Sunday, December 16, 2012

METODE TAFSIR TAHLILI DAN IJMALI

Oleh : Muhammad Fathoni, S. Pd.I

 
I.               Pendahuluan
Al Quran merupakan kalamullah yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril sebagai petunjuk manusia untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Selain sebagai kitab pedoman manusia, Al Quran juga sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Al Quran tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.[1]
Al Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna.
Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al Quran. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al Quran secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Di antara metode penafsiran yang populer di kalangan para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode ijmali  (global),  metode muqaran (komparatif), dan metode maudhu’i (tematik).
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan dua metode tafsir pertama, yaitu tahlili dan ijmali, meliputi pengertian secara etimologi dan terminologi, karakteristik tafsir, serta kelemahan dan kelebihan dari metode tersebut. Ini tidak berlebihan mengingat dua metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam mewujudkan karyanya dalam bidang penafsiran al Quran.

II.            Pembahasan
Dalam melakukan pembahasan makalah ini penulis hanya menguraikan metode tafsir tahlili dan ijmali, meliputi pengertian secara etimologi dan terminologi, karakteristik tafsir, serta kelemahan dan kelebihan dari metode tersebut serta kritik metodologis secara umum.

1.      Metode Tahlili
Tahlili adalah akar kata dari hala, huruf ini terdiri dari huruf ha dan lam, yang berarti membuka sesuatu,[2] sedangkan kata tahlily sendiri masuk dalam bentuk infinitf (mashdar) dari kata hallala, yang secara semantik berarti mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya serta memiliki fungsi masing-masing.
Secara etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al Quran dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., Sahabat dan tabi’in.[3]
Dari sekian metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode yang paling lama usianya dan paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata dan lafaztahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jazbalaghah, dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan norma-norma akhlak.[4]
Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al Quran yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al Quran secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas tanpa dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna.
Artinya, mayoritas mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran selalu mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya.
a.         Karakteristik Metode Tahlili
Secara garis besar ada dua ciri utama dalam metode tahlili :
Pertama, tafsir bi al ma’tsur, yaitu penafsiran ayat al Quran dengan ayat; penafsiran ayat dengan Hadits Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Tafsir bi al ma’tsur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al- riwayah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma’tsur adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al Quran karya Imam Ibn Jarir al Thabari. Tafsir al Quran al-’Adhim karya Ibn Katsir. Menurut W. Montgomery Watt, tafsir al Thabari adalah tafsir al Quran yang paling penting di antara kitab tafsir yang masih ada dan dapat diperoleh dengan mudah. Karyanya itu dicetak pertama kali di Kairo pada tahun 1903 M dalam tiga jilid dan kemudian dicetak berulang kali. [5]
Kedua, tafsir bi al ra’yi, yaitu penafsiran al Quran dengan ijtihad[6], terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzulnasikh-mansukh dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsir bi al ra’yi (rasional) juga dikenal dengan tafsir bi al dirayah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu  tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. ”tafsiri  al-ra’y  yang menggunakan metode  analitis  ini,  para mufassir memperoleh  kebebasan,  sehingga mereka  agak  lebih  otonom  [mandiri] berkreasi  dalam memberikan  interpretasi  terhadap  ayat-ayat  al-Qur’an selama masih dalam batas-batas  yang diizinkan oleh  syara dan  kaidah kaidah penafsiran yang mu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi al-ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan[7].
Dari perdebatan yang ada, tidak berarti pendekatan tafsir Al Qur’an dengan Ra’yu tidak mendapat tempat dikalangan ’ulama. Sebagian ulama yang menerima menafsirkan Al Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu ini memberikan syarat-syarat dan kaidah-kaidah yang ketat. Diantara syarat-syaratnya adalah : (1). Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, (2). Menguasai Ilmu-ilmu Al Qur’an, (3). Berakidah yang baik dan benar, (4). Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.[8]
Dalam menyikapi tafsir bi al ra’yi, para ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia memenuhi persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu bisa diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi persyaratan, maka penafsirannya ditolak. Ada dua aspek utama sebagai syarat penafsiran bi al ra’yi ini yaitu intelektual dan moral. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ra’yi adalah: Mafatih al Ghoib karya Fakhruddin al Razi, Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karangan Mahmud al-Nasafi, dan Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin.[9]
Berangkat dari dua ciri metode tahlili di atas, lahirlah beberapa macam tafsir sesuai dengan kecenderungan para mufassir. Macam-macam tafsir tersebut adalah sebagai berikut :[10]
1)   tafsir sufi, yaitu penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir sufi adalah kitab: Tafsir al Quran al-’Adhim, karya Imam al-Tusturi.
2)   tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al Quran yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda. Di antara kitab tafsir dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al Quran,  karya  Al-Jassah dan  al-Jami’ li Ahkam al Quran  karya Imam al-Qurtubi.
3)   tafsir falsafi, yaitu penafsiran al Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan pada ilmu kalam dan semantik (logika). Ia juga membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al Quran, dan akhirnya ia dengan tegas menolak filsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
4)   tafsir ‘ilmi, yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al Quran, dengan cara mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Di antara kitab tafsir ‘ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karya Wahid al-Din Khan.
5)   tafsir adabi-ijtima’i, yaitu penafsiran ayat-ayat al Quran dengan mengungkapkan sisi balaghah al Quran dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al Quran, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir  adabi-ijtima’i  merupakan corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al Quran serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al Quran.  Diantara kitab tafsir adabi-ijtima’i  adalah Tafsir al Manar  karya Muhammad  Muhammad  Abduh  dan  Rasyid Rida.





