Oleh : Muhammad Fathoni, S. Pd.I
I.
Pendahuluan
Al Quran merupakan kalamullah yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada nabi
Muhammad melalui perantara malaikat Jibril sebagai petunjuk manusia untuk
membedakan kebaikan dan keburukan. Selain sebagai kitab pedoman manusia, Al
Quran juga sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi
kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak
pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan
perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam
mengarungi kehidupan di dunia. Al Quran tidak hanya berbicara tentang moralitas
dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan kehidupan umat manusia.[1]
Al Quran diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab
yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah,
kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam
berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah
sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat
yang singkat dan sarat makna.
Banyak ulama tafsir yang telah menulis
beberapa karya tentang metode penafsiran al Quran. Dari para ulama itu
muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap
pesan-pesan al Quran secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial
mereka. Di antara metode penafsiran yang populer di kalangan para
ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode ijmali
(global), metode muqaran (komparatif),
dan metode maudhu’i (tematik).
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba
untuk menguraikan dua metode tafsir pertama, yaitu tahlili dan ijmali,
meliputi pengertian secara etimologi dan terminologi, karakteristik tafsir,
serta kelemahan dan kelebihan dari metode tersebut. Ini tidak berlebihan mengingat
dua metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama
tafsir) dalam mewujudkan karyanya dalam bidang penafsiran al Quran.
II.
Pembahasan
Dalam
melakukan pembahasan makalah ini penulis hanya menguraikan metode tafsir tahlili dan ijmali,
meliputi pengertian secara etimologi dan terminologi, karakteristik tafsir,
serta kelemahan dan kelebihan dari metode tersebut serta kritik metodologis
secara umum.
1.
Metode Tahlili
Tahlili adalah akar kata dari hala,
huruf ini terdiri dari huruf ha dan lam, yang berarti membuka
sesuatu,[2]
sedangkan kata tahlily sendiri masuk dalam bentuk infinitf (mashdar)
dari kata hallala, yang secara semantik berarti mengurai,
menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya serta memiliki fungsi masing-masing.
Secara etimologis, metode tahlili berarti
menjelaskan ayat-ayat al Quran dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh
maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap
ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan
antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang
turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi
saw., Sahabat dan tabi’in.[3]
Dari sekian metode tafsir yang ada,
metode tahlili merupakan metode yang paling lama usianya dan
paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata dan lafaz, tahlili juga
menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jaz, balaghah,
dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari
ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan
norma-norma akhlak.[4]
Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al
Quran yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah
menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al
Quran secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf,
mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir
surat al-Nas tanpa dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna.
Artinya, mayoritas mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat al Quran selalu mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang
ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya.
a.
Karakteristik Metode Tahlili
Secara garis besar ada dua
ciri utama dalam metode tahlili :
Pertama, tafsir bi
al ma’tsur, yaitu penafsiran ayat al Quran dengan ayat; penafsiran
ayat dengan Hadits Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami
oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau
penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Tafsir bi
al ma’tsur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al- riwayah.
Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma’tsur adalah Jami’
al-Bayan fi Tafsir al Quran karya Imam Ibn Jarir al Thabari. Tafsir
al Quran al-’Adhim karya Ibn Katsir. Menurut W. Montgomery
Watt, tafsir al Thabari adalah tafsir al Quran yang paling
penting di antara kitab tafsir yang masih ada dan dapat diperoleh dengan mudah.
Karyanya itu dicetak pertama kali di Kairo pada tahun 1903 M dalam tiga jilid
dan kemudian dicetak berulang kali. [5]
Kedua, tafsir bi
al ra’yi, yaitu penafsiran al Quran dengan ijtihad[6],
terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui
perihal bahasa Arab, asbab al nuzul, nasikh-mansukh dan
beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsir bi
al ra’yi (rasional) juga dikenal dengan tafsir bi
al dirayah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan
pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan
utamanya. ”tafsiri al-ra’y
yang menggunakan metode
analitis ini, para mufassir memperoleh kebebasan,
sehingga mereka agak lebih
otonom [mandiri] berkreasi dalam memberikan interpretasi
terhadap ayat-ayat al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan
kaidah kaidah penafsiran yang mu’tabar.
Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan
metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti
tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi
ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi
al-ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh
ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan[7].
