Showing posts with label Ulumul Quran. Show all posts
Showing posts with label Ulumul Quran. Show all posts

Tuesday, February 9, 2021

KEBENARAN AL-QUR’AN BERLAKU SEPANJANG ZAMAN

KEBENARAN AL-QUR’AN BERLAKU SEPANJANG ZAMAN

Oleh Muhammad Fathoni

Kebenaran Al Quran

Al-Qur’an  adalah  Kitabullah  yang  memuat  seluruh  aspek  kehidupan  manusia beserta seluruh hal yang melingkupinya.

Sejak manusia dahulu zaman belum diciptakan dan dilahirkan hingga kelak setelah manusia meninggal dunia dan akhir zaman. Betapa luasnya pembahasan al-Qur’an dan betapa luasnya kandungan al-Qur’an.

Al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur dalam waktu sekitar 23 tahunan sejak pertama kali diwahyukan di gua Hira Makkah sebagai tanda kerasulan Muhammad saw. hingga sebelum wafatnya Rasulullah saw. di Madinah. Di salin dan di hafalkan oleh para sahabat dan kemudian selesai dikumpulkan/ dikodifikasi pada zaman khalifah Usman r.a

1.   Komposisi dan Pembagian Al-Qur’an

q  Al-Qur’an terdiri atas 114 surah, 30 juz dan {6236 ayat menurut riwayat Imam Hafs}, {6262 ayat menurut riwayat ad-Dur}, atau {6214 ayat menurut riwayat Warsy}.

q  Secara tradisional bahkan lebih mudah di katakan bahwa al-Qur’an terdiri dari 6.666 ayat.

q  Secara umum, al- Qur’an terbagi  menjadi 30 bagian yang dikenal dengan nama juz. Pembagian juz memudahkan mereka yang ingin menuntaskan  pembacaan al-Qur’an dalam kurun waktu 30 hari.

q  Pembagian ini paling terkenal karena digunakan seluruh dunia dan di tandai dengan jelas oleh setiap percetakan dan penerbit al-Qur’an.

Terdapat  pembagian  lain  yang  disebut  manzil,  yang  membagi  al-Qur’an menjadi  7  bagian.  Manzil   dalam  bahasa  Arab  juga  biasa  diartikan  tempat istirahat, secara istilah disini adalah sebuah sistem pembagian pembacaan al-Qur’an untuk memudahkan penyelesaian (pengkhataman) al-Qur’an selama tujuh hari (seminggu).

Manzil terdiri dari tujuh bagian yakni:

2.   Makkiyah dan Madaniyah

Para ulama kemudian mengkategorikan ayat- ayat yang diterima sebelum hijrah sebagai Makkiyah dan yang diwahyukan setelah hijrah sebagai Madaniyah meskipun diwahyukan di Makkah seperti pada waktu haji wada.’

Namun ada juga ulama yang berpendapat bahwa Makkiyah adalah ayat-ayat yang diterima Rasulullah  di Makkah meskipun setelah hijrah ke Madinah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat  yang diterima Rasulullah di Madinah.

Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah dianggap lebih tepat,  sebab terdapat surah Madaniyah yang turun di Makkah.

Ciri-ciri Makkiyah

a)      Surat-surat pendek

b)      Ayat-ayatnya pendek-pendek

c)       Membahas prinsip keimanan dan akhlak

d)      Ayat  yang jika dibaca,  maka disunnahkan kepada pembaca dan pendengarnya untuk melakukan sujud (ayat Sajdah)

e)      Terdapat kata kalla (disebut 33 kali)

f)       Kisah nabi-nabi dan umat-umat terdahulu (kecuali surah al-Baqarah)

g)      Kisah Nabi Adam a.s. dan Iblis (kecuali surah al-Baqarah)

h)      Pembukaan surah berupa huruf-huruf lepas, seperti qaf, sad, alif-lam-mim-ra, alif- lam-mim (kecuali surah al-Baqarah dan surah Ali ‘Imran)

i)        Cenderung puitis, menyentuh hati dan banyak terdapat kesamaan bunyi

j)        Contoh surat al-ikhlas, surat an-nas dan surat al-falaq

Ciri-ciri Madaniyah

a)      Surat dan ayatnya panjang-panjang

b)      Izin untuk perang dan hukum-hukumnya

c)       Rincian hukum tentang hudud, ibadah, undang-undang sipil, sosial, dan hubungan antar-negara

d)      Penyebutan tentang kaum munafik (kecuali surah al-‘Ankabut)

e)      Penyebutan tentang ahli kitab

f)       Ungkapannya tenang, cenderung prosais, yang ditujunya adalah akal pikiran

g)      Banyak mengemukakan  bukti  dan  argumentasi  mengenai  kebenaran-kebenaran agama.

h)      Contoh : Surat  al-Baqarah dan Ali ‘Imran

3.   Maqra’ atau ruku’

Maqra’ adalah sub pembahasan dalam al-Qur’an yang pada al-Qur’an model lama biasanya ditandai  dengan huruf ain (ع) di sisi kiri atau  kanan halaman al- Qur’an.