b.      Kelebihan dan Kelemahan Metode Tahlili
Keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al Quran. Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatif lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al Quran. Barangkali  kondisi  inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangannya.[11]
Melalui metode ini, penafsir bisa lebih mengembangkan gagasan dan ide penafsirannya berdasarkan keahliannya masing-masing, sehingga wajarlah jika dari metode inii muncul berbagai kitab tafsir berbagai macam corak keilmuan, seperti tafsir fiqih, tafsir falsafi, tafsir sufi dan tafsir adabi ijtima’i.
Adapun kelemahan metode tahlili bisa dilihat dari tiga hal:[12]
1)      menjadikan petunjuk al Quran secara parsial
maksudnya ajaran dan pesan yang hendak disampaikan dalam al Quran tidak bisa tertangkap lebih utuh, seakan-akan al Quran hanya memberikan pedoman tidak komprehensif dan tidak konsisten, ini dikarenakan adanya penafsiran yang berbeda antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Kita ambil satu contoh misalnya QS. An Nisa ayat 2 :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ

Kata “nafsin wahidah”Ibnu Katsir menafsirkannya dengan “Adam a.s.” konsekuensinya adalah ketika dia menafsirkan lanjutan ayat tersebut, kata “wakhalaqa minha zaujaha beliau menulis “yaitu Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri”.[13] 
Jika kita bandingkan dengan penafsiran terhadap kata yang sama pada ayat lain maka terdapat perbedaan seperti dalam QS. At Taubah ayat 128, kata “anfusakum” ditafsirkan dengan “jenis (bangsa)”[14]. Padahal kata “nafs” dan “anfus” berasal dari akar kata yang sama hanya beda bentuk katanya. (mufrad dan jamak). Perubahan bentuk kata dari bentuk tunggal ke jamak hanya membawa perubahan konotasi, tapi tidak membawa perubahan makna.[15] Disinilah letak ketidakkonsistensiannya, sehingga seakan-akan al Quran tidak konsisten padahal penafsirannya yang tidak konsisten.

2)      melahirkan penafsiran yang subjektif
contoh penafsiran diatas juga menggambarkan betapa subyektifitas penafsir ikut berperan dalam menentukan makna dibalik ayat atau teks. Sangat logis, misalnya Ibnu Katsir sebagai seorang ahli hadits menafsirkan al Qur’an berdasarkan riwayat (hadits), namun ia terkesan kurang tepat dalam menempatkan suatu hadits. Dalam kasus diatas, kata “min dhil’in” dalam hadits ditafsirkan Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, padahal kata itu tidak pernah merujuk kepada Adam. Penafsiran itu muncul dari dalam pikiran Ibnu Katsir secara subyektif dihubungkan dengan kata “nafs” didalam al Qur’an.[16]

3)      membuka peluang masuknya pemikiran isra’iliyat
Kemungkinan masuknya pemikiran isra’iliyat sangatlah wajar karena metode tahlili tidak memberikan batasan-batasan seorang mufassir dalam menyatakan pendapatnya. Sebenarnya kisah-kisah isra’iliyat tidak ada masalah selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al Qur’an. [17]
Masalahnya adalah ketika kisah-kisah israiliyat ini masuk ke dalam penafsiran dan membentuk opini bahwa apa yang dikisahkan itu juga merupakan maksud dari firman allah, padahal itu belum tentu sama atau cocok dengan apa yang dimaksudkan Allah. Disinilah letak sisi negatifnya, dikhawatirkan akan mengurangi makna dari ayat tersebut.
Meskipun demikian, metodologi tahlili telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.

