Tuesday, January 3, 2017

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER (ANTIKORUPSI) DI SEKOLAH

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER (ANTIKORUPSI) DI SEKOLAH
Oleh Muhammad Fathoni, M.S.I
A.      PENDAHULUAN
Korupsi merupakan salah satu masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini, menyangkut tatanan nilai dalam masyarakat yang membutuhkan penyelesaian dan pemikiran bersama. Korupsi sudah menjadi penyakit kronis dan akut yang terus menggerogoti semua tatanan nilai kehidupan bangsa dan berkembang dengan modus operandi yang beragam. Karena semakin akutnya masalah korupsi di Indonesia, banyak orang yang menganggap korupsi sudah menjadi budaya, bahkan virus mematikan yang perlu ada penyelesaian mendesak dari semua pihak. Fakta ini merupakan bagian dari kemerosotan  moral dan karakter yang menunjukkan kegagalan pendidikan dalam menumbuhkan manusia yang berkarakter dan berakhak mulia atau dengan bahasa sederhana pendidikan kita belum bisa mengubah  manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan, sehingga dalam berbagai macam posisi di dunia, bangsa Indonesia juga mengalami kemunduran.
Korupsi telah menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa Indonesia. Berbagai usaha pemberantasan korupsi telah dilakukan oleh berbagai lembaga penegak hukum di Indonesia dengan hasil yang beragam, dunia pendidikan kini mulai merasa bertanggung jawab akan pentingnya penanaman kesadaran melawan perilaku koruptif melalui lembaga pendidikan (sekolah) yaitu pendidikan antikorupsi.
Dalam konteks dunia pendidikan, definisi korupsi bisa diperluas cakupannya. Perbuatan seperti berbohong, menyontek saat ujian, penggunaan fasilitas sekolah untuk kepentingan pribadi, manipulasi laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) (termasuk mark up), dan lain sebagainya. Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang menyimpang, tidak sesuai dengan aturan, ketidakjujuran dan merugikan orang lain. Bahkan tindakan-tindakan koruptif tersebut mudah sekali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung lazim dilakukan oleh masyarakat. Tindakan tersebut seakan-akan menjadi kebiasaan yang lumrah tanpa ada rasa malu dan bersalah karena dianggap sudah menjadi budaya dan dilakukan semua orang.
Menyadari hal tersebut, pemerintah pada tahun 2010 mengambil langkah dengan mencanangkan visi penerapan pendidikan karakter atau pendidikan nilai-nilai karakter budaya bangsa. Pendidikan karakter harus ditanamkan dan dimiliki oleh setiap manusia yang ingin berubah sikap dan perilakunya dalam kehidupan sejak dini. Baik elemen masyarakat pendidikan, guru, dosen, pemerintah, mahasiswa, dan pelajar. Menurut Mardiatmaja sebagaimana dikutip Abdul Majid (2011:4) semua elemen tersebut harus memiliki sifat dasar dan karakter yang kuat sebagai generasi penerus bangsa. Pendidikan karakter menjadi sangat penting karena merupakan ruh pendidikan dalam pembentukan manusia seutuhnya. 
Thomas Lickona, seorang profesor pendidikan Cortland University mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman harus diwaspadai karena jika sepuluh tanda ini sudah ada, berarti sebuah bangsa menuju kehancuran (Muslich, 2013:35). Sepuluh tanda itu adalah: 1) meningkatnya kekerasan dikalangan remaja, 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, 3) pengaruh peer-group yang kuat dalam kekerasan, 4) meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan alkohol, narkoba, seks bebas, 5) kaburnya pedoman moral baik-buruk, 6) etos kerja menurun, 7) rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru, 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, 9) membudayanya ketidakjujuran, dan 10) adanya saling curiga dan benci antar sesama.
Melihat beberapa fenomena sebagaimana digambarkan di atas, maka bangsa Indonesia sudah termasuk kedalam kategori negara yang menuju kehancuran. Sehingga pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti menjadi sebuah keharusan dan harga mati.
Pertanyaannya adalah bagaimanakah strategi mengimplementasikan pendidikan karakter ini di sekolah atau lembaga pendidikan? Sebab sekolah sebagai instansi pendidikan merupakan proses pembudayaan, sehingga tidak bisa menghindarkan diri dari upaya pembentukan karakter bagi anak didik.   
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis hanya membatasi permasalahan seputar apakah pendidikan karakter itu ?, apakah pendidikan antikorupsi itu ?, bagaimana hubungan antara pendidikan karakter dengan pendidikan antikorupsi ?, bagaimana penerapan pendidikan antikorupsi di sekolah ?.




B.       PEMBAHASAN
1.      Konsep Dasar Pendidikan Karakter
a.      Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat, suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien (Wibowo, 2013:34).
Ki Hajar Dewantara (1930) menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak, semua bidang itu saling terkait agar tercipta manusia ideal selaras dengan alam dan masyarakatnya (Zuriah, 2011:122).  