Sub pembahasan ini juga biasa disebut sebagai ruku’ dinisbatkan  kepada ruku’ salat  karena dahulu biasanya dibaca setelah al-Fatihah  sebelum rukuk pada waktu salat.

Setiap maqra’ atau ruku’ biasanya berisi satu sub pembahasan tertentu. Misal pembahasan tentang kisah Nabi Musa, pembahasan tentang Nabi Yusuf, pembahasan tentang akhirat dan lain sebagainya.

Maqra' juga biasa digunakan oleh para qari atau qariah ketika membackan ayat-ayat al-Qur’an pada acara-acara Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dan acara-acara keagamaan lainnya   

4.   Lafaz Basmalah

Lafaz Bismillahirrahmanirrahim merupakan ciri di hampir seluruh pembuka surah di al-Qur’an selain Surah at-Taubah. 

terdapat  114 lafaz Bismillahirrahmanirrahim yang setara dengan jumlah 114 surah dalam al-Quran, oleh sebab lafaz ini disebut dua kali dalam Surah an-Naml, yakni pada bagian pembuka surah serta  pada ayat  ke-30 yang berkaitan  dengan sebuah surat dari raja Sulaiman kepada ratu Saba.

5.   Mu’jam (Kamus kumpulan)

Untuk  mencari ayat-ayat  yang berhubungan dengan suatu  istilah  tertentu, biasanya digunakan kamus khusus al-Qur’an yang biasa disebut  sebagai  mu’jam. Kamus-kamus al-Qur’an ini biasa menggunakan daftar istilah untuk mengumpulkan daftar bahasan-bahasan tertentu  dalam al-Qur’an.

Di antara kitab-kitab  kamus al-Qur’an yang terkenal  adalah  ;

a)      Kitab  al-Mu’jam al-Mufahras Lialfazi al-Qur’an al-Karim karya Syekh Muhammad Fuad Abdul Baqi

b)      Kitab al-Mu'jam al-Mufahras li- Ma’ani al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Bassam Rusydi al-Zain.

 

KEBENARAN AL-QUR’AN PADA SEMUA ASPEK KEHIDUPAN

KEBENARAN AL-QUR’AN PADA SEMUA ASPEK KEHIDUPAN

Oleh Muhammad Fathoni

Prolog

Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6.325 ayat. Beberapa ulama menyebutkan 6.666 ayat. Kesemua bagian tersebut adalah kalamullah yang dapat dijadikan rujukan oleh umat Islam dalam kehidupan keseharian mereka. Dari sanalah hukum, ajaran dan pokok-pokok keimanan serta pengetahuan umat Islam berasal dan dikembangkan.

 Isi dan kandungan al-Qur’an yang sangat luas dapat mencakup seluruh aspek kehidupan umat  Islam yang meliputi  akidah, ibadah dan muamalah, akhlak, hukum, sejarah dan dasar-dasar ilmu pengetahuan (sains) serta teknologi.

KEBENARAN  AJARAN  AL-QUR’AN  MEMUAT  SEMUA  ASPEK KEHIDUPAN

1. AKIDAH

Secara etimologi akidah artinya kepercayaan atau keyakinan. Bentuk jamak Akidah  (‘aqidah)  adalah  ‘aqa’id.  Akidah  juga  disebut  dengan  istilah  keimanan. Orang yang berakidah berarti orang yang beriman (mukmin).

Sedangkan secara terminologi  akidah diartikan  sebagai  suatu  kepercayaan yang harus diyakini dengan sepenuh hati, dinyatakan dengan lisan dan dimanifestasikan dalam bentuk amal perbuatan.

Akidah Islam adalah keyakinan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis. Seseorang yang menyatakan diri berakidah Islam tidak cukup hanya mempercayai dan meyakini keyakinan dalam hatinya, tetapi harus menyatakannya dengan lisan dan harus   mewujudkannya   dalam   bentuk   amal perbuatan (amal saleh) dalam kehidupannya sehari-hari

Inti pokok ajaran akidah adalah masalah tauhid, yakni keyakinan bahwa Allah Maha Esa. Orang yang tidak meyakini ke-Maha Esa-an Allah berarti ia kafir, dan apabila meyakini adanya Tuhan selain Allah dinamakan musyrik

QS. AL IKHLAS ; 1-4

قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ١ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ  ٢ لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ  ٣ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ  ٤

1.  Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa.

2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

3.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

4.  dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".

2. IBADAH

Secara bahasa, ibadah berasal dari kata  َةدابع /َدبع – َدبعي – artinya mengabdi   atau   menyembah.  

Sedangkan   secara   terminologi,   ibadah   berarti menyembah atau mengabdi sepenuhnya kepada Allah swt. dengan tunduk, taat dan patuh kepada-Nya. Ibadah merupakan bentuk kepatuhan dan ketundukan karena keyakinan terhadap keesaan dan keagungan Allah swt., sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah

Manusia beribadah hanya kepada Allah swt. karena meyakini bahwa seluruh alam  adalah  ciptaan Allah Karenanya,  manusia  sepenuhnya sadar  bahwa seluruh alam membutuhkan Allah

Kesadaran pada kebutuhannya pada Sang Pencipta inilah yang kemudian mewujud dalam ibadah dan ketaatan  kepada Allah.

