendidikan kepada penduduknya sekaligus mendirikan institusi pendidikan Islam pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw[22].

Di kota Madinah, program penggemblengan tenaga pengajar/ pendidik dapat dilakukan dengan maksimal. Demikian itu terbukti ketika para sabahat Anshar (orang Yastrib yang telah Islam) dan Muhajrin menjadi ujung tombak tenaga pendidik Islam baik di Madinah maupun ke semua penjuru negeri Arab.

Kemudian setelah Rasul sampai di Yastrib pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal I H bertepatan tahun 622 M, beliau mendirikan masjid sebagai institusi pendidikan Islam yang kedua dalam dunia Islam.

Adapun materi pendidikan Islam yang diberikan Nabi periode ini diklasifikasikan sebagai berikut [23]:

  1. Pendidikan keimanan,
  2. Pendidikan Ibadat,
  3. Pendidikan Akhlak,
  4. Pendidikan Kesehatan (Jasmani), dan
  5. Pendidikan Kemasyarakatan atau kewarganegaraan.

Ramayulis menambahkan materi periode Madinah meliputi :

  1. Tulis Baca Al-Qur’an,
  2. Kesejahteraan keluarga, dan
  3. Sastra Arab.

Sedangkan metode yang digunakan Rasul di Madinah meneruskan metode pendidikan di Makah dan beberapa tambahan yaitu [24]:

  1. Ceramah,
  2. Dialog,
  3. Tanya jawab atau diskusi,
  4. Demontrasi,
  5. Teguran langsung,
  6. Sindiran,
  7. Pemutusan dari Jamaah,
  8. Pemukulan (berkaitan dengan pengajaran Shalat untuk anak-anak),
  9. Komparatif kisah-kisah,
  10. Menggunakan kata Isyarat, dan
  11.  

Proses pendidikan yang dialogis menggunakan metode di atas nilai-nilai yang terkandung, untuk pendidik dan peserta didik dapat digambarkan sebagai berikut[25]: Memperhatikan peserta didik secara menyeluruh serta kebutuhan-kebutuhannya dalam proses pembelajaran antara lain; mendengarkan pernyataan peserta didik, memperkenankan peserta didik mengutarakan isi hatinya, memilih tempat yang cocok untuk bertemu dengan peserta didik seperti di masjid, dan memilih waktu yang tepat untuk bertemu dengan peserta didik.

Untuk peserta didik pernyataan yang diberikan harus jelas, pertanyaan yang disampaikan harus ringkas, persiapan jasmani dan rohani untuk mencari ilmu, kesiapan untuk menerima tanggapan dari pertanyaan-pertanyaan, pertanyaan bermanfaat, pertanyaan akurat dan ilmiah, pilihan waktu yang tepat bertemu dengan guru, duduk dekat dengan guru dan posisi duduk yang baik dan menyehatkan.

  1. Bentuk-bentuk Institusi/ Lembaga Pendidikan Islam Pra Kebangkitan Madrasah dan Kuttab

Institusi atau lembaga pendidikan Islam dengan nama langsung Madrasah dengan pengertian tempat menuntut ilmu atau seperti tempat proses belajar-mengajar yang kita ketahui hari ini baru ada pada masa akhir Bani Abbasiyah di bawah pengaruh suku Seljuk Turki periode 2 di Baghdad yang berkuasa tahun 448-552 H/1055-1157 M[26]. Madrasah yang konotasi Universitas terbesar didirikan masa ini oleh Perdana Menteri Sultan Maliksyah (465-485/1072-1092)[27] yakni Nizam al- Muluk. Salah seorang tokoh ilmuan yang fenomenal di bidang keagamaan dan filsafat ialah Imam al-Gazali (1059-1111 M).

Sedangkan Kuttab sebagai tempat belajar telah ada sebelum Islam datang di Makah. Kuttab sebagai lembaga pen­didikan dasar sebelum Islam telah digunakan di Makah untuk kegiatan baca tulis. Seorang sejarawan Arab mencatat bahwa orang asli Makah yang pertama mengenal tulis baca diajar oleh seorang Kristen dan bahwa jumlah orang Makah yang mengenal tulis baca ketika Islam datang adalah 17 orang[28]. Namun menurut Ahmad Syalabi, orang yang pertama pandai tulis baca ialah Sofyan Ibnu Umaiyah Ibnu Andu Syams dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf ibnu Zuhrah Ibnu Kilab. Kedua orang ini mempelajarinya dari Bisyr Ibnu Abdil Malik yang belajar di Hirah[29]. Mungkin saja orang Hirah Kristen yang mengajarinya. Tetapi jumlah orang yang pertama pandai tulis baca waktu lebih dari satu orang.