Hal di atas mengindikasikan bahwa ternyata peranan pendidikan menempati posisi strategis dalam mewujudkan manusia yang berkepribadian utuh dan mandiri serta menjadi manusia yang mulia dan bermanfaat bagi lingkungannya. Pendidikan merupakan basis penanaman nilai-nilai kepada individu untuk diaplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Marimba, tokoh pendidikan Indonesia, misalnya menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Lestari, 2010:77). Hal tersebut selaras dengan Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian di atas mengindikasikan betapa peranan pendidikan sangat besar dalam mewujudkan manusia yang utuh dan mandiri serta menjadi manusia yang mulia dan bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan pendidikan manusia memahami bahwa dirinya sebagai makhluk yang dikaruniai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Membicarakan masalah pendidikan karakter tidak akan terlepas dari nilai atau norma. Permasalahan inilah yang akan dibahas dalam makalah ini lebih jauh yakni masalah moral, yang dalam pendidikan Islam lebih dikenal dengan akhlak. Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena masyarakat Indonesia sedang mengalami patologi sosial yang amat kronis. Bahkan sebagian besar masyarakat telah tercerabut dari adat-istiadat ketimuran yang terkenal beradab dan santun.
Secara terminologi, kata karakter diambil dari bahasa Inggris dan juga berasal dari bahasa Yunani Character. Kata ini awalnya digunakan untuk menandai (to mark) sesuatu. Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Selanjutnya istilah ini digunakan untuk menandai dua hal yang berbeda satu sama lainnya, dan akhirnya digunakan juga untuk menyebut kesamaan kualitas pada setiap orang yang membedakan dengan kualitas lainnya (Muin, 2011:162). Dalam kamus Poerwadarminta (2008:541), karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.
Kata karakter juga cenderung disamakan dengan personalitas atau kepribadian. Orang yang memiliki karakter berarti memiliki kepribadian. Keduanya diartikan sebagai totalitas nilai yang dimiliki seseorang yang mengarahkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Totalitas nilai meliputi tabiat, akhlak, budi pekerti dan sifat-sifat kejiwaan lainya (Majid, 2012:12).  
Hal senada disampaikan oleh Shimon Philips, bahwa karakter diartikan sebagai kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan prilaku yang ditampilkan. Perilaku tertentu seseorang, sikap atau pikirannya yang dilandasi oleh nilai tertentu akan menunjukkan karakter yang dimilikinya. Pengertian karakter di atas menunjukkan dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku, dimana perilaku tersebut merupakan manifestasi dari karakter. Orang yang berprilaku tidak jujur, tentu ia memanifestasikan perilaku/karakter buruk. Sebaliknya, apabila orang berperilaku jujur, tentu orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter berkaitan dengan dengan personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral (Muslich, 2013:71).   

Istilah karakter juga memiliki kedekatan makna dengan etika. Karena umumnya orang dianggap memiliki karakter yang baik  jika mampu bertindak berdasarkan etika yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran (Suseno, 1987:4). Istilah etika dalam bahasa Yunani dikenal dengan ethos atau ethikos (etika) yang mengandung arti usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup menjadi baik. Etika dalam arti etimologi diidentikan dengan moral yang berarti adat atau cara hidup (Maftukhin, 2007:194). Meskipun etika dan moral ini sinonim, namun fokus kajian keduanya berbeda. 
Pendidikan karakter berarti sebagai usaha sengaja untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas  kemanusiaan yang baik secara obyektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan tapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan Raharjo (2010) memaknai pendidikan karakter sebagai suatu proses pendidikan secara holistik yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan (Zubaedi, 2011:15).
Pendidikan karakter ini harus dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran, penghayatan dalam bentuk sikap dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi terhadap Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya (Samani dan Hariyanto, 2012:46). Nilai-nilai luhur tersebut antara lain  kejujuran, kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial, kecerdasan berfikir termasuk rasa ingin tahu akan ilmu pengetahuan, dan berfikir logis. Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter tidak bisa hanya mentransfer pengetahuan atau melatih suatu keterampilan  tertentu. Penanaman karakter perlu proses, contoh keteladanan, dan pembiasaan atau pembudayaan (Raka, dkk, 2011:58) dalam lingkungan peserta didik, baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat termasuk media masa baik cetak maupun elektronik.
Menurut Thomas Lickona (1992:6), moral education is not a new idea. It is, in fact, as old as education itself. Down through history, in countries all over the world, education has had two great goals: to help young people become smart and to help them become good.” Pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang baru, karena pendidikan karakter merupakan arti dan tujuan pendidikan itu sendiri. Pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing generasi muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku baik.
Pendidikan karakter dari sisi substansi dan tujuannnya sama dengan pendidikan budi pekerti, sebagai sarana untuk mengadakan perubahan secara mendasar atas individu. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun dan perilaku. Secara hakiki, budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata krama, sopan santun dan norma budaya dan adat istiadat masyarakat. Budi pekerti ini akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran,  sikap, perasan, dan kepribadian manusia (Zuriah, 2011:17).
b.      Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Secara substantif, karakter terdiri atas 3 (tiga) nilai operatif (operative value), nilai-nilai dalam tindakan, atau tiga unjuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan dan terdiri atas pengetahuan tentang moral (moral knowing/kognitif), penghayatan moral (moral feeling/afektif), dan tindakan moral (moral behavior/psikomotor). Karakter yang baik (good character) terdiri atas proses-proses yang meliputi ketiga aspek tersebut (Samani dan Hariyanto, 2012:49)
Dalam pendidikan karakter ada nilai-nilai etika inti yang harus dikembangkan seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik (Muslich, 2013;129).
Kementerian Pendidikan Nasional merumuskan 18 nilai karakter yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional yang akan ditanamkan dalam diri peserta didik sebagai upaya membangun karakter bangsa, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Kemendiknas, 2009:9-10).