Terutama sekali karena memang Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk   beribadah  hanya  kepada-Nya.  Karena  manusia  hanya  menyembah  dan meminta pertolongan kepaada Allah swt

Macam-macam Sifat Ibadah

a. Ibadah mahdah,  yaitu ibadah yang tata  cara dan tekniknya telah ditentukan secara jelas dalam syariat seperti salat, puasa, zakat dan haji.

b. Ibadah  gairu  mahdah,  artinya  ibadah  yang  bersifat  umum,  tata  caranya  tidak ditentukan secara khusus. Ibadah gairu mahdah ada yang memang bentuknya adalah ibadah seperti membaca al-Qur’an atau bersedekah.

Selain itu ibadah gairu mahdah juga bisa berupa kegiatan  umum tetapi  menjadi bernilai ibadah karena diniatkan untuk  mencari rida Allah swt.,  seperti  bekerja mencari rezeki nafkah yang halal diniatkan sebagai ibadah

3. MUAMALAH

Untuk mengatur dinamika kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, al-Qur’an  mengajarkan  tata  cara  berinteraksi  dengan  sesama  manusia  yang  biasa disebut sebagai habl min an-nas  )

Sedangkan hubungan atau interaksi manusia sebagai individu dengan Tuhannya biasa disebut sebagai hablun minallah, Di mana dua jenis interaksi ini juga diatur oleh al-Qur’an. Bagaimana caranya manusia bersilaturrahim, berjual beli, hutang piutang dan lain-lainnya diatur oleh hukum Islam yang sumber utamanya adalah al-Qur’an

Kegiatan   dalam   hubungan   antar   manusia   juga   biasa   disebut   dengan muamalah.

4. AKHLAK

Secara etimologi, akhlak (َقلاخا) berarti perangai, tingkah laku, tabiat,  atau budi pekerti. Kata akhlak adalah bentuk jama’ dari kata (قهخ). Secara terminologi, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang muncul spontan dalam tingkah laku hidup sehari-hari.

Dalam konsep bahasa Indonesia, akhlak biasa diartikan  sebagai etika  atau moral. Akhlak merupakan satu  fundamen penting  dalam ajaran Islam. Rasulullah saw. bahkan menegaskan bahwa tujuan diutusnya beliau adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak mulia

Al-Qur’an adalah sumber pokok ajaran Isam tentang akhlak mulia, di mana Nabi Muhammad saw. adalah model dan suri tauladan pelaksanaanya. Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang mencerminkan ajaran al-Qur’an sebagai perilakunya.

QS. AL QALAM ; 4

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ  ٤

4.  Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

5. HUKUM

al-Qur’an memuat kaidah-kaidah dan ketentuan  dasar bagi umat manusia. Salah satu isi pokok ajaran al-Qur’an ini bertujuan untuk memberikan pedoman kepada umat  manusia agar kehidupannya menjadi adil, aman, tenteram, teratur,  sejahtera,  bahagia, dan selamat  di dunia maupun di akhirat. 

Kandungan-kandungan hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an ada yang bersifat global (garis besar/mujmal) dan ada yang bersifat rincian (tafsil).

QS. an-Nisa’ ; 105

إِنَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ وَلَا تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيمٗا  ١٠٥

105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat

Ketentuan-ketentuan  hukum yang dijelaskan dalam al-Qur’an

a. Hukum perkawinan, antara lain dijelaskan dalam QS al-Baqarah: 221; QS al- Maidah: 5; QS an-Nisa’: 22-24; QS an-Nur: 2; QS al-Mumtahanah: 10-11.

b. Hukum waris, antara lain dijelaskan dalam QS an-Nisa’: 7-12 dan 176, QS al- Baqarah:180; QS al-Maidah:106.

c.  Hukum perjanjian, antara lain dijelaskan dalam QS al-Baqarah: 279, 280 dan 282; QS al-Anfal: 56 dan 58; QS at-Taubah: 4.

d. Hukum pidana, antara lain dijelaskan dalam QS al-Baqarah: 178; QS an-Nisa’: 92 dan 93; QS al-Maidah: 38; QS Yunus: 27; QS al-Isra’: 33; QS asy-Syu’ara:40.

e. Hukum perang, antara  lain dijelaskan dalam QS al-Baqarah: 190-193; QS al- Anfal: 39 dan 41; QS at-Taubah: 5,29 dan 123, QS al-Hajj: 39 dan 40.

f.   Hukum antarbangsa, antara lain dijelaskan dalam QS al-Hujurat: 13

g.   Dan lain-lain

6. Sejarah / Kisah Umat Masa Lalu

al-Qur’an banyak menjelaskan tentang  sejarah atau  kisah umat pada masa lalu. Sejarah atau  kisah- kisah tersebut bukan hanya sekedar cerita atau dongeng semata, tetapi dimaksudkan untuk menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi umat Islam. Dengan berkaca dari kisah-kisah terdahulu, umat Islam bisa menjalani kehidupan agar sesuai dengan petunjuk yang diberikan al-Qur’an

Dengan banyaknya kisah-kisah umat terdahulu di dalam al-Qur’an diharapkan umat Islam bisa mencontoh umat-umat yang taat kepada Allah dan menghindari perbuatan maksiat kepada-Nya   sebagaimana dilakukan oleh sebagaian umat terdahulu.

