Sunday, December 16, 2012

MENGUNGKAP KEBERADAAN TUHAN DALAM ISLAM (Sebuah Telaah Kritis Pendekatan Filosofis)

Oleh : Muhammad Fathoni, S. Pd.I
 
1.       PENDAHULUAN
Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan sungguh-sungguh, radikal sehingga mencapai hakekat segala situasi tersebut. Oleh karena itu, Filsafat termasuk ilmu istemewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah tersebut terdapat di luar atau di atas jangakauan ilmu pengetahuan biasa.
Berfikir dengan filsafat (filosofis) tersebut dapat digunakan dalam memahami ajaran agama (Islam), dengan harapan agar hikmah, hakikat, atau inti dari ajaran tersebut dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Berfikir secara filsafat inilah yang disebut sebagai metode pendekatan filsafat dalam mengkaji studi Islam. Melalui pendekatan ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji dan sudah menunaikan rukun islam yang kelima dan berhenti sampai disana, mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spritual yang terkandung didalamnya.[1]
Pendekatan filsafat dalam penelitian agama Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu. Al-Qur’an bukan karya filosofis baik dari prilaku maupun ajarannya. Allah menyampaikan wahyunya melalui al-Qur’an untuk mengingatkan kembali kepada kita akan kebenaran-kebenaran tentang Tuhan dalam hubungannya dengan manusia, tentang hidup di dunia dan akhirat, mengutip cerita-cerita lama, menjanjikan imbalan atau hukuman atas setiap perbuatan manusia. Tetapi di samping kebenaran-kebenaran keagamaan, al-Qur’anpun memuat unsur-unsur kefilsafatan artinya pernyataan-pernyataan yang memberikan bahan untuk direnungkan, tentang Tuhan, tentang penciptaan, tentang alam semesta, tentang manusia, takdir dan lain sebagainya.[2]
Penelaahan tentang Tuhan dalam perspektif filsafat lazimnya disebut teologi kodrati atau teodise. Yang menjadi obyeknya adalah Tuhan sebagaimana dikenal oleh akal kodrati. Penelaahan tentang Tuhan merupakan puncak metafisika yang khusus, dan berbeda dengan metafisika lainnya yang membahas tentang “ada” pada umumnya. Dan berbeda pula dengan teologi suci yang diterangi wahyu untuk manusia di dalam iman kepercayaan.[3]
Iman atau kepercayaan kepada Tuhan dapat dipertanggung jawabkan secara rational dalam dua pengertian, secara teologis dan folosofis. Secara teologis, iman dipertanggungjawabkan jika dapat ditunjukan bahwa apa yang diimani serta kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu adalah sesuai dengan sumber  iman sendiri yang berupa wahyu. Jadi teologi berdasarkan wahyu agama yang bersangkutan dan sekaligus wahyu adalah sumber kebenaran. Mengingat setiap agama mempunyai wahyu atau dasarnya sendiri, maka setiap agama mempunyai teologi tersendiri. Pertanggungjawaban iman secara teologis diarahkan dalam rangka refleksi dan diskursus di dalam umat agama yang bersangkutan. Sedangkan secara filosofis, iman dipertanggungjawabkan dan dipahami secara rasional atau nalar sehingga filsafat ketuhanan hanya mempertanyakan hal-hal yang paling mendasar atau inti, misalnya, tentang adanya Tuhan. Karena itu, pertanyaan mendasar dari filsafat ketuhanan adalah: Bagaimana kepercayaan bahwa ada Tuhan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional ?.[4]
Oleh karenanya, mengartikan agama dengan menggunakan ilmu filsafat adalah filsafat sebagai media untuk manusia mencari makna Tuhan atau ma’rifatullah secara mendalam, dan menggunakan logikanya sebagai alat pencari makna islam itu sendiri. Tetapi yang perlu digarisbawahi, logika manusia memiliki keterbatasan. Sehingga Al-Quran tidak semua ayatnya dapat di terjemahkan secara logika, contohnya saja ayat tentang keberadaan tuhan.
Dari gambaran diatas ada pertanyaan yang menggelitik bagi bagi umat beragama (khususnya orang Islam), karena sudah mafhum oleh kita bahwa manusia dilarang untuk memikirkan eksistensi dzat Tuhan, namun sebaliknya hanya diperbolehkan memikirkan hasil karya ciptaanNya (makhluk). Oleh karena itu pertanyaan : haruskah Tuhan itu ada? haruskah Tuhan itu Esa dan mengapa harus Esa ?. Semua pertanyaan ini dapat dijawab berdasarkan berbagai pendekatan filosofis, seperti ontologis, epistimologis kosmologis, teleologis, dan moral.