c.       Kritik Metodologis
Menurut Abdul Jalal, ada beberapa problem dalam metode tafsir tahlili diantaranya adalah:[18]
Pertama, bagaimana mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat al Quran, karena penggunaan metode tafsir tahlili mengakibatkan pemahaman terhadap suatu topik atau judul tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan karena ayat-ayat yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam berbagai surat, sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai tempat. Hal ini tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang satu dengan yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.
Kedua, bagaimana menghentikan kesenjangan antara ajaran al Quran yang berupa pedoman hidup dengan pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah swt. Sebab tuntunan Allah yang sebenarnya telah ada dalam al Quran kurang memasyarakat karena sulit untuk dipahami oleh masyarakat Islam, karena penafsiran-penafsirannya tidak secara topikal/sektoral, sehingga tidak bisa terpadu sampai tuntas.
Ketiga, bagaimana menghindari kesenjangan yang mengakibatkan orang-orang yang tidak paham tuntunan Allah tadi lalu meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan bahwa ajaran itu tidak sinkron dengan alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi sekarang ini.
Al-Farmawi, menambahkan, para penafsir model  tahlili  ada yang terlalu berbelit dengan menguraikan secara panjang lebar, dan ada pula yang terlalu sederhana dan terlalu ringkas. Jamal al-Banna (saudara  Hasan al Banna) memberikan komentar terhadap para  mufassir yang memiliki kecenderungannya untuk melakukan penafsiran al Quran bahwa kekeliruan terbesar yang dilakukan oleh kelompok mufassir metode tahlili adalah keasyikan mereka dalam berdebat sesuai dengan spesialisasi masing-masing, dan obsesi mereka yang berlebihan dalam mempertahankan argumentasinya. Mereka lupa untuk menunjukkan spirit al Quran itu sendiri, bahwa keseluruhan susunan ayat-ayat al Quran itu terjalin menjadi sebuah kitab utuh yang menghidupkan, membangkitkan dan memberikan tuntunan ke arah pencerahan umat manusia. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, lanjutnya, adalah spesialisasi para ulama di bidang tertentu membuat para ulama tafsir terpola ke dalam format tertentu.[19]
Kemudian  Jamal al-Banna  memberikan contoh dengan melancarkan kritikannya terhadap  mufassir yang dengan keahlian bahasanya menafsirkan al Quran, seperti al-Zamakhshari. Ia mengatakan: [20]
“cukuplah kita mengamati al-Kashshaf  karya al-Zamakhshari. Dari situ dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli gramatika, morfologi,  balaghah, dan ilmu bahasa lainnya. Perhatian ‘pertama’ terhadap al Quran misalnya, tertuju pada pembahasan dan studi mendetil tentang metafora (isti’arah), alegori (majaz), kata-kata asing dalam al Quran (Gharîb al-Qurân), gramatika, morfologi, dan lain sebagainya. Dengan pengamatan yang seksama atas karyanya, suatu ketika anda akan dibawa pada suatu kesimpulan, bahwa yang penting baginya dari al Quran adalah bagaimana menjadikannya sebagai ajang untuk menerapkan ilmu bahasa yang dia kuasai. Sementara makna-makna ayat dan tema al Quran menjadi terpisah dari sisi penjelasan dan ulasannya.”



2.      Metode Ijmali
Metode ijmali (global) ialah metode yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al Quran secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global).[21] Metode ini mengulas setiap ayat al Quran dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit.[22]
Dalam metode ini, seorang mufassir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al Quran dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.[23]
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekadar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al Quran, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al Quran. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda dengan ayat yang ditafsirkan (hampir sama dengan al Quran).

a.       Karakteristik Metode Ijmali
Perbedaan utama antara metode ijmali dengan metode tahlilimuqaran, ataupun mawdu’i adalah terletak pada:[24]
1)      seorang mufassir langsung menafsirkan ayat al Quran dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul,
2)      mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya,
3)      mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.

Para penafsir yang menggunakan metode ini umumnya tidak memakai bahasa yang sulit dipahami, tetapi menggunakan bahasa yang singkat dan sederhana untuk menghindari kesalahan dalam memahami ayat demi ayat.



b.      Kelebihan dan Kelemahan Metode Ijmali
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al Quran ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al Quran.
Adapun kelebihan pada metode ijmali, terletak pada:
1)        proses dan bentuknya yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum,
2)        terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan unsur-unsur lain, dan
3)        bahasanya yang akrab dengan bahasa al Quran.[25]
Sedangkan kekurangan metode ijmali adalah:
1)        menjadikan petunjuk Al Quran bersifat parsial,
2)        tidak ada ruang untuk analisis yang memadai. Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat ringkas.[26]
Maka metode ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh pekerjannya sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat.
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufassir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al Quran sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
Di antara kitab tafsir yang ditulis dengan metode ijmali adalah ; 
-     Kitab Tafsir Al Quran al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, 
-     Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah,
-     Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman al-Mirghani,  
-     Tafsir li al-Imam al-Jalalayn, karya bersama Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuti.[27]
Karena kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, maka paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Meskipun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang banyak diminati, terutama oleh para mufassir kontemporer.

c.       Kritik Metodologis
Dalam metode tafsir ijmali, teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi zahir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al Quran ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks.[28]
Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam tafsir Jalalayn yang ditulis dengan metode ijmali.


III.          Kesimpulan
Beberapa meeting point yang bisa kita ambil dari pemaparan diatas, diantaranya adalah :
1.        Metode Tahlili adalah metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat al Qur’an dari berbagai aspek yang mengitarinya dengan menggunakan banyak disiplin ilmu pengetahuan.
2.        Metode Tahlili banyak digunakan para mufassir untuk mengembangkan penafsiran al Qur’an. Dari metode tahlili memunculkan berbagai macam corak tafsir sesuai dengan kapasitas keilmuan penafsir, baik tafsir bi al ra’yi maupun tafsir bi al ma’tsur
3.        Metode Ijmali merupakan metode tafsir yang menjelaskan makna ayat al Quran secara ringkas dan mudah dipahami oleh semua pembaca.
4.        Produk dari tafsir yang menggunakan metode ini lebih familiar dan sangat membantu bagi para pembaca pemula yang sedang dalam proses memahami kandungan dan makna al Quran
5.        Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Namun bukan berarti kekurangan itu merupakan sesuatu yang negative, akan tetapi menjadi bahan evaluasi dan lebih bijak serta kewaspadaan dalam memakai metode tersebut sehingga tidak terjebak pada penafsiran yang sempit dan keliru.