Dari perdebatan yang ada, tidak berarti
pendekatan tafsir Al Qur’an dengan Ra’yu tidak mendapat tempat
dikalangan ’ulama. Sebagian ulama yang menerima menafsirkan Al Qur’an dengan
pendekatan al-Ra’yu ini memberikan syarat-syarat dan kaidah-kaidah
yang ketat. Diantara syarat-syaratnya adalah : (1). Menguasai Bahasa Arab dan
cabang-cabangnya, (2). Menguasai Ilmu-ilmu Al Qur’an, (3). Berakidah yang baik
dan benar, (4). Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan
menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.[8]
Dalam menyikapi tafsir bi al
ra’yi, para ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia
memenuhi persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu
bisa diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi persyaratan, maka penafsirannya
ditolak. Ada dua aspek utama sebagai syarat penafsiran bi al ra’yi ini yaitu
intelektual dan moral. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi
al ra’yi adalah: Mafatih al
Ghoib karya Fakhruddin al Razi, Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karangan Mahmud
al-Nasafi, dan Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin.[9]
Berangkat dari dua ciri metode tahlili di
atas, lahirlah beberapa macam tafsir sesuai dengan kecenderungan para mufassir.
Macam-macam tafsir tersebut adalah sebagai berikut :[10]
1) tafsir sufi, yaitu
penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan
mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi
dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir
sufi adalah kitab: Tafsir al Quran al-’Adhim, karya Imam
al-Tusturi.
2) tafsir fiqhi, yaitu
penafsiran al Quran yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan
sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan
dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda. Di antara kitab
tafsir dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al Quran,
karya Al-Jassah dan al-Jami’ li Ahkam al Quran karya Imam
al-Qurtubi.
3) tafsir falsafi, yaitu
penafsiran al Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab
tafsir falsafi adalah kitab Mafatih al-Ghayb karya Fakhr
al-Din al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat dalam
mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan pada ilmu kalam dan semantik
(logika). Ia juga membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan
dengan agama, khususnya dengan al Quran, dan akhirnya ia dengan tegas menolak
filsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
4) tafsir ‘ilmi, yaitu
penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al Quran, dengan cara
mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah
untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Di antara kitab
tafsir ‘ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda,
karya Wahid al-Din Khan.
5) tafsir adabi-ijtima’i, yaitu
penafsiran ayat-ayat al Quran dengan mengungkapkan sisi balaghah al
Quran dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang
dituju al Quran, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan
yang dikandungnya. Tafsir adabi-ijtima’i merupakan
corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al
Quran serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al Quran.
Diantara kitab tafsir adabi-ijtima’i adalah Tafsir al
Manar karya Muhammad Muhammad Abduh dan
Rasyid Rida.
b.
Kelebihan dan Kelemahan
Metode Tahlili
Keistimewaan metode ini terletak
pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan
gagasan dalam upaya menafsirkan al Quran. Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatif
lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru
dalam penafsiran al Quran. Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih
pesat perkembangannya.[11]
Melalui metode ini, penafsir bisa lebih
mengembangkan gagasan dan ide penafsirannya berdasarkan keahliannya
masing-masing, sehingga wajarlah jika dari metode inii muncul berbagai kitab
tafsir berbagai macam corak keilmuan, seperti tafsir fiqih, tafsir falsafi,
tafsir sufi dan tafsir adabi ijtima’i.
Adapun kelemahan metode tahlili bisa
dilihat dari tiga hal:[12]
1) menjadikan
petunjuk al Quran secara parsial
maksudnya
ajaran dan pesan yang hendak disampaikan dalam al Quran tidak bisa tertangkap
lebih utuh, seakan-akan al Quran hanya memberikan pedoman tidak komprehensif
dan tidak konsisten, ini dikarenakan adanya penafsiran yang berbeda antara satu
ayat dengan ayat lainnya.
Kita
ambil satu contoh misalnya QS. An Nisa ayat 2 :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Kata
“nafsin wahidah”Ibnu Katsir
menafsirkannya dengan “Adam a.s.” konsekuensinya adalah ketika dia menafsirkan
lanjutan ayat tersebut, kata “wakhalaqa
minha zaujaha” beliau
menulis “yaitu Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri”.[13]
Jika
kita bandingkan dengan penafsiran terhadap kata yang sama pada ayat lain maka
terdapat perbedaan seperti dalam QS. At Taubah ayat 128, kata “anfusakum” ditafsirkan dengan “jenis
(bangsa)”[14].