QS Yusuf [12]:111

لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٞ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ مَا كَانَ حَدِيثٗا يُفۡتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصۡدِيقَ ٱلَّذِي بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَتَفۡصِيلَ كُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ  ١١١

111.  Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

7. Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan (Sains) Dan Teknologi

Al-Qur’an menekankan bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hal yang sangat penting  dalam meningkatkan  peradaban manusia.

Sebagai kalamullah, al-Qur’an banyak mengandung ayat-ayat yang memuat pengetahuan dan teknologi. Karenanya al-Qur’an adalah kitab suci yang ilmiah. Pengetahuan dan teknologi yang tersirat dalam kandungan al-Qur’an dapat dikembangkan guna kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia.

QS al-‘Alaq [96]: 1-5

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ  ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ  ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ  ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ  ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ  ٥

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3.  Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Membaca adalah satu faktor terpenting dalam proses belajar untuk menguasai suatu ilmu pengetahuan.

Ayat yang pertama kali diturunkan tersebut diawali dengan perintah untuk membaca. Ini mengindikasikan bahwa al-Qur’an menekankan betapa pentingnya membaca dalam upaya mencari dan menguasai ilmu pengetahuan

Al-Qur’an banyak mendorong umat manusia untuk menggali, meneliti dan mengembangkan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan dan kesejahteraan hidupnya.

Isyarat-isyarat ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut diantaranya  berkenaan  dengan  ilmu  kedokteran,  farmasi,  pertanian,  matematika, fisika, kimia, biologi, ilmu anatomi tubuh, teknologi perkepalan, teknologi pesawat terbang, dan lain sebagainya.

Di mana dalam sejarah perkembangan peradabannya, umat Islam telah melahirkan   banyak cendekiawan muslim yang   telah   berhasil membuahkan penemuan-penemuan bersejarah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di antara cendekiawan-cendekiawan muslim tersebut ialah: Ibnu Rusyd, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, al-Khawarizmi, dan lain-lain. Penemuan-penemuan ini kemudian  dikembangkan  lagi  oleh  para  ilmuwan  barat   ketika peradaban mereka meningkat.

 

KEOTENTIKAN AL QURAN

 

MEMAHAMI KEOTENTIKAN ALQURAN

Oleh : Muhammad Fathoni

Keotentikan Al-Qur’an

Dalam Surat al-Hijr ayat 9 Allah menjamin keotentikan dan kesucian serta kemurnian kitab suci al-Qur’an.

ِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ 

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

Kemurnian dan Keotentikan  al-Qur’an  selalu  terjaga  sejak saat diturunkan kepada Nabi Muhammad hingga  akhir  zaman  kelak.  Keindahan  bahasa  dan kandungan ajaran serta tuntunan hidup umat  manusia adalah salah satu kemukjizatan yang menjaminnya. Tidak akan ada satu pun manusia yang bisa menirunya. Al-Qur’an akan terus begitu adanya, kalimatnya dan bunyinya.

Dalam hal kandungan isinya, al-Qur’an mengajukan tantangan  kepada orang- orang kafir dan siapapun yang meragukan kebenarannya. Sejak dahulu, orang-orang kafir menuduh  bahwa  al-Qur’an  hanyalah  sejenis  mantera-mantera   tukang   tenung   dan kumpulan syair-syair. Mereka   mengira bahwa al-Qur’an adalah   karangan   Nabi Muhammad saw.

Tantangan al-Qur’an yang dimaksudkan antara lain adalah :

a.   Al-Qur’an   menantang   siapapun   yang   meragukan   kebenaran   al-Qur’an   untuk mendatangkan  semisalnya  secara  keseluruhan.  Hal  ini  terkandung  dalamQS at-Tur [52]: 33-34

إ فَلۡيَأۡتُواْ بِحَدِيثٖ مِّثۡلِهِۦٓ إِن كَانُواْ صَٰدِقِينَ أَمۡ خُلِقُواْ مِنۡ غَيۡرِ شَيۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَٰلِقُونَ 

33. Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman.

34. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.

b.  Al-Qur’an menantang siapapun yang  meragukan kebenaran al-Qur’an   untuk mendatangkan 10 surah semisalnya. Hal ini terkandung dalam QS Hud [11] : 13

أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَىٰهُۖ قُلۡ فَأۡتُواْ بِعَشۡرِ سُوَرٖ مِّثۡلِهِۦ مُفۡتَرَيَٰتٖ وَٱدۡعُواْ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ 

13.  Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".

c. Al-Qur’an menantang siapapun yang   meragukan kebenaran al-Qur’an untuk mendatangkan satu surah saja semisal al-Qur’an. Hal ini terkandung dalam QS al-Baqarah ayat 23

وَإِن كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا فَأۡتُواْ بِسُورَةٖ مِّن مِّثۡلِهِۦ وَٱدۡعُواْ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ 

23.  Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

Ketiga tantangan  menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah mukjizat. Terbukti hingga sekarang, belum ada satu pun manusia dan bahkan jin yang mampu membuat kalimat seindah al-Qur’an. Apalagi mampu memiliki kandungan makna dan berita yang lebih hebat  dari al-Qur’an. Hal ini membuktikan  bahwa al-Qur’an memang bukan buatan manusia, al-Qur’an adalah wahyu Allah swt..

Di saat sekarang tentu kita mengetahui, bahwa sering ada berita viral tentang al-Qur’an  yang  salah  cetak  atau  ada  kekeliruan.  Tentu  saja  kesalahan-kesalahan cetak ini sangat mudah diketahui karena banyaknya orang yang menghafalkan al- Qur’an. Informasi sejarah juga telah terbukti bahwa al-Qur’an terjaga kemurniannya. Al-Qur’an tidak dapat dipalsukan. Banyaknya para penghafal al-Qur’an adalah salah satu benteng penjaga kemurnian dan keotentikan al-Qur’an.

Para penghafal al-Qur’an tidak pernah putus generasi sejak pertama kali al- Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.. Cetakan-cetakan hingga kini terus dibuat, disimpan, diteliti dan diperbaharui sejak dahulu waktu wahyu disalin di atas batu, lembaran kulit binatang, pelepah kurma dan tulang-tulang.

Seluruh cetakan dan apa pun bentuk media yang menyimpan al-Qur’an saat ini, semuanya bersumber pada satu titik, yakni mushaf al-Qur’an yang selesai dikodifikasi  pada zaman Khalifah Usman bin Affan. Turun temurun  terus  dijaga secara mutawatir lintas zaman dalam berbagai media yang terus berkembang dan di hafalan-hafalan para penghafal al-Qur’an.

 

 

Sunday, December 16, 2012

METODE TAFSIR TAHLILI DAN IJMALI

Oleh : Muhammad Fathoni, S. Pd.I

 
I.               Pendahuluan
Al Quran merupakan kalamullah yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril sebagai petunjuk manusia untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Selain sebagai kitab pedoman manusia, Al Quran juga sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Al Quran tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.[1]
Al Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna.
Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al Quran. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al Quran secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Di antara metode penafsiran yang populer di kalangan para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode ijmali  (global),  metode muqaran (komparatif), dan metode maudhu’i (tematik).
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan dua metode tafsir pertama, yaitu tahlili dan ijmali, meliputi pengertian secara etimologi dan terminologi, karakteristik tafsir, serta kelemahan dan kelebihan dari metode tersebut. Ini tidak berlebihan mengingat dua metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam mewujudkan karyanya dalam bidang penafsiran al Quran.

II.            Pembahasan
Dalam melakukan pembahasan makalah ini penulis hanya menguraikan metode tafsir tahlili dan ijmali, meliputi pengertian secara etimologi dan terminologi, karakteristik tafsir, serta kelemahan dan kelebihan dari metode tersebut serta kritik metodologis secara umum.