Lebih lanjut Ibnu Batutah (779 H), menyebutkan kegiatan pembelajaran di tingkat Kuttab ini pendidiknya me­ngajarkan menulis dengan menggunakan kitab-kitab syair dan sebagainya.[30]

  1. Lembaga-lembaga Pendidikan Islam

Sebelum berkembangnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah;

  • Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar
  • Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)
  • Masjid.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam sebelum kebangkitan Madrasah yaitu

  • Maktab/Kuttab
  • Halaqah
  • Majlis
  • Masjid
  • Khan
  • Ribath[31].
  1. Rumah Ulama sebagai Lembaga Pendidikan

Masjid bukanlah satu-satunya tempat diselenggara­kan­nya pendidikan Islam. Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum. Sebagai tempat transmisi keilmuan, rumah muncul lebih awal daripada masjid. Sebelum masjid dibangun, ketika di Makah Rasulullah menggunakan rumah al-Arqam sebagai tempat memberikan pelajaran bagi kaum muslimin. Selain itu, Beliau pun menggunakan rumah Beliau sebagai tempat untuk belajar Islam[32].

Untuk mencapai tujuan dalam menyampaikan risalah tauhid sangat diperlukan suatu wadah atau lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan suatu wadah berprosesnya seluruh komponen pendidikan secara berkesinambungan dalam pencapaian tujuan pen­didikan yang sempurna. Adakalanya kelembagaan dalam masyarakat secara eksplisit membuktikan bahwa kuat­nya tanggung jawab kultural dan edukatif masyarakat dalam mempraktikkan ajaran Islam.

Hasan Langgulung menjelaskan bahwa lahirnya pendidikan Islam di tandai dengan munculnya lembaga – lembaga pendidikan Islam. Ketika wahyu di turunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw,  maka untuk men­jelas­kan dan mengajarkan kepada para sahabat, Nabi mengambil rumah Arqam bin Abi al- Arqam sebagai tempatnya, disamping menyampaikan cera­mah di berbagai tempat. Atas dasar inilah dapat dikatakan rumah Arqam sebagai lembaga pendidikan pertama dalam Islam. Hal ini berlangsung kurang lebih 3 tahun. Namun sistem pendidikan pada lembaga ini masih berbentuk halaqah dan belum memiliki kurikulum dan silabus seperti yang dikenal sekarang. Sedangkan sistem dan materi – materi pendidikan yang akan disam­paikan diserahkan sepenuhnya kepada Nabi saw[33].

Dengan dijadikannya rumah  Arqam bin Abi al-Arqam oleh Rasulullah Muhammad saw. sebagai tempat ber­kumpul para sahabat dalam menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah melalui malaikat Jibril as., ini mem­buktikan bahwa rumah adalah lembaga pendidikan pertama dalam Islam. Dalam pendidikan Islam selanjutnya, model sistem pendidikan ini terus di­kembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tuntutan masyarakat, dan zaman.

Sebelum masjid dibangun, maka di samping memberi pelajaran di rumah Arqam, Nabi juga mengajar di rumahnya di Makah, maka berkumpullah para sahabat di sekitar beliau untuk menerima pelajaran yang disajikan oleh Nabi. Kondisi tetap seperti itu hingga turunlah surat al-Ahzab ayat 35. Ayat ini di turunkan di Madinah sesudah masjid dibangun. Dengan turunnya ayat ini Allah telah meringankan kesibukan Nabi disebabkan mengalirnya manusia ke rumah beliau yang boleh dikata­kan tidak henti-henti[34].

Meski rumah bukanlah tempat yang ideal untuk mem­berikan pelajaran, banyak rumah ulama yang dipakai sebagai tempat belajar. Mungkin saja pelajaran di rumah dapat mengganggu penghuni rumah tersebut, namun ulama-ulama tidak keberatan rumahnya dipakai tempat belajar. Hal ini disebabkan semangat menyebarkan pengetahuan mereka dan karena belajar mengajar mempunyai nilai ibadah. Mereka dengan ikhlas dan senang hati menyediakan rumah-rumah mereka sebagai kelas-kelas belajar.