Meskipun telah dirumuskan 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya untuk melanjutkan nilai-nilai prakondisi yang telah dikembangkan. Pemilihan nilai-nilai tersebut beranjak dari kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing, yang dilakukan melalui analisis konteks, sehingga dalam implementasinya dimungkinkan terdapat perbedaan jenis nilai karakter yang dikembangkan antara satu sekolah dan atau daerah yang satu dengan lainnya (Hasan, dkk, 2011:8). Implementasi nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan serta responsif terhadap isu sosial di masyarakat.
Pendidikan karakter secara terperinci memiliki lima tujuan (Zuriah, 2011:67). Pertama, mengembangkan potensi afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai penerus bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
Untuk mencapai tujuan dari pendidikan karakter, terdapat tiga tahapan pendidikan karakter yang harus lakukan (Lickona, 2013:85) agar terbentuk karakter yang baik, yaitu:
1)      Moral Knowing, adalah langkah awal dalam pendidikan karakter. Dalam tahap ini diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai moral, kesadaran moral, penentuan sudut pandang, logika moral, pengenalan diri dan keberanian menentukan sikap. Penguasaan terhadap enam unsur ini menjadikan peserta didik mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai universal, dan memahami akhlak mulia secara logis dan rasional bukan secara doktrin.
2)      Moral Feeling, merupakan penguat aspek emosi untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu percaya diri, empati, cinta kebenaran, pengendalian diri dan kerendahan hati. Tahapan ini untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Jadi, yang menjadi sasaran guru adalah dimensi emosi, hati, dan jiwa bukan kognitif, logika atau akal.
3)      Moral Action, merupakan outcome dan puncak keberhasilan peserta didik dalam pendidikan karakter. Wujud dari tahapan ketiga ini adalah mempraktikkan nilai-nilai akhlak dalam perilaku sehari-hari.
Ketiga tahapan di atas perlu disuguhkan kepada peserta didik melalui cara-cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter (Hasan, 2010:9) :
1)        Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dan berdampingan.
2)        Jujur, yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya.
3)        Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut.
4)        Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku.
5)        Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
6)        Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya.
7)        Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan.
8)        Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9)        Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam.
10)    Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan.
11)    Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri.
12)    Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi.
13)    Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik.
14)    Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang, dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
15)    Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya.
16)    Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.
17)    Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya.
18)    Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, bangsa, negara, maupun agama.
Untuk merespon gejala-gejala sosial yang muncul terlebih gejala kemerosotan moral, maka peningkatan dan intensitas pelaksanaan pendidikan moral yang merupakan bagian dari materi pendidikan Islam merupakan tugas yang sangat urgen dan harus selalu dilaksanakan secara gradual dan komprehensif serta dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan (Zuriah, 2011:115).
Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah-mentah konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral.
Dalam teori pendidikan terdapat tiga domain dalam taksonomi tujuan pendidikan. Pertama, domain kognitif yang menekankan aspek untuk mengingat dan untuk mereproduksi informasi yang telah dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide-ide dan materi baru. Kedua, domain afektif yang menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, domain psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk melatih keterampilan seperti menulis, teknik mengajar, berdagang, dan lain-lain. Idealnya ketiga domain tersebut selaras dan saling melengkapi (Nata, 2013:299-303).[1] Ketiga domain tersebut harus berjalan beriringan untuk membentuk generasi yang cerdas dan berkarakter.
2.      KONSEP DASAR PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
Secara etimologis kata korupsi berarti : kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap tidak bermoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Kata Corruptio memiliki banyak arti namun sering samakan artinya dengan penyuapan. Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti pengertian penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Nurdjana, 2010:14).
Sedangkan Transparency Internasional mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Nurdjana, 2010:15). Dalam perkembangan semantisnya, kata korupsi diartikan sesuai perspektif yang dipakai, secara simplistik korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi.
Terma korupsi secara universal selama ini diartikan sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk  keuntungan pribadi, berakibat merugikan kepentingan umum dan negara. Bentuk nyata tingkah laku korupsi bisa berwujud penggelapan, penyuapan, penyogokan, gratifikasi, manipulasi data administrasi keuangan (termasuk mark up), pemerasan, penyelundupan, jual-beli dukungan politik dan perbuatan sejenis lainnya (Puspito, dkk, 2011:25).
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi dijelaskan dalam UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan ; kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi (KPK, 2005:20).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan melawan hukum yang berupa penyimpangan kekuasaan dan jabatan, privatisasi fasilitas, penyuapan atau penyogokan, penipuan (KPK, 2005:3). Kejahatan korupsi lebih eksplisit lagi karena adanya kerugian yang diakibatkan dari tindakan korupsi, seperti kerugian uang negara secara materiil. Oleh karenanya dapat diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur di dalamnya: pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara, kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau golongan di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.
Dalam konteks dunia pendidikan, definisi korupsi diatas bisa diperluas cakupannya. Perbuatan seperti berbohong, menyontek saat ujian, penggunaan fasilitas sekolah untuk kepentingan pribadi, manipulasi laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) (termasuk mark up), dan lain sebagainya. Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang menyimpang, tidak sesuai dengan aturan, ketidakjujuran dan merugikan orang lain. Bahkan tindakan-tindakan koruptif tersebut mudah sekali kita temukan dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung lazim dilakukan oleh masyarakat. Tindakan tersebut seakan-akan menjadi kebiasaan yang lumrah tanpa ada rasa malu dan bersalah karena dianggap sudah menjadi budaya dan dilakukan banyak orang.
Masyarakat pada umumnya menggunakan istilah korupsi untuk merujuk kepada serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum dalam rangka mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain. Perilaku korupsi bagi masyarakat umum penekanannya terletak pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi.