Padahal kata “nafs” dan “anfus” berasal dari akar kata yang sama
hanya beda bentuk katanya. (mufrad dan jamak). Perubahan bentuk kata dari
bentuk tunggal ke jamak hanya membawa perubahan konotasi, tapi tidak membawa
perubahan makna.[15]
Disinilah letak ketidakkonsistensiannya, sehingga seakan-akan al Quran tidak
konsisten padahal penafsirannya yang tidak konsisten.
2) melahirkan
penafsiran yang subjektif
contoh
penafsiran diatas juga menggambarkan betapa subyektifitas penafsir ikut
berperan dalam menentukan makna dibalik ayat atau teks. Sangat logis, misalnya
Ibnu Katsir sebagai seorang ahli hadits menafsirkan al Qur’an berdasarkan
riwayat (hadits), namun ia terkesan kurang tepat dalam menempatkan suatu
hadits. Dalam kasus diatas, kata “min dhil’in” dalam hadits ditafsirkan Siti
Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, padahal kata itu tidak pernah merujuk kepada
Adam. Penafsiran itu muncul dari dalam pikiran Ibnu Katsir secara subyektif
dihubungkan dengan kata “nafs” didalam al Qur’an.[16]
3) membuka
peluang masuknya pemikiran isra’iliyat
Kemungkinan
masuknya pemikiran isra’iliyat sangatlah wajar karena metode tahlili tidak
memberikan batasan-batasan seorang mufassir dalam menyatakan pendapatnya.
Sebenarnya kisah-kisah isra’iliyat tidak ada masalah selama tidak dikaitkan
dengan pemahaman al Qur’an. [17]
Masalahnya adalah ketika kisah-kisah
israiliyat ini masuk ke dalam penafsiran dan membentuk opini bahwa apa yang
dikisahkan itu juga merupakan maksud dari firman allah, padahal itu belum tentu
sama atau cocok dengan apa yang dimaksudkan Allah. Disinilah letak sisi
negatifnya, dikhawatirkan akan mengurangi makna dari ayat tersebut.
Meskipun demikian, metodologi tahlili telah
memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai
aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.
c.
Kritik Metodologis
Menurut Abdul Jalal, ada beberapa problem
dalam metode tafsir tahlili diantaranya
adalah:[18]
Pertama, bagaimana
mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat al Quran, karena
penggunaan metode tafsir tahlili mengakibatkan pemahaman
terhadap suatu topik atau judul tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan
karena ayat-ayat yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam
berbagai surat, sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai
tempat. Hal ini tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat
yang satu dengan yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang
semakna.
Kedua, bagaimana
menghentikan kesenjangan antara ajaran al Quran yang berupa pedoman hidup
dengan pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah swt. Sebab tuntunan Allah
yang sebenarnya telah ada dalam al Quran kurang memasyarakat karena sulit untuk
dipahami oleh masyarakat Islam, karena penafsiran-penafsirannya tidak secara
topikal/sektoral, sehingga tidak bisa terpadu sampai tuntas.
Ketiga, bagaimana
menghindari kesenjangan yang mengakibatkan orang-orang yang tidak paham
tuntunan Allah tadi lalu meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan
bahwa ajaran itu tidak sinkron dengan alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu
dan teknologi sekarang ini.
Al-Farmawi, menambahkan, para
penafsir model tahlili ada yang terlalu berbelit dengan
menguraikan secara panjang lebar, dan ada pula yang terlalu sederhana dan
terlalu ringkas. Jamal al-Banna (saudara Hasan al Banna)
memberikan komentar terhadap para mufassir yang memiliki
kecenderungannya untuk melakukan penafsiran al Quran bahwa kekeliruan terbesar
yang dilakukan oleh kelompok mufassir metode tahlili adalah
keasyikan mereka dalam berdebat sesuai dengan spesialisasi masing-masing, dan
obsesi mereka yang berlebihan dalam mempertahankan argumentasinya. Mereka lupa
untuk menunjukkan spirit al Quran itu sendiri, bahwa keseluruhan
susunan ayat-ayat al Quran itu terjalin menjadi sebuah kitab utuh yang
menghidupkan, membangkitkan dan memberikan tuntunan ke arah pencerahan umat
manusia. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, lanjutnya, adalah spesialisasi para
ulama di bidang tertentu membuat para ulama tafsir terpola ke dalam format
tertentu.[19]
Kemudian Jamal al-Banna
memberikan contoh dengan melancarkan kritikannya terhadap mufassir yang
dengan keahlian bahasanya menafsirkan al Quran, seperti al-Zamakhshari. Ia
mengatakan: [20]
“cukuplah kita mengamati al-Kashshaf
karya al-Zamakhshari. Dari situ dapat diketahui bahwa ia adalah seorang
ahli gramatika, morfologi, balaghah, dan ilmu bahasa lainnya.