1.      Metode Tahlili
Tahlili adalah akar kata dari hala, huruf ini terdiri dari huruf ha dan lam, yang berarti membuka sesuatu,[2] sedangkan kata tahlily sendiri masuk dalam bentuk infinitf (mashdar) dari kata hallala, yang secara semantik berarti mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya serta memiliki fungsi masing-masing.
Secara etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al Quran dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., Sahabat dan tabi’in.[3]
Dari sekian metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode yang paling lama usianya dan paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata dan lafaztahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jazbalaghah, dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan norma-norma akhlak.[4]
Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al Quran yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al Quran secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas tanpa dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna.
Artinya, mayoritas mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran selalu mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya.
a.         Karakteristik Metode Tahlili
Secara garis besar ada dua ciri utama dalam metode tahlili :
Pertama, tafsir bi al ma’tsur, yaitu penafsiran ayat al Quran dengan ayat; penafsiran ayat dengan Hadits Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Tafsir bi al ma’tsur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al- riwayah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma’tsur adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al Quran karya Imam Ibn Jarir al Thabari. Tafsir al Quran al-’Adhim karya Ibn Katsir. Menurut W. Montgomery Watt, tafsir al Thabari adalah tafsir al Quran yang paling penting di antara kitab tafsir yang masih ada dan dapat diperoleh dengan mudah. Karyanya itu dicetak pertama kali di Kairo pada tahun 1903 M dalam tiga jilid dan kemudian dicetak berulang kali. [5]
Kedua, tafsir bi al ra’yi, yaitu penafsiran al Quran dengan ijtihad[6], terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzulnasikh-mansukh dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsir bi al ra’yi (rasional) juga dikenal dengan tafsir bi al dirayah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu  tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. ”tafsiri  al-ra’y  yang menggunakan metode  analitis  ini,  para mufassir memperoleh  kebebasan,  sehingga mereka  agak  lebih  otonom  [mandiri] berkreasi  dalam memberikan  interpretasi  terhadap  ayat-ayat  al-Qur’an selama masih dalam batas-batas  yang diizinkan oleh  syara dan  kaidah kaidah penafsiran yang mu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi al-ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan[7].
Dari perdebatan yang ada, tidak berarti pendekatan tafsir Al Qur’an dengan Ra’yu tidak mendapat tempat dikalangan ’ulama. Sebagian ulama yang menerima menafsirkan Al Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu ini memberikan syarat-syarat dan kaidah-kaidah yang ketat. Diantara syarat-syaratnya adalah : (1). Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, (2). Menguasai Ilmu-ilmu Al Qur’an, (3). Berakidah yang baik dan benar, (4). Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.[8]
Dalam menyikapi tafsir bi al ra’yi, para ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia memenuhi persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu bisa diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi persyaratan, maka penafsirannya ditolak. Ada dua aspek utama sebagai syarat penafsiran bi al ra’yi ini yaitu intelektual dan moral. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ra’yi adalah: Mafatih al Ghoib karya Fakhruddin al Razi, Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karangan Mahmud al-Nasafi, dan Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin.[9]
Berangkat dari dua ciri metode tahlili di atas, lahirlah beberapa macam tafsir sesuai dengan kecenderungan para mufassir. Macam-macam tafsir tersebut adalah sebagai berikut :[10]
1)   tafsir sufi, yaitu penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir sufi adalah kitab: Tafsir al Quran al-’Adhim, karya Imam al-Tusturi.
2)   tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al Quran yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda. Di antara kitab tafsir dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al Quran,  karya  Al-Jassah dan  al-Jami’ li Ahkam al Quran  karya Imam al-Qurtubi.
3)   tafsir falsafi, yaitu penafsiran al Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan pada ilmu kalam dan semantik (logika). Ia juga membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al Quran, dan akhirnya ia dengan tegas menolak filsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
4)   tafsir ‘ilmi, yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al Quran, dengan cara mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Di antara kitab tafsir ‘ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karya Wahid al-Din Khan.
5)   tafsir adabi-ijtima’i, yaitu penafsiran ayat-ayat al Quran dengan mengungkapkan sisi balaghah al Quran dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al Quran, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir  adabi-ijtima’i  merupakan corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al Quran serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al Quran.  Diantara kitab tafsir adabi-ijtima’i  adalah Tafsir al Manar  karya Muhammad  Muhammad  Abduh  dan  Rasyid Rida.





b.      Kelebihan dan Kelemahan Metode Tahlili
Keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al Quran. Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatif lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al Quran. Barangkali  kondisi  inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangannya.[11]
Melalui metode ini, penafsir bisa lebih mengembangkan gagasan dan ide penafsirannya berdasarkan keahliannya masing-masing, sehingga wajarlah jika dari metode inii muncul berbagai kitab tafsir berbagai macam corak keilmuan, seperti tafsir fiqih, tafsir falsafi, tafsir sufi dan tafsir adabi ijtima’i.
Adapun kelemahan metode tahlili bisa dilihat dari tiga hal:[12]
1)      menjadikan petunjuk al Quran secara parsial
maksudnya ajaran dan pesan yang hendak disampaikan dalam al Quran tidak bisa tertangkap lebih utuh, seakan-akan al Quran hanya memberikan pedoman tidak komprehensif dan tidak konsisten, ini dikarenakan adanya penafsiran yang berbeda antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Kita ambil satu contoh misalnya QS. An Nisa ayat 2 :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ

Kata “nafsin wahidah”Ibnu Katsir menafsirkannya dengan “Adam a.s.” konsekuensinya adalah ketika dia menafsirkan lanjutan ayat tersebut, kata “wakhalaqa minha zaujaha beliau menulis “yaitu Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri”.[13] 
Jika kita bandingkan dengan penafsiran terhadap kata yang sama pada ayat lain maka terdapat perbedaan seperti dalam QS. At Taubah ayat 128, kata “anfusakum” ditafsirkan dengan “jenis (bangsa)”[14]. Padahal kata “nafs” dan “anfus” berasal dari akar kata yang sama hanya beda bentuk katanya. (mufrad dan jamak). Perubahan bentuk kata dari bentuk tunggal ke jamak hanya membawa perubahan konotasi, tapi tidak membawa perubahan makna.[15] Disinilah letak ketidakkonsistensiannya, sehingga seakan-akan al Quran tidak konsisten padahal penafsirannya yang tidak konsisten.