Pendidikan antikorupsi merupakan usaha sadar untuk memberikan pemahaman dan pengenalan nilai-nilai antikorupsi (knowing), penghayatan nilai-nilai antikorupsi (feeling), pengamalan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari (action) dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan melalui pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga) dan pendidikan nonformal (masyarakat) (Wibowo, 2013:38-39).
Antikorupsi merupakan sikap tidak setuju, tidak suka dan tidak senang terhadap tindakan korupsi. Antikorupsi merupakan sikap antipati yang dapat mencegah dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya tindakan korupsi (Kemenag, 2013:6). Dalam konteks antikorupsi, pencegahan adalah upaya meningkatkan kesadaran individu untuk tidak korupsi dan mengubah persepsi serta sikap terhadap korupsi.
Pada dasarnya korupsi merupakan perilaku yang dimunculkan oleh individu secara sadar dan disengaja. Secara psikologis terdapat beberapa komponen yang menyebabkan perilaku tersebut muncul. Setiap perilaku yang dilakukan secara sadar berasal dari potensi perilaku (perilaku yang belum terwujud secara nyata), yang disebut dengan istilah intensi (Wade dan Tavris: 2007). Potensi intensi perilaku tersebut adalah sikap, yang terdiri dari tiga faktor yaitu kognisi, afeksi dan psikomotor, ketiganya bersinergi membentuk suatu perilaku tertentu (Azwar: 2006). Dengan demikian, perilaku korupsi/antikorupsi yang dimunculkan oleh individu didasari oleh adanya intensi perilaku korupsi/antikorupsi yang didalamnya terjadi sinergi tiga faktor kognisi, afeksi dan psikomotorik. Metode pendidikan antikorupsi harus mensinergikan ketiga komponen tersebut secara seimbang, sehingga benar-benar dapat berfungsi untuk memperkuat potensi perilaku antikorupsi peserta didik (Puspito, dkk, 2011: 6). Pada dasarnya potensi antikorupsi ada pada diri setiap individu peserta didik, dan tugas guru adalah untuk memperkuat potensi tersebut.
Terkait intensi perilaku antikorupsi, terdapat 3 (tiga) komponen utama pembentuk intensi perilaku yaitu (Fishbein dan Ajzen, 1975:301):
a.      Attitude Toward Behavior (ATB) : yang dipengaruhi oleh behavioral belief, yaitu evaluasi positif ataupun negatif terhadap suatu perilaku tertentu tercermin dalam kata-kata seperti, benar-salah, setuju-tidak setuju, baik-buruk, dan lain-lain. Evaluasi negatif terhadap perilaku korupsi dan evaluasi positif terhadap antikorupsi akan meningkatkan intensi (potensi) untuk berperilaku anti-korupsi.
b.      Subjective Norms (SN) : yang dipengaruhi oleh subjective norms di sekeliling individu yang mengharapkan si individu berperilaku tertentu atau tidak. Misal norma agama, norma sosial, norma keluarga, atau ketika orang-orang yang penting bagi individu atau cenderung dipatuhi oleh individu menganggap perilaku anti-korupsi sebagai hal positif, maka akan meningkatkan intensi (potensi) berperilaku antikorupsi.
c.       Control Belief (CB) : yang dipengaruhi oleh perceived behavior  control, yaitu acuan kesulitan dan kemudahan untuk memunculkan suatu perilaku. Ini berkaitan dengan sumber dan kesempatan untuk mewujudkan perilaku tersebut. Misalnya lingkungan disekeliling  individu yang korup atau kesempatan korupsi yang besar/mudah akan meningkatkan intensi individu untuk melakukan perilaku korupsi, dan sebaliknya.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan harus didukung secara paralel dengan perbaikan integritas oleh pemerintah dan masyarakat. Sedangkan di dalam pendidikan itu sendiri, pengajar (guru) harus mampu memainkan perannya sebagai motivator bagi para peserta didik.
Relevansi  pendidikan  antikorupsi  didasarkan  keyakinan,  nilai, serta pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan. Oleh karena problematika korupsi menyangkut nilai dari suatu sikap atau perilaku yang bertentangan dengan yang diidealkan, maka pendekatannya adalah melalui pendidikan nilai guna memupuk dan melahirkan sikap tegas yang responsif terhadap problem-problem sosial seperti korupsi (Wibowo, 2013:36).
Mengacu pada berbagai aspek yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi, dapat dikatakan bahwa penyebab korupsi terdiri atas  faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datangnya dari diri pribadi atau individu, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan atau sistem. Upaya pencegahan korupsi pada dasarnya dapat dilakukan dengan menghilangkan atau mengurangi kedua faktor penyebab korupsi tersebut (Puspito, dkk, 2011:75).
Faktor internal sangat ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi tertanam dalam diri setiap individu. Nilai-nilai antikorupsi tersebut antara lain : (a) kejujuran, (b) kemandirian, (c) kedisiplinan, (d) tanggung jawab, (e) kerja keras, (f) sederhana, (g) keberanian, (h) kepedulian dan (i) keadilan. Nilai-nilai antikorupsi itu perlu diterapkan oleh setiap individu untuk dapat mengatasi faktor eksternal agar korupsi tidak terjadi. Untuk mencegah terjadinya faktor eksternal, setiap individu juga perlu memahami prinsip-prinsip antikorupsi yaitu akuntabilitas, transparansi, kewajaran, kebijakan, dan kontrol kebijakan dalam suatu institusi / masyarakat  (Puspito, dkk, 2011:75). Oleh karena itu hubungan antara prinsip-prinsip dan nilai-nilai antikorupsi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
3.      HUBUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
Dari argumentasi diatas, bisa ditarik sebuah benang merah antara pendidikan karakter dan pendidikan antikorupsi. Keduanya memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Artinya bahwa nilai-nilai pendidikan antikorupsi merupakan bagian dari pendidikan karakter. Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian, secara substantif tujuan pendidikan adalah pendidikan karakter.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan antikorupsi merupakan bagian dari pendidikan karakter. Sebuah karakter yang dibangun diatas landasan kejujuran, integritas dan keluhuran. Pendidikan antikorupsi bagi anak-anak perlu ditanamkan sejak usia dini karena mereka juga mempunyai potensi berperilaku negatif. Misalnya, berbohong, mencontek saat ujian, mengambil barang milik orang lain dan lain sebagainya.
