IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER (ANTIKORUPSI) DI SEKOLAH
Oleh Muhammad Fathoni, M.S.I
A.
PENDAHULUAN
Korupsi merupakan salah satu
masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia
dewasa ini, menyangkut tatanan
nilai dalam masyarakat
yang membutuhkan penyelesaian dan pemikiran bersama.
Korupsi sudah menjadi penyakit kronis
dan akut yang terus menggerogoti semua tatanan nilai kehidupan bangsa dan
berkembang dengan modus operandi yang beragam. Karena semakin akutnya
masalah korupsi di Indonesia, banyak orang yang menganggap korupsi sudah menjadi
budaya, bahkan virus mematikan yang perlu ada penyelesaian
mendesak dari semua pihak. Fakta
ini merupakan bagian dari kemerosotan moral dan karakter yang menunjukkan
kegagalan pendidikan dalam menumbuhkan manusia yang berkarakter dan berakhak
mulia atau dengan bahasa sederhana pendidikan kita belum bisa mengubah
manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan, sehingga
dalam berbagai macam posisi di dunia, bangsa Indonesia juga mengalami
kemunduran.
Korupsi
telah menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa Indonesia. Berbagai usaha
pemberantasan korupsi telah dilakukan oleh berbagai lembaga penegak hukum di
Indonesia dengan hasil yang beragam, dunia pendidikan kini mulai merasa
bertanggung jawab akan pentingnya penanaman kesadaran melawan perilaku koruptif
melalui lembaga pendidikan (sekolah) yaitu pendidikan antikorupsi.
Dalam
konteks dunia pendidikan, definisi korupsi bisa diperluas cakupannya. Perbuatan
seperti berbohong, menyontek saat ujian, penggunaan fasilitas sekolah untuk
kepentingan pribadi, manipulasi laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
(termasuk mark up), dan lain sebagainya. Dengan demikian, korupsi
merupakan tindakan yang menyimpang, tidak sesuai dengan aturan, ketidakjujuran
dan merugikan orang lain. Bahkan tindakan-tindakan koruptif tersebut mudah
sekali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung lazim dilakukan oleh
masyarakat. Tindakan tersebut seakan-akan menjadi kebiasaan yang lumrah tanpa
ada rasa malu dan bersalah karena dianggap sudah menjadi budaya dan dilakukan
semua orang.
Menyadari
hal tersebut, pemerintah pada tahun 2010 mengambil langkah dengan mencanangkan
visi penerapan pendidikan karakter atau pendidikan nilai-nilai karakter budaya
bangsa. Pendidikan karakter harus ditanamkan dan dimiliki oleh setiap manusia
yang ingin berubah sikap dan perilakunya dalam kehidupan sejak dini. Baik
elemen masyarakat pendidikan, guru, dosen, pemerintah, mahasiswa, dan pelajar.
Menurut Mardiatmaja sebagaimana dikutip Abdul Majid (2011:4) semua elemen tersebut
harus memiliki sifat dasar dan karakter yang kuat sebagai generasi penerus
bangsa. Pendidikan karakter menjadi sangat penting karena merupakan ruh
pendidikan dalam pembentukan manusia seutuhnya.
Thomas
Lickona, seorang profesor pendidikan Cortland University mengungkapkan bahwa
ada sepuluh tanda-tanda zaman harus diwaspadai karena jika sepuluh tanda ini
sudah ada, berarti sebuah bangsa menuju kehancuran (Muslich, 2013:35). Sepuluh
tanda itu adalah: 1) meningkatnya kekerasan dikalangan remaja, 2) penggunaan
bahasa dan kata-kata yang memburuk, 3) pengaruh peer-group yang kuat
dalam kekerasan, 4) meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan alkohol,
narkoba, seks bebas, 5) kaburnya pedoman moral baik-buruk, 6) etos kerja
menurun, 7) rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru, 8) rendahnya
rasa tanggung jawab individu dan warga negara, 9) membudayanya ketidakjujuran,
dan 10) adanya saling curiga dan benci antar sesama.
Melihat
beberapa fenomena sebagaimana digambarkan di atas, maka bangsa Indonesia sudah
termasuk kedalam kategori negara yang menuju kehancuran. Sehingga pendidikan
karakter atau pendidikan budi pekerti menjadi sebuah keharusan dan harga mati.
Pertanyaannya
adalah bagaimanakah strategi mengimplementasikan pendidikan karakter ini di
sekolah atau lembaga pendidikan? Sebab sekolah sebagai instansi pendidikan
merupakan proses pembudayaan, sehingga tidak bisa menghindarkan diri dari upaya
pembentukan karakter bagi anak didik.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini penulis hanya membatasi permasalahan seputar apakah
pendidikan karakter itu ?, apakah pendidikan antikorupsi itu ?, bagaimana
hubungan antara pendidikan karakter dengan pendidikan antikorupsi ?, bagaimana penerapan
pendidikan antikorupsi di sekolah ?.
B.
PEMBAHASAN
1.
Konsep Dasar Pendidikan Karakter
a.
Pengertian
Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu
secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat,
suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk
menjalankan kehidupan dan untuk
memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien
(Wibowo, 2013:34).
Ki Hajar Dewantara (1930) menyatakan bahwa pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin dan
karakter), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak, semua bidang itu saling
terkait agar tercipta manusia ideal selaras dengan alam dan masyarakatnya
(Zuriah, 2011:122).