IV.          Penutup
Terlepas dari berbagai problem yang terdapat dalam metode tahlili dan ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode tahlili dan ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al Quran tetap menjadi khazanah yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Seiring dengan dinamika intelektual manusia serta tantangan-tantangan yang kita hadapi semakin konpleks maka pengembangan metodoologi tafsir menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa kita pungkiri. Sebuah metode boleh jadi akan terasa usang sehingga memerlukan pembaharuan-pembaharuan yang lebih kreatif dan inovatif untuk menjawab tantangan permasalahan umat. Disinilah tugas kita sebagai kaum intelektual muslim untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Are u ready ???? semoga.
Demikian pemaparan yang bisa saya sampaikan semoga bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan kita tentang berbagai metodologi tafsir. Saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk perbaikan penulisan makalah selanjutnya. Selamat berdiskusi-ria ,,.,.,.!!!


Daftar Pustaka
Al Banna, Gamal,  Evolusi Tafsir dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern (Terj). Novriantoni Kahar (Jakarta: Qisthi Press, 2004)
Al Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992)
Al Zahabi, Muhammad Husain, al Tafsir wa al Mufassirun, (Mesir : Dar al Kutub al Hadits, 1961)
Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran Al Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
----------, Tafsir bi Al Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an, Mencermati Konsep Kesejajaran Wanita dalam Al Qur’an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999)
Farmawi, Abd al Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’i (Terj.) Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
----------, Al Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’I, cet. 2, (Mesir : Mathaba’at al Hadharat al Arabiyah, 1977)
----------, Muqaddimah fi al Tafsir al Maudhu’I, (Mesir : Mathaba’at al Hadharat al Arabiyah, 1977)
Ibn al Katsir, Abu al Fida al Hafizh, Tafsir al Qur’an al Adzhim, cet. I (Beirut : Darul Fikr, 1992)
Ibn Zakariya, Ahmad ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz 11 (Mesir : Isa al-Babiy al-Halabiy, 1990)
Jalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudhu’I Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990)
Khalil Al-Qattan, Manna, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973)
Samsul Bahri, Konsep-Konsep Dasar Metodologi Tafsir, dalam M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Teras, 2005)
Supriana, dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002)




MENGUNGKAP KEBERADAAN TUHAN DALAM ISLAM (Sebuah Telaah Kritis Pendekatan Filosofis)