Pendidikan antikorupsi harus ditumbuhkan sejak dini, dalam pendidikan formal sebagai upaya pencegahan tindakan-tindakan koruptif. Upaya pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia melalui pendidikan. Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian adalah penanaman pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi melalui sekolah, karena sekolah adalah proses pembudayaan.
Pendidikan antikorupsi merupakan usaha sadar untuk memberikan pemahaman dan pengenalan nilai-nilai antikorupsi (knowing), penghayatan nilai-nilai antikorupsi (feeling), pengamalan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari (action) dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan melalui pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga) dan pendidikan nonformal (masyarakat) (Wibowo, 2013:38).
Dalam konteks pendidikan antikorupsi ini yang penting untuk ditekankan ialah tujuan pendidikan nilai, bukan kemahiran menjelaskan tentang nilai-nilai, tetapi juga menggunakan pengetahuan tentang kepatuhan terhadap nilai-nilai untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pelaksanaan konsep pendidikan antikorupsi dapat mendorong lahirnya generasi yang mampu memperbarui sistem nilai akan tercapai dengan baik.
Pendidikan karakter (watak) adalah pendidikan nilai, dimana hakikat pendidikan nilai adalah menghantarkan peserta didik mengenali, mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai, moral dan keyakinan agama untuk memasuki kehidupan budaya zamannya (Adisusilo, 2013:70). Namun realitas pendidikan sekarang menempatkan nilai-nilai pendidikan hanya berhenti pada teori dan indoktrinasi. Pendidikan nilai mestinya lebih ditekankan pada pemahaman, diteruskan dengan penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai.
Masalah serius yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah moralitas. Mendidik manusia yang cerdas dan terampil relatif lebih mudah dibandingkan dengan mendidik manusia yang bermoral. Oleh karena itu, kita memerlukan pendidikan moral, yaitu pendidikan yang memiliki komitmen tentang langkah-langkah apa yang seharusnya dilakukan pendidik untuk mengarahkan generasi muda pada nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good people) (Zubaedi, 2005:5).
Kebijakan bidang pendidikan di Indonesia justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk melihat secara lebih komprehensif masalah kualitas pendidikan. Secara periodik, kurikulum selalu berganti dan disempurnakan. Akan tetapi, pada tataran praksis alih-alih memperbaiki kualitas pendidikan, justru semakin memperburuk kualitas pendidikan di Indonesia.
 Pemberlakukan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan di lembaga pendidikan adalah contoh yang relevan. Memang masalah UN selalu menimbulkan pro dan kontra. Namun jika kita cermati lebih dalam, UN memiliki andil besar dalam mendistorsi proses pendidikan di Indonesia. Artinya bahwa pendidikan yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003) menjadi semakin tidak realistis.
Pemberlakukan UN yang dijadikan standar kelulusan dengan nilai tiga mata pelajaran : Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika telah mendistorsi tujuan pendidikan sedemikian rupa. Orientasi pendidikan menjadi sekadar memenuhi target “lulus”, dengan menghalalkan berbagai macam cara yang tidak etis.
Fenomena ini menjadi isu yang sangat populer dibicarakan dalam masyarakat, bahkan sudah menjadi rahasia umum. Para siswa dibebani dengan keharusan lulus ujian dengan standar nilai minimum yang ditetapkan pemerintah, para guru secara psikologis terbebani jika siswanya tidak lulus. Berbagai cara ditempuh oleh guru, siswa, dan lembaga pendidikan demi mengejar prosentase kelulusan 100 persen. Adanya guru yang memberi contekan, adanya anjuran untuk saling memberi jawaban kepada sesama murid, pembentukan tim sukses di sekolah/madrasah untuk “meluluskan siswa” menunjukkan terjadinya “kebobrokan” dalam proses pendidikan. Proses pendidikan yang bertujuan mencerdaskan, membentuk sikap dan keterampilan peserta didik justru dinodai oleh lembaga pendidikan dan para pendidik sendiri.
Lembaga pendidikan sebagai pusat transfer of knowledge, dan transfer of value terkebiri fungsinya hanya sebagai “bimbingan belajar” soal-soal ujian. Yang paling parah adalah tidak adanya norma yang bisa diteladani oleh peserta didik karena proses pendidikan yang mereka tempuh dirusak oleh “penghalalan” segala cara untuk lulus ujian. Akibatnya, nilai-nilai kejujuran menjadi kehilangan makna karena secara sistematis para pendidik dan lembaga pendidikan mengajarkan dan memberi contoh untuk melanggarnya. Nilai-nilai ini secara tidak diinternalisasikan kepada peserta didik, generasi masa depan yang diharapkan menjunjung nilai-nilai kejujuran dan kebajikan.