2)      melahirkan penafsiran yang subjektif
contoh penafsiran diatas juga menggambarkan betapa subyektifitas penafsir ikut berperan dalam menentukan makna dibalik ayat atau teks. Sangat logis, misalnya Ibnu Katsir sebagai seorang ahli hadits menafsirkan al Qur’an berdasarkan riwayat (hadits), namun ia terkesan kurang tepat dalam menempatkan suatu hadits. Dalam kasus diatas, kata “min dhil’in” dalam hadits ditafsirkan Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, padahal kata itu tidak pernah merujuk kepada Adam. Penafsiran itu muncul dari dalam pikiran Ibnu Katsir secara subyektif dihubungkan dengan kata “nafs” didalam al Qur’an.[16]

3)      membuka peluang masuknya pemikiran isra’iliyat
Kemungkinan masuknya pemikiran isra’iliyat sangatlah wajar karena metode tahlili tidak memberikan batasan-batasan seorang mufassir dalam menyatakan pendapatnya. Sebenarnya kisah-kisah isra’iliyat tidak ada masalah selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al Qur’an. [17]
Masalahnya adalah ketika kisah-kisah israiliyat ini masuk ke dalam penafsiran dan membentuk opini bahwa apa yang dikisahkan itu juga merupakan maksud dari firman allah, padahal itu belum tentu sama atau cocok dengan apa yang dimaksudkan Allah. Disinilah letak sisi negatifnya, dikhawatirkan akan mengurangi makna dari ayat tersebut.
Meskipun demikian, metodologi tahlili telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.

c.       Kritik Metodologis
Menurut Abdul Jalal, ada beberapa problem dalam metode tafsir tahlili diantaranya adalah:[18]
Pertama, bagaimana mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat al Quran, karena penggunaan metode tafsir tahlili mengakibatkan pemahaman terhadap suatu topik atau judul tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan karena ayat-ayat yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam berbagai surat, sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai tempat. Hal ini tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang satu dengan yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.
Kedua, bagaimana menghentikan kesenjangan antara ajaran al Quran yang berupa pedoman hidup dengan pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah swt. Sebab tuntunan Allah yang sebenarnya telah ada dalam al Quran kurang memasyarakat karena sulit untuk dipahami oleh masyarakat Islam, karena penafsiran-penafsirannya tidak secara topikal/sektoral, sehingga tidak bisa terpadu sampai tuntas.
Ketiga, bagaimana menghindari kesenjangan yang mengakibatkan orang-orang yang tidak paham tuntunan Allah tadi lalu meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan bahwa ajaran itu tidak sinkron dengan alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi sekarang ini.
Al-Farmawi, menambahkan, para penafsir model  tahlili  ada yang terlalu berbelit dengan menguraikan secara panjang lebar, dan ada pula yang terlalu sederhana dan terlalu ringkas. Jamal al-Banna (saudara  Hasan al Banna) memberikan komentar terhadap para  mufassir yang memiliki kecenderungannya untuk melakukan penafsiran al Quran bahwa kekeliruan terbesar yang dilakukan oleh kelompok mufassir metode tahlili adalah keasyikan mereka dalam berdebat sesuai dengan spesialisasi masing-masing, dan obsesi mereka yang berlebihan dalam mempertahankan argumentasinya. Mereka lupa untuk menunjukkan spirit al Quran itu sendiri, bahwa keseluruhan susunan ayat-ayat al Quran itu terjalin menjadi sebuah kitab utuh yang menghidupkan, membangkitkan dan memberikan tuntunan ke arah pencerahan umat manusia. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, lanjutnya, adalah spesialisasi para ulama di bidang tertentu membuat para ulama tafsir terpola ke dalam format tertentu.[19]
Kemudian  Jamal al-Banna  memberikan contoh dengan melancarkan kritikannya terhadap  mufassir yang dengan keahlian bahasanya menafsirkan al Quran, seperti al-Zamakhshari. Ia mengatakan: [20]
“cukuplah kita mengamati al-Kashshaf  karya al-Zamakhshari. Dari situ dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli gramatika, morfologi,  balaghah, dan ilmu bahasa lainnya. Perhatian ‘pertama’ terhadap al Quran misalnya, tertuju pada pembahasan dan studi mendetil tentang metafora (isti’arah), alegori (majaz), kata-kata asing dalam al Quran (Gharîb al-Qurân), gramatika, morfologi, dan lain sebagainya. Dengan pengamatan yang seksama atas karyanya, suatu ketika anda akan dibawa pada suatu kesimpulan, bahwa yang penting baginya dari al Quran adalah bagaimana menjadikannya sebagai ajang untuk menerapkan ilmu bahasa yang dia kuasai. Sementara makna-makna ayat dan tema al Quran menjadi terpisah dari sisi penjelasan dan ulasannya.”



2.      Metode Ijmali
Metode ijmali (global) ialah metode yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al Quran secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global).[21] Metode ini mengulas setiap ayat al Quran dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit.[22]
Dalam metode ini, seorang mufassir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al Quran dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.[23]
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekadar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al Quran, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al Quran. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda dengan ayat yang ditafsirkan (hampir sama dengan al Quran).

a.       Karakteristik Metode Ijmali
Perbedaan utama antara metode ijmali dengan metode tahlilimuqaran, ataupun mawdu’i adalah terletak pada:[24]
1)      seorang mufassir langsung menafsirkan ayat al Quran dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul,
2)      mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya,
3)      mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.