Oleh : Muhammad Fathoni, S. Pd.I
 
1.       PENDAHULUAN
Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan sungguh-sungguh, radikal sehingga mencapai hakekat segala situasi tersebut. Oleh karena itu, Filsafat termasuk ilmu istemewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah tersebut terdapat di luar atau di atas jangakauan ilmu pengetahuan biasa.
Berfikir dengan filsafat (filosofis) tersebut dapat digunakan dalam memahami ajaran agama (Islam), dengan harapan agar hikmah, hakikat, atau inti dari ajaran tersebut dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Berfikir secara filsafat inilah yang disebut sebagai metode pendekatan filsafat dalam mengkaji studi Islam. Melalui pendekatan ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji dan sudah menunaikan rukun islam yang kelima dan berhenti sampai disana, mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spritual yang terkandung didalamnya.[1]
Pendekatan filsafat dalam penelitian agama Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu. Al-Qur’an bukan karya filosofis baik dari prilaku maupun ajarannya. Allah menyampaikan wahyunya melalui al-Qur’an untuk mengingatkan kembali kepada kita akan kebenaran-kebenaran tentang Tuhan dalam hubungannya dengan manusia, tentang hidup di dunia dan akhirat, mengutip cerita-cerita lama, menjanjikan imbalan atau hukuman atas setiap perbuatan manusia. Tetapi di samping kebenaran-kebenaran keagamaan, al-Qur’anpun memuat unsur-unsur kefilsafatan artinya pernyataan-pernyataan yang memberikan bahan untuk direnungkan, tentang Tuhan, tentang penciptaan, tentang alam semesta, tentang manusia, takdir dan lain sebagainya.[2]
Penelaahan tentang Tuhan dalam perspektif filsafat lazimnya disebut teologi kodrati atau teodise. Yang menjadi obyeknya adalah Tuhan sebagaimana dikenal oleh akal kodrati. Penelaahan tentang Tuhan merupakan puncak metafisika yang khusus, dan berbeda dengan metafisika lainnya yang membahas tentang “ada” pada umumnya. Dan berbeda pula dengan teologi suci yang diterangi wahyu untuk manusia di dalam iman kepercayaan.[3]
Iman atau kepercayaan kepada Tuhan dapat dipertanggung jawabkan secara rational dalam dua pengertian, secara teologis dan folosofis. Secara teologis, iman dipertanggungjawabkan jika dapat ditunjukan bahwa apa yang diimani serta kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu adalah sesuai dengan sumber  iman sendiri yang berupa wahyu. Jadi teologi berdasarkan wahyu agama yang bersangkutan dan sekaligus wahyu adalah sumber kebenaran. Mengingat setiap agama mempunyai wahyu atau dasarnya sendiri, maka setiap agama mempunyai teologi tersendiri. Pertanggungjawaban iman secara teologis diarahkan dalam rangka refleksi dan diskursus di dalam umat agama yang bersangkutan. Sedangkan secara filosofis, iman dipertanggungjawabkan dan dipahami secara rasional atau nalar sehingga filsafat ketuhanan hanya mempertanyakan hal-hal yang paling mendasar atau inti, misalnya, tentang adanya Tuhan. Karena itu, pertanyaan mendasar dari filsafat ketuhanan adalah: Bagaimana kepercayaan bahwa ada Tuhan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional ?.[4]
Oleh karenanya, mengartikan agama dengan menggunakan ilmu filsafat adalah filsafat sebagai media untuk manusia mencari makna Tuhan atau ma’rifatullah secara mendalam, dan menggunakan logikanya sebagai alat pencari makna islam itu sendiri. Tetapi yang perlu digarisbawahi, logika manusia memiliki keterbatasan. Sehingga Al-Quran tidak semua ayatnya dapat di terjemahkan secara logika, contohnya saja ayat tentang keberadaan tuhan.
Dari gambaran diatas ada pertanyaan yang menggelitik bagi bagi umat beragama (khususnya orang Islam), karena sudah mafhum oleh kita bahwa manusia dilarang untuk memikirkan eksistensi dzat Tuhan, namun sebaliknya hanya diperbolehkan memikirkan hasil karya ciptaanNya (makhluk). Oleh karena itu pertanyaan : haruskah Tuhan itu ada? haruskah Tuhan itu Esa dan mengapa harus Esa ?. Semua pertanyaan ini dapat dijawab berdasarkan berbagai pendekatan filosofis, seperti ontologis, epistimologis kosmologis, teleologis, dan moral.

2.       PEMBAHASAN
Filsafat pada intinya beruapaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik obyek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriyah.
Sebelum membahas eksistensi Tuhan dalam Islam dengan pendekatan filosofis, alangkah lebih baiknya kita bahas terlebih dahulu beberapa bagian-bagian yang terkait dengan filsafat yang kemudian kita elaborasikan dengan eksistensi Tuhan dalam agama Islam.   

a.      Pendekatan Ontologis.
Kata Ontology (bahasa Inggris) atau kata sifatnya, ontologis, berasal dari bahasa Yunani, yaitu; on atau ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang).  Dengan demikian, ontologi adalah pengetahuan tentang eksistensi segala sesuata yang ada. Menurut Loren Bagus[5], ontologi mengandung beberapa pengertian:
1)     Studi mengenai ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri, yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Studi tentang Yang Ada dalam bentuk yang sangat abstrak mengajukan pertanyaan seperti: Apa itu Ada-dalam dirinya sendiri? Apa hakikat Ada sebagai Ada ?
2)     Cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin dengan menggunakan kategorisasi, seperti: ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, esensi, keniscayaan, yang ada sebagai yang ada, ketergantungan pada dirinya sendiri, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terakhir, dasar.
3)     Cabang filsafat yang mencoba ; melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna; menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya; dan menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah realitas tertentu.
4)     Cabang filsafat yang mengajukan pertanyaan; Apa arti “ Ada, Berada), dan yang menganalisis macam-macam makna yang memungkinkan hal-hal yang dapat dikatakan Ada atau Berada.
5)     Cabang filsafat yang: menyelidiki jenis realitas suatu hal yang nyata; menyelidiki jenis realitas yang dimiliki hal-hal, misalnya, apa yang dimiliki suatu bilangan, dan menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas dan/atau ilusi.