2.       PEMBAHASAN
Filsafat pada intinya beruapaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik obyek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriyah.
Sebelum membahas eksistensi Tuhan dalam Islam dengan pendekatan filosofis, alangkah lebih baiknya kita bahas terlebih dahulu beberapa bagian-bagian yang terkait dengan filsafat yang kemudian kita elaborasikan dengan eksistensi Tuhan dalam agama Islam.   

a.      Pendekatan Ontologis.
Kata Ontology (bahasa Inggris) atau kata sifatnya, ontologis, berasal dari bahasa Yunani, yaitu; on atau ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang).  Dengan demikian, ontologi adalah pengetahuan tentang eksistensi segala sesuata yang ada. Menurut Loren Bagus[5], ontologi mengandung beberapa pengertian:
1)     Studi mengenai ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri, yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Studi tentang Yang Ada dalam bentuk yang sangat abstrak mengajukan pertanyaan seperti: Apa itu Ada-dalam dirinya sendiri? Apa hakikat Ada sebagai Ada ?
2)     Cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin dengan menggunakan kategorisasi, seperti: ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, esensi, keniscayaan, yang ada sebagai yang ada, ketergantungan pada dirinya sendiri, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terakhir, dasar.
3)     Cabang filsafat yang mencoba ; melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna; menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya; dan menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah realitas tertentu.
4)     Cabang filsafat yang mengajukan pertanyaan; Apa arti “ Ada, Berada), dan yang menganalisis macam-macam makna yang memungkinkan hal-hal yang dapat dikatakan Ada atau Berada.
5)     Cabang filsafat yang: menyelidiki jenis realitas suatu hal yang nyata; menyelidiki jenis realitas yang dimiliki hal-hal, misalnya, apa yang dimiliki suatu bilangan, dan menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas dan/atau ilusi.

Menurut Juhaya S. Praja, ontologi merupakan ilmu pengetahuan yang menjelaskan hakikat yang ada atau disebut pula sebagai teori hakikat. Jadi, ontologi mempertanyakan, apa sebenarnya hakikat dari segala sesuatu yang ada. Menurutnya, ada empat aliran filsafat yang memberi jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu; materialisme, idealisme, dualisme, dan agnosticisme.[6]
Kita ambil salah satu pandangan agnoticisme misalnya, dalam masalah eksistensi Tuhan, aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak akan sanggup untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan; pada prinsipnya aliran ini tidak menafikan Tuhan secara tegas dan tidak juga mengatakan bahwa Tuhan itu ada. Singkatnya, faham agnoticisme adalah ajaran keraguan sehingga dinamakan pula sebagai aliran skepticisme, antara atheisme dengan theisme sehingga memungkinkan untuk ditarik ke dalam lingkungan agama.[7]
Kaitannya dengan pertanyaan eksistensi Tuhan; haruskah Tuhan itu ada? haruskah Tuhan itu Esa ? dan mengapa harus Esa ?, maka argumen-argumen ontologis merupakan salah satu upaya untuk membuktikan eksistensi Tuhan yang paling termasyhur dan kontroversi, yang banyak dibahas oleh para filosof besar. Yang pertama kali mengemukakan pertanyaan ini adalah Santo Anselmus dari Canterbury (1033-1109 M). Ia berargumentasi sebagai berikut: Allah adalah Pengada yang tak dapat dipikirkan oleh sesuatu yang lebih besar daripada-Nya (id quo majus cogitari nequit). Tetapi sesuatu yang tak dapat dipikirkan itu tentu bereksistensi dalam kenyataan bukan hanya dalam pikiran, sebab jika eksistensi-Nya hanya dalam pikiran subyek yang memikirkan, umpamanya dalam pikiran Anselmus sendiri, maka tentu harus ada sesuatu yang lebih besar yang dapat dipikirkan, yakni; yang nyata-nyata ada di luar pikiran. Maka, mengingat kita dapat memikirkan Allah sebagai “Sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya”,  maka Allah mesti bereksistensi dalam kenyataan. Jadi eksistensi Allah tidak dapat disangkal.[8]