Perhatian ‘pertama’ terhadap al Quran misalnya, tertuju pada pembahasan dan
studi mendetil tentang metafora (isti’arah), alegori (majaz),
kata-kata asing dalam al Quran (Gharîb al-Qurân), gramatika, morfologi,
dan lain sebagainya. Dengan pengamatan yang seksama atas karyanya, suatu ketika
anda akan dibawa pada suatu kesimpulan, bahwa yang penting baginya dari al
Quran adalah bagaimana menjadikannya sebagai ajang untuk menerapkan ilmu bahasa
yang dia kuasai. Sementara makna-makna ayat dan tema al Quran menjadi terpisah
dari sisi penjelasan dan ulasannya.”
2.
Metode Ijmali
Metode ijmali (global)
ialah metode yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al Quran secara ringkas dan
padat, tetapi mencakup (global).[21]
Metode ini mengulas setiap ayat al Quran dengan sangat sederhana, tanpa ada
upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan
yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat
global.
Secara garis besar metode tafsir ini
tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya
yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional
penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian
penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit.[22]
Dalam metode ini, seorang mufassir berupaya
untuk menjelaskan makna-makna al Quran dengan uraian singkat dan mudah dipahami
oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki
pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.[23]
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan
setiap ayat hanya sekadar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang
harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyisakan
sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari
gaya bahasa al Quran, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai
metode ijmali, layaknya membaca ayat al Quran. Uraian yang singkat dan
padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda
dengan ayat yang ditafsirkan (hampir sama dengan al Quran).
a. Karakteristik
Metode Ijmali
Perbedaan utama antara metode ijmali dengan
metode tahlili, muqaran, ataupun mawdu’i adalah
terletak pada:[24]
1) seorang mufassir langsung
menafsirkan ayat al Quran dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan
penetapan judul,
2) mufassir tidak
banyak mengemukakan pendapat dan idenya,
3) mufassir tidak
banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun
pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak
pada wilayah analitis.
Para penafsir yang menggunakan metode ini umumnya
tidak memakai bahasa yang sulit dipahami, tetapi menggunakan bahasa yang
singkat dan sederhana untuk menghindari kesalahan dalam memahami ayat demi
ayat.
b. Kelebihan
dan Kelemahan Metode Ijmali
Setiap metode tentu saja memiliki
kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al Quran ada yang tidak
bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al
Quran.
Adapun kelebihan pada metode ijmali,
terletak pada:
1)
proses dan bentuknya
yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum,
2)
terhindar dari
upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan
tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan
unsur-unsur lain, dan
3)
bahasanya yang akrab
dengan bahasa al Quran.[25]
Sedangkan kekurangan metode ijmali adalah:
1)
menjadikan petunjuk Al
Quran bersifat parsial,
2)
tidak ada ruang untuk
analisis yang memadai. Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat
ringkas.[26]
Maka
metode ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap
permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh pekerjannya
sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang
pemahaman suatu ayat.
Metode ijmali yang
dipakai oleh para mufassir memang sangat mudah untuk dibaca
karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola
tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu
yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan
target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al Quran sebagai kitab
suci yang memberikan petunjuk hidup.
Di antara kitab tafsir yang ditulis
dengan metode ijmali adalah ;
-
Kitab Tafsir Al Quran
al-Karim, karya Muhammad Farid
Wajdi,
-
Al-Tafsir al-Wasith,
terbitan Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah,
-
Taj al-Tafasir, karya Muhammad
Ushman al-Mirghani,
-
Tafsir li al-Imam
al-Jalalayn, karya bersama Jalaluddin
al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuti.[27]
Karena kitab-kitab
tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali,
maka paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Meskipun demikian, seiring perkembangan
zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam
melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya
termasuk metode yang kurang banyak diminati, terutama oleh para mufassir kontemporer.
c. Kritik
Metodologis
Dalam metode tafsir ijmali,
teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar
makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi zahir,
bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al
Quran ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih
menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan
disampaikan oleh teks.[28]
Metode ijmali memakai
pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran
singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam
tafsir Jalalayn yang ditulis dengan metode ijmali.