Menurut Juhaya S. Praja, ontologi merupakan ilmu pengetahuan yang menjelaskan hakikat yang ada atau disebut pula sebagai teori hakikat. Jadi, ontologi mempertanyakan, apa sebenarnya hakikat dari segala sesuatu yang ada. Menurutnya, ada empat aliran filsafat yang memberi jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu; materialisme, idealisme, dualisme, dan agnosticisme.[6]
Kita ambil salah satu pandangan agnoticisme misalnya, dalam masalah eksistensi Tuhan, aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak akan sanggup untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan; pada prinsipnya aliran ini tidak menafikan Tuhan secara tegas dan tidak juga mengatakan bahwa Tuhan itu ada. Singkatnya, faham agnoticisme adalah ajaran keraguan sehingga dinamakan pula sebagai aliran skepticisme, antara atheisme dengan theisme sehingga memungkinkan untuk ditarik ke dalam lingkungan agama.[7]
Kaitannya dengan pertanyaan eksistensi Tuhan; haruskah Tuhan itu ada? haruskah Tuhan itu Esa ? dan mengapa harus Esa ?, maka argumen-argumen ontologis merupakan salah satu upaya untuk membuktikan eksistensi Tuhan yang paling termasyhur dan kontroversi, yang banyak dibahas oleh para filosof besar. Yang pertama kali mengemukakan pertanyaan ini adalah Santo Anselmus dari Canterbury (1033-1109 M). Ia berargumentasi sebagai berikut: Allah adalah Pengada yang tak dapat dipikirkan oleh sesuatu yang lebih besar daripada-Nya (id quo majus cogitari nequit). Tetapi sesuatu yang tak dapat dipikirkan itu tentu bereksistensi dalam kenyataan bukan hanya dalam pikiran, sebab jika eksistensi-Nya hanya dalam pikiran subyek yang memikirkan, umpamanya dalam pikiran Anselmus sendiri, maka tentu harus ada sesuatu yang lebih besar yang dapat dipikirkan, yakni; yang nyata-nyata ada di luar pikiran. Maka, mengingat kita dapat memikirkan Allah sebagai “Sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya”,  maka Allah mesti bereksistensi dalam kenyataan. Jadi eksistensi Allah tidak dapat disangkal.[8]

Bagaimana argumen tersebut dapat dinilai ? Menurut Franz Magnis Suseno memberi tanggapan sebagai berikut:
Pertama, perlu ditegaskan bahwa secara prinsip dari memikirkan sesuatu tidak pernah dapat disimpulkan ke eksistensi nyata tentang sesuatu yang dipikirkan itu, misalnya, dari analisa sebuah konsep tak pernah diketahui apakah yang ditandai oleh konsep itu nyata-nyata ada atau tidak. Dengan demikian, teka-teki argumentasi Anselmus dapat diungkap, yakni yang dibuktikan hanyalah jika kita memikirkan Allah, Allah sebagai sesuatu yang tak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya, dan karena itu Allah harus dipikirkan sebagai bereksistensi dengan mutlak. Akan tetapi, pertanyaan apakah memang ada “ sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya”, sama sekali belum terjawab. Memang jika Allah itu ada, maka Allah memang tidak mungkin tidak ada; namun pertanyaan, “ apakah Allah ada”, tidak dapat dijawab hanya dari bagaimana kita memikirkan-Nya.[9] Dengan demikian, pembuktian ontologis Allah terbukti tidak absah.
Kedua, jika demikian argumentasi ontologis tentang eksistensi Allah belum selesai . Oleh karena itu, kita harus memikirkan eksistensi Allah itu dari realitas terbatas ke realitas mutlak. Yang mutlak adalah sesuatu yang ada karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain, yakni Allah itu mesti ada, dan karena itu mesti esa. Argumentasi ini sangat sederhana dengan tiga langkah:
a.    Ditegaskan bahwa kalau ada sesuatu, maka harus ada yang mutlak;
b.    Diperlihatkan bahwa segenap realitas yang berubah-rubah tidak mungkin mutlak;
c.     Ditarik kesimpulan bahwa selain realitas yang berubah-rubah mesti ada yang lain lagi, “ yang mutlak”, yang berbeda dengan realitas yang berubah-rubah itu.[10]

Selain  Anselmus, argumen ontologi disampaikan pula oleh Descartes. Menurut Descartes, Allah adalah Yang Ada, sempurna dan tak terbatas.  Karena itu, wajib mengandaikan bahwa Allah itu Maha Kekal, Maha Kuasa,  serta Maha Sempurna. Dialah sebab keberadaanku, yang menanamkan ide tentang Dia dalam pikiranku, dan pikiran-pikiran lain seterusnya.[11]
Sedang menurut filosof muslim al Kindi, alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.[12]
Pertama-tama al-Kindī  menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular). Kajian filsafat ketuhanannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.[13]
Al Kindī berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian tubuh.
Selanjutnya, ia berargumen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh setiap serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan.
Hanya saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī  masih terpengaruh oleh Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia.[14] Namun tidak seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Tuhan adalah Penyebab dari segala sebab. Setelah melakukan sebab itu, Tuhan tetap melakukan sesuatu (‘Illah al-Fā’ilah).
Disinilah letak perbedaannya, Tuhan tidak diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan Tuhan tidak bergerak, sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun setelah emanasi. Sehingga Tuhan dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang partikular. Berbeda dengan al-Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.[15] Al-Kindī menyebut, Tuhan yang seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi penyebab dan bertindak aktif. Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku yang metaforis (agen kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti. Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bawah. Secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan.
Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bawah adalah terdiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan.[16]
Namun, analisis secara umum al Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi al Kindī alam dunia mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.[17]
    
b.     Pendekatan Epistemologis.
Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani: episteme, yang berarti knowledge atau pengetahuan. Logy berarti teori. Oleh sebab itu, epistemologi diartikan sebagai teori pengetahuan atau filsafat ilmu. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini: Apakah pengetahuan itu ? Apa sumber-sumber pengetahuan itu ? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahui? Apakah pengetahuan kita itu benar ?[18]
Pendekatan ini dapat dipergunakan dalam memahami eksistensi atau kebenaran adanya Tuhan Yang Maha Esa, yaitu berdasarkan sumber pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, Juhaya S. Praja menegaskan bahwa pengetahuan yang kian hari kian bertambah, pada dasarnya bersumber kepada tiga macam sumber, yaitu: (1) pengetahuan yang langsung diperoleh; (2) pengetahuan konklusi, dan (3) pengetahuan kesaksian dan autoritas.[19]
Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu.
Al Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusia memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu.