Bagaimana argumen tersebut dapat dinilai ? Menurut Franz Magnis Suseno memberi tanggapan sebagai berikut:
Pertama, perlu ditegaskan bahwa secara prinsip dari memikirkan sesuatu tidak pernah dapat disimpulkan ke eksistensi nyata tentang sesuatu yang dipikirkan itu, misalnya, dari analisa sebuah konsep tak pernah diketahui apakah yang ditandai oleh konsep itu nyata-nyata ada atau tidak. Dengan demikian, teka-teki argumentasi Anselmus dapat diungkap, yakni yang dibuktikan hanyalah jika kita memikirkan Allah, Allah sebagai sesuatu yang tak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya, dan karena itu Allah harus dipikirkan sebagai bereksistensi dengan mutlak. Akan tetapi, pertanyaan apakah memang ada “ sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya”, sama sekali belum terjawab. Memang jika Allah itu ada, maka Allah memang tidak mungkin tidak ada; namun pertanyaan, “ apakah Allah ada”, tidak dapat dijawab hanya dari bagaimana kita memikirkan-Nya.[9] Dengan demikian, pembuktian ontologis Allah terbukti tidak absah.
Kedua, jika demikian argumentasi ontologis tentang eksistensi Allah belum selesai . Oleh karena itu, kita harus memikirkan eksistensi Allah itu dari realitas terbatas ke realitas mutlak. Yang mutlak adalah sesuatu yang ada karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain, yakni Allah itu mesti ada, dan karena itu mesti esa. Argumentasi ini sangat sederhana dengan tiga langkah:
a.    Ditegaskan bahwa kalau ada sesuatu, maka harus ada yang mutlak;
b.    Diperlihatkan bahwa segenap realitas yang berubah-rubah tidak mungkin mutlak;
c.     Ditarik kesimpulan bahwa selain realitas yang berubah-rubah mesti ada yang lain lagi, “ yang mutlak”, yang berbeda dengan realitas yang berubah-rubah itu.[10]

Selain  Anselmus, argumen ontologi disampaikan pula oleh Descartes. Menurut Descartes, Allah adalah Yang Ada, sempurna dan tak terbatas.  Karena itu, wajib mengandaikan bahwa Allah itu Maha Kekal, Maha Kuasa,  serta Maha Sempurna. Dialah sebab keberadaanku, yang menanamkan ide tentang Dia dalam pikiranku, dan pikiran-pikiran lain seterusnya.[11]
Sedang menurut filosof muslim al Kindi, alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.[12]
Pertama-tama al-Kindī  menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular). Kajian filsafat ketuhanannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.[13]
Al Kindī berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian tubuh.
Selanjutnya, ia berargumen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh setiap serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan.
Hanya saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī  masih terpengaruh oleh Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia.[14] Namun tidak seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Tuhan adalah Penyebab dari segala sebab. Setelah melakukan sebab itu, Tuhan tetap melakukan sesuatu (‘Illah al-Fā’ilah).
Disinilah letak perbedaannya, Tuhan tidak diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan Tuhan tidak bergerak, sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun setelah emanasi. Sehingga Tuhan dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang partikular. Berbeda dengan al-Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.[15] Al-Kindī menyebut, Tuhan yang seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi penyebab dan bertindak aktif. Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku yang metaforis (agen kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti. Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bawah. Secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan.
Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bawah adalah terdiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan.[16]
Namun, analisis secara umum al Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi al Kindī alam dunia mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.[17]
    
b.     Pendekatan Epistemologis.
Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani: episteme, yang berarti knowledge atau pengetahuan. Logy berarti teori. Oleh sebab itu, epistemologi diartikan sebagai teori pengetahuan atau filsafat ilmu. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini: Apakah pengetahuan itu ? Apa sumber-sumber pengetahuan itu ? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahui? Apakah pengetahuan kita itu benar ?[18]
Pendekatan ini dapat dipergunakan dalam memahami eksistensi atau kebenaran adanya Tuhan Yang Maha Esa, yaitu berdasarkan sumber pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, Juhaya S. Praja menegaskan bahwa pengetahuan yang kian hari kian bertambah, pada dasarnya bersumber kepada tiga macam sumber, yaitu: (1) pengetahuan yang langsung diperoleh; (2) pengetahuan konklusi, dan (3) pengetahuan kesaksian dan autoritas.[19]
Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu.
Al Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusia memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu.

c.      Pendekatan Kosmologis.
Cosmology (Inggris), berasal dari bahasa Yunani, cosmos (dunia, alam semesta) dan logos (ilmu tentang, alasan pokok bagi, suatu pertimbangan). Cosmologi sebagai suatu aliran filsafat mempunyai beberapa pandangan, yaitu:
1)  Ilmu tentang alam semesta sebagai suatu sistem yang rasional dan teratur;
2)  Sering ditunjukkan sebagai cabang ilmu pengetahuan secara khusus, misalnya, astronomi, yang berupaya membuat hipotesis mengenai asal, struktur, ciri khas, serta perkembangan alam fisik menurut pengamatan dan metodologi ilmiah;
3)  Ilmu yang memandang alam semesta sebagai suatu sistem yang integral; dan bagian alam itu berdasarkan pengamatan astronomi merupakan satu bagian dari keseluruhan;
4)  Secara tradisional, cosmologi merupakan cabang metafisika yang bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya, penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu, ruang, dan kausalitas. Tugas cosmologi berbeda dengan ontologi; cosmologi mencoba mencari apa yang berlaku bagi dunia ini, sementara ontologi berusaha mencari relasi-relasi dan pembedaan-pembedaan yang dapat berlaku dalam dunia manapun.[20]
Tuhan menurut Al Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filsafatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filsafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat al Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.[21]
Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak.