Hal ini secara tidak langsung sangat berpengaruh terhadap kepribadian peserta didik, karena pembentukan kepribadian manusia menurut Peter Poole (2002) sebagaimana dikutip Muslich (2013:43) ditentukan oleh proses sosialisasi, baik yang sengaja dilakukan maupun yang tidak sengaja. Sosialisasi yang sengaja dilakukan biasanya sudah terencana, misalnya dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan watak dan kepribadian. Sosialisasi tidak sengaja adalah apa yang disaksikan dan dialami oleh peserta didik di dalam interaksi sosialnya. Nilai-nilai yang tidak sengaja ditanamkan kadangkala lebih kuat perannya dalam membentuk kepribadian seseorang (Narwoko dan Suyanto, 2004:66).
Pendidikan idealnya harus menjadi sarana pembentuk karakter. Pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966) mengatakan bahwa hakikat utama pendidikan adalah pembentukan karakter. Dalam pandangan Foerster, ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yakni keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai, koherensi yang memberi keberanian, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru, memberikan otonomi dalam menginternalisasikan aturan luar menjadi nilai bagi pribadi, dan membangun keteguhan dan kesetiaan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan (Adisusilo, 2013:78). Kematangan empat nilai dasar Foerster tersebut akan membentuk manusia dari tahap individualitas menuju personalitas. Dengan keempat nilai dasar itulah akan lahir seorang pribadi yang tangguh dan siap menerjang ketimpangan yang melanda masyarakat.
Pendidikan karakter ini harus dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran, penghayatan dalam bentuk sikap dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi terhadap Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya (Samani dan Hariyanto, 2012:46). Nilai-nilai luhur tersebut antara lain  kejujuran,  kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial, kecerdasan berfikir termasuk rasa ingin tahu akan ilmu pengetahuan, dan berfikir logis. Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter tidak bisa hanya mentransfer pengetahuan atau melatih suatu ketrampilan tertentu. Penanaman karakter perlu proses, keteladanan, dan pembiasaan atau pembudayaan (Zubaedi, 2011:17) dalam lingkungan peserta didik, baik di lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat maupun lingkungan media massa.
4.      PENERAPAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DI SEKOLAH
Pendidikan karakter pada dasarnya proses menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan.
Dengan demikian, karakter yang dibangun melalui pendidikan karakter adalah memunculkan perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan adanya paksaan dari luar. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai pada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melakukan nilai-nilai ini.
Adapun strategi pengembangan karakter pada satuan pendidikan atau sekolah secara holistic  (the whole school reform). Sekolah sebagai leading sector,  berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah (Samani dan Hariyanto, 2012:112).
Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat langkah, yakni kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk penciptaan budaya sekolah (school culture); kegiatan ko kurikuler atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat. (Hasan, 2011:14). Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embedded approach)). Khusus untuk mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan, karena memang misinya mengembangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effect). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pembangunan karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring berkembangnya karakter dalam diri peserta didik (Samani dan Hariyanto, 2012:113).
Dalam lingkungan sekolah dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosio-kultural memungkinkan para peserta didik  bersama dengan warga sekolah terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan nilai/karakter. Melalui langkah ini akan terbangun  budaya sekolah (school culture) yang mencerminkan nilai-nilai karakter seperti budaya bersih, disiplin, kritis, sopan santun dan toleransi. Budaya sekolah diyakini merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah dimana peserta didik berinteraksi terhadap sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan peserta didik, dan anggota kelompok masyarakat dengan warga sekolah. Nilai karakter yang dikembangkan dalam budaya sekolah seperti kepemimpinan, keteladana, keramahan, toleransi, rasa keangsaan dan tanggung jawab (Zubaedi, 2011:201).   
Dalam pendidikan antikorupsi di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah perlu diupayakan dengan pendekatan holistis, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan holistik dalam pendidikan karakter memiliki indikasi sebagai berikut (Zubaedi, 2011:195):
a.    Segala kegiatan di sekolah diatur berdasarkan sinergitas-kolaborasi hubungan antar siswa, guru dan masyarakat.
b.    Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
c.    Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
d.   Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
e.    Siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktikkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberi pelayanan
f.     Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi focus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
g.    Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi dimana guru dan siswa membangun kesatuan, norma dan memecahkan masalah
Sementara itu, peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter bisa melalui empat langkah:
a.         Mengumpulkan guru, orang tua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi  dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang ingin ditekankan
b.        Memberi pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah
c.         Menjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa perilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya
d.        Memberi kesempatan kepada kepala sekolah, guru dan orang tua serta masyarakat untuk menjadi model pelaku sosial dan moral (Zubaedi, 2011:196)
Pada lingkungan keluarga, orang tua/wali mengupayakan pendidikan antikorupsi melalui kegiatan keseharian di rumah, untuk memperkuat hasil pendidikan karakter yang di lakukan sekolah. Pada lingkungan masyarakat, tokoh-tokoh/pemuka masyarakat mengupayakan pendidikan antikorupsi melalui kegiatan keseharian di tengah-tengah masyarakat sebagai upaya memeperkuat hasil pendidikan antikorupsi di sekolah dan keluarga.