c.      Pendekatan Kosmologis.
Cosmology (Inggris), berasal dari bahasa Yunani, cosmos (dunia, alam semesta) dan logos (ilmu tentang, alasan pokok bagi, suatu pertimbangan). Cosmologi sebagai suatu aliran filsafat mempunyai beberapa pandangan, yaitu:
1)  Ilmu tentang alam semesta sebagai suatu sistem yang rasional dan teratur;
2)  Sering ditunjukkan sebagai cabang ilmu pengetahuan secara khusus, misalnya, astronomi, yang berupaya membuat hipotesis mengenai asal, struktur, ciri khas, serta perkembangan alam fisik menurut pengamatan dan metodologi ilmiah;
3)  Ilmu yang memandang alam semesta sebagai suatu sistem yang integral; dan bagian alam itu berdasarkan pengamatan astronomi merupakan satu bagian dari keseluruhan;
4)  Secara tradisional, cosmologi merupakan cabang metafisika yang bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya, penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu, ruang, dan kausalitas. Tugas cosmologi berbeda dengan ontologi; cosmologi mencoba mencari apa yang berlaku bagi dunia ini, sementara ontologi berusaha mencari relasi-relasi dan pembedaan-pembedaan yang dapat berlaku dalam dunia manapun.[20]
Tuhan menurut Al Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filsafatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filsafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat al Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.[21]
Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak.

d.     Pendekatan Moral.
Istilah moral (Inggris) atau moralis (Latin), berasal dari mos atau moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), atau mores (adat istiadat, tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Moral sebagai suatu istilah ilmu mengandung pengertian:
1)     Menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagi baik/buruk, benar/salah, dan tepat/tidak tepat.
2)     Sesuai dengan kaidah-kaidah diterima menyangkut apa yang dianggap benar, bajik, adil dan pantas.
3)     Sebagai suatu kemampuan untuk mengarahkan atau diarahkan, mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keinsafan akan benar sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku yang dinilai benar atau salah.
4)     Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam berhubungan dengan pihak lain.[22]

Dalam ajaran Islam, penggunaan kata-kata moral, etika, sopan santun menunjukkan bahwa konsep utama dalam al-Qur’an adalah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang maha adil, dan bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep sucinya hanyalah refleksi yang suram atau imitasi yang sangat tidak sempurna dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respon khusus yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan ketuhanan.[23] Di sini, seorang muslim dituntut untuk sebisa mungkin meniru sikap etis Tuhan, karena pada kenyataannya Tuhan merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci al-Qur’an.
Banyak para ahli merasa kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an berkaitan dengan konsep moral dan etika religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-perbuatan yang baik biasa disebut shalihat, sedangkan perbuatan yang buruk disebut sayyiat. Perbuatan sayyiat secara umum disebut itsm atau wizr yaitu dosa atau kejahatan yang arti asalnya adalah beban.[24]
Term-term di atas menjadi dasar umat Islam terhadap pengembangan konsep-konsep moral, yang disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan terhadap term-term tersebut juga dijelaskan dalam al-Qur’an serta masing-masing memiliki akibatnya. Perbuatan-perbuatan shalih akan membawa manusia kepada konsekuensi yang baik bagi pelakunya dan perbuatan-perbuatan sayyiah juga akan membawa pelakunya terhadap akibat yang dapat merugikan dan membebani dirinya sendiri.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa persoalan moral adalah persoalan nilai tertinggi yang ingin dicapai manusia, apakah nilai tersebut berasal dari manusia sendiri atau dari luar dirinya? Tentunya, nilai yang tertinggi adalah harus bersumber dari dzat yang tak terbatas pula, yaitu Allah. Karena itu, hukum Ilahi  akan menjadi sumber kekuatan hukum moral kodrati yang mengikat dan tak bersyarat, sehingga tujuan tertinggi manusia adalah kebahagiaan. Tujuan ini akan tercapai di dunia lain bila manusia mengikatkan dirinya sebagai milik Allah. Dengan demikian, secara moral keberadaan Tuhan merupakan suatu kepastian sebagai sumber nilai tertinggi.