Para penafsir yang menggunakan metode ini umumnya tidak memakai bahasa yang sulit dipahami, tetapi menggunakan bahasa yang singkat dan sederhana untuk menghindari kesalahan dalam memahami ayat demi ayat.



b.      Kelebihan dan Kelemahan Metode Ijmali
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al Quran ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al Quran.
Adapun kelebihan pada metode ijmali, terletak pada:
1)        proses dan bentuknya yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum,
2)        terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan unsur-unsur lain, dan
3)        bahasanya yang akrab dengan bahasa al Quran.[25]
Sedangkan kekurangan metode ijmali adalah:
1)        menjadikan petunjuk Al Quran bersifat parsial,
2)        tidak ada ruang untuk analisis yang memadai. Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat ringkas.[26]
Maka metode ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh pekerjannya sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat.
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufassir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al Quran sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
Di antara kitab tafsir yang ditulis dengan metode ijmali adalah ; 
-     Kitab Tafsir Al Quran al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, 
-     Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah,
-     Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman al-Mirghani,  
-     Tafsir li al-Imam al-Jalalayn, karya bersama Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuti.[27]
Karena kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, maka paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Meskipun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang banyak diminati, terutama oleh para mufassir kontemporer.

c.       Kritik Metodologis
Dalam metode tafsir ijmali, teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi zahir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al Quran ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks.[28]
Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam tafsir Jalalayn yang ditulis dengan metode ijmali.


III.          Kesimpulan
Beberapa meeting point yang bisa kita ambil dari pemaparan diatas, diantaranya adalah :
1.        Metode Tahlili adalah metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat al Qur’an dari berbagai aspek yang mengitarinya dengan menggunakan banyak disiplin ilmu pengetahuan.
2.        Metode Tahlili banyak digunakan para mufassir untuk mengembangkan penafsiran al Qur’an. Dari metode tahlili memunculkan berbagai macam corak tafsir sesuai dengan kapasitas keilmuan penafsir, baik tafsir bi al ra’yi maupun tafsir bi al ma’tsur
3.        Metode Ijmali merupakan metode tafsir yang menjelaskan makna ayat al Quran secara ringkas dan mudah dipahami oleh semua pembaca.
4.        Produk dari tafsir yang menggunakan metode ini lebih familiar dan sangat membantu bagi para pembaca pemula yang sedang dalam proses memahami kandungan dan makna al Quran
5.        Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Namun bukan berarti kekurangan itu merupakan sesuatu yang negative, akan tetapi menjadi bahan evaluasi dan lebih bijak serta kewaspadaan dalam memakai metode tersebut sehingga tidak terjebak pada penafsiran yang sempit dan keliru.

IV.          Penutup
Terlepas dari berbagai problem yang terdapat dalam metode tahlili dan ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode tahlili dan ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al Quran tetap menjadi khazanah yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Seiring dengan dinamika intelektual manusia serta tantangan-tantangan yang kita hadapi semakin konpleks maka pengembangan metodoologi tafsir menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa kita pungkiri. Sebuah metode boleh jadi akan terasa usang sehingga memerlukan pembaharuan-pembaharuan yang lebih kreatif dan inovatif untuk menjawab tantangan permasalahan umat. Disinilah tugas kita sebagai kaum intelektual muslim untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Are u ready ???? semoga.
Demikian pemaparan yang bisa saya sampaikan semoga bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan kita tentang berbagai metodologi tafsir. Saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk perbaikan penulisan makalah selanjutnya. Selamat berdiskusi-ria ,,.,.,.!!!


Daftar Pustaka
Al Banna, Gamal,  Evolusi Tafsir dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern (Terj). Novriantoni Kahar (Jakarta: Qisthi Press, 2004)
Al Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992)
Al Zahabi, Muhammad Husain, al Tafsir wa al Mufassirun, (Mesir : Dar al Kutub al Hadits, 1961)
Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran Al Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
----------, Tafsir bi Al Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an, Mencermati Konsep Kesejajaran Wanita dalam Al Qur’an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999)
Farmawi, Abd al Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’i (Terj.) Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
----------, Al Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’I, cet. 2, (Mesir : Mathaba’at al Hadharat al Arabiyah, 1977)
----------, Muqaddimah fi al Tafsir al Maudhu’I, (Mesir : Mathaba’at al Hadharat al Arabiyah, 1977)
Ibn al Katsir, Abu al Fida al Hafizh, Tafsir al Qur’an al Adzhim, cet. I (Beirut : Darul Fikr, 1992)
Ibn Zakariya, Ahmad ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz 11 (Mesir : Isa al-Babiy al-Halabiy, 1990)
Jalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudhu’I Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990)
Khalil Al-Qattan, Manna, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973)
Samsul Bahri, Konsep-Konsep Dasar Metodologi Tafsir, dalam M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Teras, 2005)
Supriana, dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002)