Pola kolaboratif ketiga institusi ini dalam berbagi peran ketika mendidik karakter anak didik tidak bisa ditawar lagi sesuai dengan meningkatnya kompleksitas dan kesulitan dalam pendidikan karakter pada era sekarang. Kompleksitas dan kesulitan yang lebih tinggi ini  merupakan dampak dari factor perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang lebih massif dibandingkan dengan era-era sebelumnya (Zubaedi, 2011:203). Thomas Lickona (2012:57) mengungkapkan bahwa sinergi orang tua, guru, tenaga kependidikan, dan kepala sekolah dalam pembentukan karakter peserta didik mutlak diperlukan. Hanya dengan demikian, akan terbentuk iklim atau atmosfer sekolah yang kondusif bagi persemaian nilai-nilai luhur yang disepakati.
Secara teori, ada dua pendekatan dalam menerapkan pendidikan antikorupsi di sekolah. Pertama, pendidikan antikorupsi diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Kedua, pendidikan antikorupsi diposisikan sebagai misi setiap mata pelajaran atau diintegrasiakan ke dalam setiap mata pelajaran. Agaknya pendekatan yang kedua yang menjadi pilihan dalam implementasi pendidikan antikorupsi di sekolah-sekolah (Zubaedi, 2011:269).
Secara mikro, pendidikan antikorupsi dapat diintegrasikan dalam kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler. Perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan oleh kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik. Pendidikan antikorupsi ini diterapkan ke dalam kurikulum melalui (Muslich, 2013:175-177):
a.       Program pengembangan diri
Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter dalam program pengembangan diri dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah, yaitu kegiatan rutin sekolah, kegiatan spontan, teladan dan pengkondisian.
b.      Pengintegrasian ke dalam semua mata pelajaran
Pendidikan karakter pada dasarnya melekat pada setiap mata pelajaran, karena pada setiap mata pelajaran memiliki nilai-nilai karakter yang harus dicapai peserta didik. Di sini dibutuhkan kerja keras guru untuk menemukan sekaligus merumuskan nilai antikorupsi yang terdapat pada mata pelajaran yang diajarkannya. Langkah guru dalam mengintegrasikan nilai antikorupsi dimulai dari merumuskan nilai karakter kedalam silabus dan RPP  untuk selanjutnya dilaksanakan dalam pembelajaran. Pengembangan nilai antikorupsi dalam silabus ditempuh dengan cara : mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar apakah kandungan nilai antikorupsi sudah tercakup di dalamnya, memperlihatkan keterkaitan Standar Kompetensi (SK) / Kompetensi Dasar (KD) dan indikator untuk menentukan nilai antikorupsi yang dikembangkan, mengembangkan proses pembelajaran peserta didik aktif dan memungkinkan peserta didik melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku, dan memberi bantuan peserta didik yang kesulitan menginternalisasikan nilai antikorupsi (Wibowo, 2013:58).
Untuk mengintegrasikan pendidikan antikorupsi ke dalam semua mata pelajaran dibutuhkan kerjasama sinergis-kolaboratif antar semua mata pelajaran. Masing-masing mata pelajaran memiliki fungsi dan peran dalam menanamkan nilai karakter. Mata pelajaran PAI dan PKn membangun akhlak dan moral perlu mendapat dukungan dari mata pelajaran  yang lain seperti pendidikan jasmani, sains, matematika dan lain-lain (Zuriah, 2011:76). Dengan pertimbangan ini, semua mata pelajaran perlu didesain dengan bermuatan penguatan karakter peserta didik.
c.       Pengintegrasian ke dalam kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler
Penanaman nilai antikorupsi dapat ditanamkan melalui kegiatan- kegiatan di luar pembelajaran misalnya dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan insidental. Penanaman nilai dengan model ini lebih mengutamakan pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk dibahas dan dikupas nilai-nilai hidupnya. Model ini dapat dilaksanakan oleh guru sekolah/madrasah yang bersangkutan yang mendapat tugas tersebut atau dipercayakan pada lembaga di luar sekolah/madrasah untuk melakukannya, misalnya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Kemenag, 2013:10).

d.      Pembiasaan
Sekolah seyogyanya menerapkan totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta didik adalah bermuatan pendidikan antikorupsi. Penciptaan lingkungan di sekolah dapat dilakukan melalui: penugasan, pembiasaan, pelatihan, pengajaran, pengarahan, dan keteladanan.

Pelaksanaan pendidikan antikorupsi sudah memasuki tahun keempat setelah dicanangkannya oleh kemendikbud, namun kenyataan di lapangan (di sekolah-sekolah) belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan kualitasnya. Nilai-nilai budi pekerti belum sepenuhnya terakomodir oleh materi pendidikan agama dan materi pendidikan kewarganegaraan. Disamping itu, materi agama dan budi pekerti yang disampaikan oleh guru agama masih bersifat normatif dan “melangit”. Dalam  pengertian, rumusan tujuannya bersifat teosentris dan abstrak. Hal ini bukannya tidak sah, tetapi cenderung mengabaikan realitas, dimana peserta didik hidup dan berinteraksi. Sehingga pendidikan agama dianggap belum bisa memperkuat moralitas peserta didik.