III.
Kesimpulan
Beberapa
meeting point yang bisa kita ambil dari pemaparan diatas, diantaranya adalah :
1.
Metode Tahlili adalah
metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat al Qur’an dari berbagai aspek
yang mengitarinya dengan menggunakan banyak disiplin ilmu pengetahuan.
2.
Metode Tahlili banyak
digunakan para mufassir untuk mengembangkan penafsiran al Qur’an. Dari metode
tahlili memunculkan berbagai macam corak tafsir sesuai dengan kapasitas
keilmuan penafsir, baik tafsir bi al ra’yi maupun tafsir bi al ma’tsur
3.
Metode Ijmali merupakan
metode tafsir yang menjelaskan makna ayat al Quran secara ringkas dan mudah
dipahami oleh semua pembaca.
4.
Produk dari tafsir yang
menggunakan metode ini lebih familiar dan sangat membantu bagi para pembaca
pemula yang sedang dalam proses memahami kandungan dan makna al Quran
5.
Masing-masing metode
memiliki kelebihan dan kelemahan. Namun bukan berarti kekurangan itu merupakan sesuatu
yang negative, akan tetapi menjadi bahan evaluasi dan lebih bijak serta kewaspadaan
dalam memakai metode tersebut sehingga tidak terjebak pada penafsiran yang
sempit dan keliru.
IV.
Penutup
Terlepas dari berbagai problem yang
terdapat dalam metode tahlili dan ijmali, dalam
sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran yang
layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode
tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode tahlili dan ijmali yang
muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al Quran tetap menjadi
khazanah yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Seiring dengan dinamika intelektual
manusia serta tantangan-tantangan yang kita hadapi semakin konpleks maka
pengembangan metodoologi tafsir menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa kita
pungkiri. Sebuah metode boleh jadi akan terasa usang sehingga memerlukan
pembaharuan-pembaharuan yang lebih kreatif dan inovatif untuk menjawab tantangan
permasalahan umat. Disinilah tugas kita sebagai kaum intelektual muslim untuk
mewujudkan cita-cita tersebut. Are u ready ???? semoga.
Demikian pemaparan yang bisa saya
sampaikan semoga bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan kita tentang
berbagai metodologi tafsir. Saran dan kritik yang konstruktif sangat kami
harapkan untuk perbaikan penulisan makalah selanjutnya. Selamat berdiskusi-ria
,,.,.,.!!!
Daftar
Pustaka
Al
Banna, Gamal, Evolusi Tafsir dari Zaman Klasik Hingga Zaman
Modern (Terj). Novriantoni Kahar (Jakarta: Qisthi Press, 2004)
Al
Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali
Pers, 1992)
Al
Zahabi, Muhammad Husain, al Tafsir wa al
Mufassirun, (Mesir : Dar al Kutub al Hadits, 1961)
Baidan,
Nashiruddin, Metodologi Penafsiran Al Quran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005)
----------,
Tafsir bi Al Ra’yi, Upaya Penggalian
Konsep Wanita dalam Al Qur’an, Mencermati Konsep Kesejajaran Wanita dalam Al
Qur’an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999)
Farmawi,
Abd al Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’i (Terj.) Suryan
A. Jamrah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
----------,
Al Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’I,
cet. 2, (Mesir : Mathaba’at al Hadharat al Arabiyah, 1977)
----------,
Muqaddimah fi al Tafsir al Maudhu’I,
(Mesir : Mathaba’at al Hadharat al Arabiyah, 1977)
Ibn
al Katsir, Abu al Fida al Hafizh, Tafsir
al Qur’an al Adzhim, cet. I (Beirut : Darul Fikr, 1992)
Ibn
Zakariya, Ahmad ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz 11 (Mesir :
Isa al-Babiy al-Halabiy, 1990)
Jalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudhu’I Pada Masa
Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990)
Khalil Al-Qattan, Manna, Mabahith fi ’Ulum
al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973)
Samsul
Bahri, Konsep-Konsep Dasar Metodologi
Tafsir, dalam M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Teras, 2005)
Supriana,
dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung
: Pustaka Islamika, 2002)
minta ijin copas untuk keperluan sekolah dan nambah ilmu
ReplyDeleteThankz
ReplyDeletesilahkan....semoga bermanfaat
ReplyDelete