d.     Pendekatan Moral.
Istilah moral (Inggris) atau moralis (Latin), berasal dari mos atau moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), atau mores (adat istiadat, tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Moral sebagai suatu istilah ilmu mengandung pengertian:
1)     Menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagi baik/buruk, benar/salah, dan tepat/tidak tepat.
2)     Sesuai dengan kaidah-kaidah diterima menyangkut apa yang dianggap benar, bajik, adil dan pantas.
3)     Sebagai suatu kemampuan untuk mengarahkan atau diarahkan, mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keinsafan akan benar sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku yang dinilai benar atau salah.
4)     Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam berhubungan dengan pihak lain.[22]

Dalam ajaran Islam, penggunaan kata-kata moral, etika, sopan santun menunjukkan bahwa konsep utama dalam al-Qur’an adalah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang maha adil, dan bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep sucinya hanyalah refleksi yang suram atau imitasi yang sangat tidak sempurna dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respon khusus yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan ketuhanan.[23] Di sini, seorang muslim dituntut untuk sebisa mungkin meniru sikap etis Tuhan, karena pada kenyataannya Tuhan merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci al-Qur’an.
Banyak para ahli merasa kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an berkaitan dengan konsep moral dan etika religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-perbuatan yang baik biasa disebut shalihat, sedangkan perbuatan yang buruk disebut sayyiat. Perbuatan sayyiat secara umum disebut itsm atau wizr yaitu dosa atau kejahatan yang arti asalnya adalah beban.[24]
Term-term di atas menjadi dasar umat Islam terhadap pengembangan konsep-konsep moral, yang disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan terhadap term-term tersebut juga dijelaskan dalam al-Qur’an serta masing-masing memiliki akibatnya. Perbuatan-perbuatan shalih akan membawa manusia kepada konsekuensi yang baik bagi pelakunya dan perbuatan-perbuatan sayyiah juga akan membawa pelakunya terhadap akibat yang dapat merugikan dan membebani dirinya sendiri.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa persoalan moral adalah persoalan nilai tertinggi yang ingin dicapai manusia, apakah nilai tersebut berasal dari manusia sendiri atau dari luar dirinya? Tentunya, nilai yang tertinggi adalah harus bersumber dari dzat yang tak terbatas pula, yaitu Allah. Karena itu, hukum Ilahi  akan menjadi sumber kekuatan hukum moral kodrati yang mengikat dan tak bersyarat, sehingga tujuan tertinggi manusia adalah kebahagiaan. Tujuan ini akan tercapai di dunia lain bila manusia mengikatkan dirinya sebagai milik Allah. Dengan demikian, secara moral keberadaan Tuhan merupakan suatu kepastian sebagai sumber nilai tertinggi.

3.       KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, ada beberapa meeting points yang bisa kita ambil sebagai tambahan pengetahuan dan memperteguh keyakinan kita akan eksistensi Tuhan (Allah), diantaranya adalah :
o    Pengetahuan dan pemahaman tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi. Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausal pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.
o    Jadi pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat. Namun pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman. Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam, dan lain-lain).
o    Maka para filosof mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui segala sesuatu sekitar diri kita.
o    Secara ontologis, keberadaan Tuhan adalah suatu keniscayaan sebagai suatu realita tak terbatas (mutlak) yang mesti Esa
o    Secara epistemologis, Tuhan dipahami sebagai sumber pengetahuan yang menerangkan bukti-bukti dan otoritatif bagi para nabi atau rasul-Nya tentang eksistensi diri-Nya dan eksistensi lain-Nya.
o    Secara kosmologis,  eksistensi Tuhan dapat dipahami sebagai asal segala yang ada, yang mesti ada dan mesti esa;
o    Secara moral, Tuhan  menjadi sumber nilai yang menerangkan mana jalan yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah;

4.       PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun sebagai tambahan setetes pengetahuan akan eksistensi Tuhan dalam Islam. Saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk kebaikan kita bersama dan perbaikan penulisan makalah berikutnya. Atas perhatian dan partisipasinya kami ucapkan terima kasih. Selamat berdiskusi..!!



DAFTAR PUSTAKA


Al Kindi, A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy, (First Published, 2006).

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, edisi pertama, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996).

Fakhry, Madjid, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995).

Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer (Yogyakarta: Kanisius Pustaka Filsafat, 1993).

------------, Manusia Di Dalam Allah (1), Masalah Ketuhanan Dewasa Ini (Yogyakarta: Kanisius, 1982).

Nasr, Seyyed Hossein & Oliver Leamen (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan,2003).

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Rajawali Pres, 2009).

Praja, Juhaya S., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997).

------------, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. (Jakarta: Teraju, 2002).

Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009).

Suseno, Franz Magnis, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006).

Zar, Sirajuddin Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007).






No comments:

Post a Comment