Model pengintegrasian pendidikan karakter pada semua mata pelajaran, termasuk pengintegrasian pada program kokurikuler dan ekstrakurikuler, juga belum dapat dilaksanakan dengan optimal, baik oleh pemerintah maupun pelaku pendidikan (kepala sekolah dan guru). Secara umum, ada empat kelemahan yang menyebabkan pendidikan karakter belum optimal. Pertama, guru belum memahami sepenuhnya bagaimana menintegrasikan nilai karakter pada masing-masing materi pelajaran. Sehingga ketika menyantumkan nilai karakter saat penyusunan silabus dan RPP terkesan asal yang penting ada bunyi nilai karakter “formalitas”. Kedua, karena Silabus dan RPP hanya sebagai formalitas, maka dalam proses pembelajaran berjalan secara konvensional sesuai gaya guru masing-masing dan tidak mencerminkan peaksanaan dari silabus dan RPP, sehingga pesan penanaman nilai karakter juga tidak terealisasikan. Ketiga,  masih kuatnya orientasi pendidikan pada dimensi pengetahuan (cognitive oriented) dan kurang memperhatikan aspek pengembangan sikap (Muslich, 2013:18).   Hal ini menyebabkan para peserta didik mengetahui banyak hal, namun kurang memiliki sitem nilai, sikap, minat maupun apresiasi secara positif terhadap apa yang diketahuinya. Keempat, masih kuatnya asumsi bahwa jika aspek perkembangan kognitif dikembangkan secara benar maka aspek afektif akan ikut berkembang (Suyanto, 2000:153). Asumsi ini salah mengingat pengembangan afektif  bisa secepat perkembangan kognitif, jika pengalaman pembelajaran afektif diberikan sama banyaknya dengan pengalaman pembelajaran kognitif .  
Sampai saat ini, mungkin pola pendekatan pembiasaan dan keteladanan masih sangat efektif  untuk menanamkan nilai karakter atau budi pekerti peserta didik. Pembiasaan berarti pola kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan. Dengan pola pembiasaan, dapat muncul nilai-nilai karakter seperti disiplin, tanggungjawab, jujur, peduli, dan tentunya religius. Pola pembiasaan dan keteladanan ini dapat kita lihat dari pola pembelajaran di pondok pesantren, sekolah/madrasah yang menerapkan sistem asrama dan lain-lain. 
C.      KESIMPULAN
pendidikan antikorupsi merupakan keniscayaan guna mengurangi krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Agar efektif  maka pendidikan karakter ini harus melibatkan tiga basis. Pertama, basis kelas, dimana terjadi relasi antara guru dan peserta didik. Kedua, basis kultur sekolah yaitu membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter peserta didik, dan ketiga, basis komunitas, yaitu keluarga, masyarakat dan negara juga harus membangun karakter yang tercerminkan dalam pola kehidupan sehari-hari.
Sekolah atau lembaga pendidikan sebagai salah satu basis dalam pengembangan pendidikan karakter harus mampu mengimplementasikan pendidikan antikorupsi dengan pendekatan holistis, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah dengan menggunakan berbagai pendekatan. Disini dibutuhkan keseriusan seluruh komponen yang ada (kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan) dan pemerintah.


Daftar Pustaka

Abdullah, M. Yatimin, 2007, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, Jakarta: Amzah.
Adisusilo, J.R., Sutarjo, 2013, Pembelajaran Nilai Karakter, Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif, Jakarta : Raja Grafindo.
Azwar, S., 2006, Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Fishbein, M., dan Ajzein, I., 1975, Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research, Sydney : Addison-Wesley Publishing.
Hasan, Hamid, dkk., 2011, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta: Puskurbuk Balitbang Kemendiknas.
Hasan, Said Hamid, dkk., 2010, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metode Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Bangsa, Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas.
Kementerian Agama RI, 2013, Panduan Penyelenggaran Pendidikan Antikorupsi di Madrasah, Jakarta : Kemenag.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2005, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta : KPK.
Lestari, S. dan Ngatini, 2010, Pendidikan Islam Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Lickona, Thomas, 2013, Mendidik untuk Membentuk Karakter, Bagaimana Sekolah dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan Tanggung Jawab, terj. Juma Abdu Wamaungo, Jakarta : Bumi Aksara.
----------, 1992, Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York : Bantam Books.
Madjid, Abdul, 2012, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya.
Maftukhin, 2007, “ Etika Imperatif Kategoris” dalam Filsafat Barat, Yogyakarta: Arruz Media.
Maksudin, 2013, Pendidikan Karakter Nondikotomik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Muin, Fathul, 2011, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik Jogjakarta: Ar Ruzz.
Muslich, Masnur, 2013, Pendidikan Karakter, Menjawab Tantangan Krisis Multidimensi, Jakarta : Bumi Aksara.
Narwoko, J. Dwi & Bagong Suyanto, 2004, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, Jakarta: Prenada Media.
Nata, Abuddin, 2013, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Nurdjana, Igm, 2010, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi, Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Puspito, Nanang T., dkk., 2011, Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Jakarta : Dirjen Dikti Kemendikbud.
Samani, Muchlas dan Hariyanto, 2012, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Suseno, Franz Magnis, 1987, Etika Dasar, Jakarta: Pusat Filosof.
Suyanto, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millennium Ketiga, Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Depdiknas.
Wade, C., dan Tavris, C., 2007, Psikologi, Jakarta : Penerbit Erlangga
Wibowo, Agus, 2013, Pendidikan Antikorupsi di Sekolah, Strategi Internalisasi Pendidikan Antikorupsi di Sekolah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Zubaedi, 2005, Pendidikan Berbasis Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
----------, 2011, Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta : Kencana.
Zuriah, Nurul, 2011, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, Menggagas Platfom Pendidikan Budi Pekerti secara Kontekstual dan Futuristik, Jakarta : Bumi Aksara.




[1] Dalam konteks pendidikan karakter (nilai) menurut Thomas Lickona (1992) ada tiga komponen yang juga saling bersinergi sehingga bisa menghasilkan karakter yang baik yaitu : pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan moral (moral action) (Muslich, 2013:133-136), lihat penjelasan lebih lengkap Thomas Lickona (2013:85-99)

No comments:

Post a Comment