Belajar di rumah-rumah ulama merupakan fenomena umum di masyarakat Islam. Ini menunjukkan tidak ada rasa terganggu atau berat hati bila rumah mereka dipakai tempat belajar. Seharusnya, mereka berbangga hati karena pelajar-pelajar harus datang ke rumah mereka untuk bertanya dan belajar. Banyak laporan sejarah yang menjelaskan bahwa banyak pelajar yang menunggu di depan pintu rumah ulama-ulama. Mereka kesana untuk mencari pemecahan masalah yang mereka hadapi atau mendiskusikan persoalan-persoalan fiqih. Ada di antara mereka yang menghadap ulama untuk meminta riwayat hadist, mendengarkan puisi, atau belajar ilmu lainnya[35].

  1. Kesimpulan

Bahwa lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. Adapun lembaga pendidikan Islam dapat diartikan sebagai suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan nilai-nilai yang ingin dicapai lembaga pendidikan Islam.

Awal perkembangan pendidikan Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi sejak turunnya wahyu pertama surat al-‘Alaq: 1-5. Kemudian pendidikan Islam secara terang-terangan ketika telah turunnya surat al-Mudatsir: 1-7, namun lingkupnya masih Arab Quraisy Makah. Sedang proses pendidikan terbuka yang meng-internasional setelah turunnya surat al-Hijri:94-95. Momen kegiatan pendidikan secara luas ini terjadi ketika musim haji tahun ke-12 kenabian, yang pertama sekali disambut dengan antusias oleh suku Khazraj dari Yastrib berjumlah 12 laki-laki dan 1 orang perempuan. Tahap pendidikan terbuka ketiga ini cikal bakal berkembangnya pendidikan Islam di Madinah setelah Nabi hijrah ke sana tahun 622 M.

Adapun materi-materi pendidikan yang ditekankan nabi Muhammad saw adalah Al-Qur’an dan Sunnah dengan fokus penekanan ketauhidan, ibadah dan akhlak terpuji, sedangkan pendidikan Islam di Madinah ada tambahan materi seperti; kesejahteraan keluarga, kesehatan (jasmani), kewarganegara­an, kesusastraan Arab dan baca tulis al-Qur’an. Metode yang dipakai adalah ceramah, dialog, tanya jawab atau diskusi, demonstrasi, teguran langsung, sindiran, pemutusan dari jamaah, pemukulan (berkaitan dengan pengajaran shalat untuk anak-anak), komparatif kisah-kisah, menggunakan kata isyarat, dan keteladanan.

Sedangkan lembaga pendidikan Islam yang berkembang masa awal ini adalah, Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar, rumah-rumah para ulama (para sahabat),   Badiah (Padang Pasir, dusun tempat tinggal Badwi),   Masjid, Halaqah,  Majlis, dan Ribath.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Amstrong, Karen, Muhammad Sang Nabi, Surabaya: Risalah Gusti, 2012, cet. 7, h. 204

Forum Komunikasi Alumni Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indosesia (FKPPCD), The Dinamics Of Islamic Civilization, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, h.55

Maryam, Siti dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Moderen, Yogyakarta: LESFI, 2009, cet.3, h.144

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, h. 6

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, h.23

Staton, Charles Michae, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing, 1994, h. 18

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet.1, h.33

 

[1] Pada ayat ke-94 berbunyi yang artinya “Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”.

Ibnu Abbas berkata, “Ayat Tentang فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ ‘Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu)’, maknanya adalah, tindak lanjuti apa yang diperintahkan kepadamu.”

Ibnu Al A’rabi berkata, “Makna اِصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ  ‘Sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu),’ adalah sasarlah. Dikatakan فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu),” maksudnya, pencarkan persekutuan dan kesatuan mereka dengan menyerukan kepada tauhid, sesungguhnya mereka itu terpecah-pecah dengan sebagian yang menyambut”.

Firman Allah : وَأَعْرِضْ عَنِ المُشْرِكِيْنَ “Dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. Tentang ayat yang mulia ini, ada dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama :

Pertama, makna ayat ini adalah jangan pedulikan pendustaan dan olok-olok mereka serta jangan pula hal itu menyusahkanmu, sesungguhnya Allah yang menjagamu dari mereka. Jadi makna ayat menurut penakwilan ini adalah sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu, yakni sampaikanlah risalah Tuhanmu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik, yakni jangan pedulikan dan takut kepada mereka. Makna ini adalah seperti halnya firman Allah :

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ

Artinya : “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia” (QS. Al Maidah ; 67)