3.       KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, ada beberapa meeting points yang bisa kita ambil sebagai tambahan pengetahuan dan memperteguh keyakinan kita akan eksistensi Tuhan (Allah), diantaranya adalah :
o    Pengetahuan dan pemahaman tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi. Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausal pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.
o    Jadi pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat. Namun pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman. Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam, dan lain-lain).
o    Maka para filosof mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui segala sesuatu sekitar diri kita.
o    Secara ontologis, keberadaan Tuhan adalah suatu keniscayaan sebagai suatu realita tak terbatas (mutlak) yang mesti Esa
o    Secara epistemologis, Tuhan dipahami sebagai sumber pengetahuan yang menerangkan bukti-bukti dan otoritatif bagi para nabi atau rasul-Nya tentang eksistensi diri-Nya dan eksistensi lain-Nya.
o    Secara kosmologis,  eksistensi Tuhan dapat dipahami sebagai asal segala yang ada, yang mesti ada dan mesti esa;
o    Secara moral, Tuhan  menjadi sumber nilai yang menerangkan mana jalan yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah;

4.       PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun sebagai tambahan setetes pengetahuan akan eksistensi Tuhan dalam Islam. Saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk kebaikan kita bersama dan perbaikan penulisan makalah berikutnya. Atas perhatian dan partisipasinya kami ucapkan terima kasih. Selamat berdiskusi..!!



DAFTAR PUSTAKA


Al Kindi, A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy, (First Published, 2006).

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, edisi pertama, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996).

Fakhry, Madjid, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995).

Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer (Yogyakarta: Kanisius Pustaka Filsafat, 1993).

------------, Manusia Di Dalam Allah (1), Masalah Ketuhanan Dewasa Ini (Yogyakarta: Kanisius, 1982).

Nasr, Seyyed Hossein & Oliver Leamen (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan,2003).

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Rajawali Pres, 2009).

Praja, Juhaya S., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997).

------------, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. (Jakarta: Teraju, 2002).

Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009).

Suseno, Franz Magnis, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006).

Zar, Sirajuddin Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007).






Thursday, January 26, 2012

Konsep-konsep Pendidikan Al Attas


Syed Muhammad Naquib Al-Attas, adalah salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam. Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas islamisasi ilmu pengetahuan dan secara sistematis merumuskan strategi islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam.
Menurutnya, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmupun tidak dapat bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah masyarakat dunia termasuk dunia Islam saat ini telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban Barat. Sementara peradaban Barat sendiri telah melahirkan kebinggungan, kehilangan hakikat, menyebabkan kekacauan hidup manusia, karena pengetahuan Barat didasarkan pada skeptisisme lalu diilmiahkan dalam metodologi.
Islamisasi awal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah islamisasi bahasa, karena bahasa sesuatu yang penting dan merupakan refleksi pemikiran dan pandangan suatu masyarakat. Bahasa Islam yang dimaksud beliau adalah bahasa Arab yang baru. Karena bahasa Arab yang lama mengunakan konsep-konsep dan memuat pesan-pesan dalam world-view jahiliyah. Bahasa Arab yang baru adalah bahasa Al Quran yang mengubah struktur konseptual jahiliyah dan mempunyai sifat ilmiah.
Selain itu, menurut Al-Attas percabangan sistem pendidikan (tradisional-modern) telah membuat lambang kejatuhan umat Islam. Jika hal itu tidak ditanggulangi maka akan mendangkalkan dan menggagalkan perjuangan umat Islam dalam rangka menjalankan amanah yang telah diberikan Allah SWT.
Dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam; antara ilmu agama (Islam) dan ilmu umum (Barat) telah menimbulkan persaingan di antara keduanya, yang saat ini, dalam hal peradaban, dimenangkan oleh Barat, sehingga pengaruh pendidikan Barat terus mengalir deras, dan ini membuat identitas umat Islam mengalami krisis dan tidak berdaya.
Kondisi pendidikan dewasa ini, menurut Al Attas, secara makro telah terkontaminasi dan terinfeksi konsep pendidikan Barat. Dimana paradigma pendidikan Barat tersebut secara garis besar dapat dikatakan hanya mengutamakan pengejaran pengetahuan ansich, menitikberatkan pada segi teknik empiris, sebaliknya tidak mengakui eksistensi jiwa, tidak mempunyai arah yang jelas serta jauh dari landasan spiritual.
Berdasarkan pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya, maka Al-Attas menawarkan pemikiran pendidikan Islam yang terformula dalam konsep ta'dib, sebagai solusi alternatif untuk diaktualisasikan dan di implementasikan dalam dunia pendidikan Islam.
Adapun rekonstruksi paradigma pendidikan Islam menurut Syed Naquib Al Attas dalam mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi rekonstruksi konseptual terdiri atas (a) rekonseptualisasi pandangan dunia Islam (Metafisika), (b) rekonseptualisasi ilmu pengetahuan (Epistemologi) dan (c) rekonseptualisasi sistem pendidikan. Dan sebagai implementasi dari rekonstruksi konseptual, Al Attas menawarkan rekonstruksi institusional berupa universitas Islam yang digambarkan dengan universitas yang dipimpinnya yaitu ISTAC.
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pemecahan problematika pendidikan Islam seperti tersebut di atas menjadi tugas umat yang terberat di abad ini. Sebab keadaan umat Islam jika ingin kembali bangkit memegang andil dalam sejarah sebagaimana di masa kejayaannya, amat ditentukan oleh sejauh mana kemampuannya dalam mengatasi problematika pendidikan yang sedang dialaminya.