Kedua, bahwa Nabi SAW pada mulanya diperintahkan untuk berpaling dari orang-orang musyrik, kemudian perintah itu dihapus dengan ayat-ayat perang. Diantara ayat-ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman-Nya

اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu ; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik” (QS. Al-An’am ; 106), dan firman-Nya

فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَانْتَظِرْ إِنَّهُمْ مُنْتَظِرُونَ

“Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tunggulah, sesungguhnya mereka (juga) menunggu” (QS. As-Sajdah ; 30), dan firman-Nya

فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا

“Maka berpalinglah (Hai Muhammad) dari orang-orang yang berpaling dari peringatan Kami dan tidak mengingini kecuali kehidupan dunia” (QS. An-Najm ; 29), dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

Pada ayat ke 95 yang artinya, “Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu)”. Allah terangkan dalam ayat yang mulia ini, Dia memelihara Nabi-Nya dari orang-orang yang memperolok-oloknya, yaitu kaum Quraisy. Di tempat lain disebutkan kalau Allah juga menjaganya dari selain mereka, seperti firman-Nya tentang Ahli Kitab,  فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ “Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka.” (QS. Al-Baqarah : 137), dan firman-Nya ألَيْسَ اللهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar : 36), dan ayat-ayat lainnya.                 (http://achmadalfarisi.blogspot.com/2012/09/jaminan-perlindungan-allah-terhadap_29.html/2013/11/2)

[2]http://www.tugasku4u.com/2013/07/makalah-lembaga-pendidikan-islam.html diunduh /2013/10/29

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Arqam bin Abi Arqam salah seorang anggota golongan Bani Makhzum, pemimpin golongan ini yang terkenal adalah Abu Lahab.

[8]http://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/asep-sobirin/atsar-dakwah-dan-pendidikan-rasulullah-saw/2013/10/29

[9] Forum Komunikasi Alumni Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia (FKAPPCD), The Dinamics Of Islamic Civilization, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, h.55

[10] Samsul Nizal, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003,12

[11] Bahwa yang berhak diibadahi ialah Allah swt

[12] Samsul Nizar, Op.Cit, h. 12

[13] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet.1, h.40 (Ahmad Syalabi mengutip keterangan ini dalam Al-Itqan Fi ulumi al-Qur’an, 2: 208)

[14]http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/24/metode-dakwah-rasul-489743.html/2013/10/29

 [15]http://adarossyat.blogspot.com/2010/02/wahyu-yang kedua.htm/2013/10/29

[16] Samsul Nizar, Op.Cit, 2003, h. 6

[17] Bilal bin Rabbah seorang budak dari Habsyah/Eitoupia yang telah mengenal serta berasimilasi dengan kebudayaan Quraisy Makah, mulai dari sebelum Islam datang sebagai seorang budak

[18] Yang kaya sangat berkuasa, yang lemah menjadi sangat lemah posisinya karena secara materi mereka tidak bisa banyak berbuat apa-apa karena kecilnya akses kepada jaringan sumber-sumber kekayaan dari itu pengaruh mereka menjadi tidak begitu berarti. Seperti yang dijelaskan Karen Amstrong, dalam bukunya ‘Muhammad Sang Nabi’, bahwa keluarga Hasyim disaat Muhammad lahir sedang mengalami penurunan popularitas, sebelumnya klan ini sangat dihormati, disebabkan factor prestise tidak lagi pada kepahlawanan seorang pemimpin akan tetapi factor kekayaan seorang kepala suku/pemimpin. Seperti contoh Paman Nabi Abu Jahal menjadi sangat dihormati walaupun kejam dibanding Abdul Mutalib sendiri atau Abu Talib, karena mereka tidak kaya dalam klan Bani Hasyim. Atau Golongan Bani Makhzum lebih dihormati dibanding Bani Hasyim.

[19] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, h.23

[20] Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi, Surabaya: Risalah Gusti, 2012, cet. 7, h. 204

[21] Ibid, h.181

[22] Abudin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, h.197

[23] Samsul Nizar, Op.Cit, h.12-13

[24] Ibid, 16-17

[25] Ibid, h. 19

[26] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Moderen, Yogyakarta: LESFI, 2009, cet.3, h.144

[27] Ibid

[28] Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing, 1994, h. 18

[29] Ahmad Syalabi, Op.Cit. h.33

[30] Ibid,h.37

[31]http://mezazainul.blogspot.com/2012/03/rumah-ulama-dan-istana-khalifah-sebagai.html/2013/10/30

[32] Ibid

[33] Ibid

[34] Ibid

[35] Ibid