Hal di atas mengindikasikan bahwa ternyata peranan
pendidikan menempati posisi strategis dalam mewujudkan manusia yang
berkepribadian utuh dan mandiri serta menjadi manusia yang mulia dan bermanfaat
bagi lingkungannya. Pendidikan merupakan basis penanaman nilai-nilai kepada
individu untuk diaplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Marimba, tokoh
pendidikan Indonesia, misalnya menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan
secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik
menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Lestari, 2010:77). Hal tersebut
selaras dengan Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian di atas mengindikasikan betapa peranan
pendidikan sangat besar dalam mewujudkan manusia yang utuh dan mandiri serta
menjadi manusia yang mulia dan bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan pendidikan
manusia memahami bahwa dirinya sebagai makhluk yang dikaruniai kelebihan
dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Membicarakan masalah pendidikan karakter tidak akan
terlepas dari nilai atau norma. Permasalahan inilah yang akan dibahas dalam makalah
ini lebih jauh yakni masalah moral, yang dalam pendidikan Islam lebih dikenal
dengan akhlak. Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena
masyarakat Indonesia sedang mengalami patologi sosial yang amat kronis. Bahkan
sebagian besar masyarakat telah tercerabut dari adat-istiadat ketimuran yang terkenal
beradab dan santun.
Secara
terminologi, kata karakter diambil dari bahasa Inggris dan juga berasal dari
bahasa Yunani Character. Kata ini awalnya digunakan untuk menandai (to
mark) sesuatu. Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku.
Selanjutnya istilah ini digunakan untuk menandai dua hal yang berbeda satu sama
lainnya, dan akhirnya digunakan juga untuk menyebut kesamaan kualitas pada setiap
orang yang membedakan dengan kualitas lainnya (Muin, 2011:162). Dalam kamus
Poerwadarminta (2008:541), karakter diartikan sebagai tabiat, watak,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain.
Kata karakter
juga cenderung disamakan dengan personalitas atau kepribadian. Orang yang
memiliki karakter berarti memiliki kepribadian. Keduanya
diartikan sebagai totalitas nilai yang dimiliki seseorang yang mengarahkan
manusia dalam menjalani kehidupannya. Totalitas nilai meliputi tabiat, akhlak,
budi pekerti dan sifat-sifat kejiwaan lainya (Majid, 2012:12).
Hal
senada disampaikan oleh Shimon Philips, bahwa karakter diartikan sebagai
kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran,
sikap, dan prilaku yang ditampilkan. Perilaku tertentu seseorang, sikap atau
pikirannya yang dilandasi oleh nilai tertentu akan menunjukkan karakter yang
dimilikinya. Pengertian karakter di atas menunjukkan dua pengertian. Pertama,
ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku, dimana perilaku tersebut
merupakan manifestasi dari karakter. Orang yang berprilaku tidak jujur, tentu ia
memanifestasikan perilaku/karakter buruk. Sebaliknya, apabila orang berperilaku
jujur, tentu orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah
karakter berkaitan dengan dengan personality. Seseorang baru bisa
disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila tingkah
lakunya sesuai dengan kaidah moral (Muslich, 2013:71).
Istilah
karakter juga memiliki kedekatan makna dengan etika. Karena umumnya orang
dianggap memiliki karakter yang baik jika mampu bertindak berdasarkan
etika yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Etika adalah sebuah ilmu bukan
ajaran (Suseno, 1987:4). Istilah etika dalam bahasa Yunani dikenal dengan ethos
atau ethikos (etika) yang mengandung arti usaha manusia untuk memakai
akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup
menjadi baik. Etika dalam arti etimologi diidentikan dengan moral yang berarti
adat atau cara hidup (Maftukhin, 2007:194). Meskipun etika dan moral ini
sinonim, namun fokus kajian keduanya berbeda.
Pendidikan
karakter berarti sebagai usaha sengaja untuk mewujudkan kebajikan, yaitu
kualitas kemanusiaan yang baik secara obyektif, bukan hanya baik untuk
individu perseorangan tapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan.
Sedangkan Raharjo (2010) memaknai pendidikan karakter sebagai suatu proses
pendidikan secara holistik yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial
dalam kehidupan peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang
berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang
dapat dipertanggungjawabkan (Zubaedi, 2011:15).
Pendidikan karakter ini harus dipahami sebagai upaya
penanaman kecerdasan dalam pikiran, penghayatan dalam bentuk sikap dan
pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai luhur yang menjadi
jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi terhadap Tuhannya, diri sendiri, antar
sesama, dan lingkungannya (Samani dan Hariyanto, 2012:46). Nilai-nilai luhur
tersebut antara lain kejujuran, kemandirian, sopan santun, kemuliaan
sosial, kecerdasan berfikir termasuk rasa ingin tahu akan ilmu pengetahuan, dan
berfikir logis. Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter tidak bisa hanya
mentransfer pengetahuan atau melatih suatu keterampilan tertentu.
Penanaman karakter perlu proses, contoh keteladanan, dan pembiasaan atau
pembudayaan (Raka, dkk, 2011:58) dalam lingkungan peserta didik, baik
lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat termasuk media masa baik cetak
maupun elektronik.
Menurut
Thomas Lickona (1992:6), moral education is not a new idea. It is, in fact,
as old as education itself. Down through history, in countries all over the
world, education has had two great goals: to help young people become smart and
to help them become good.” Pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang baru,
karena pendidikan karakter merupakan arti dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing generasi muda
untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku baik.
Pendidikan
karakter dari sisi substansi dan tujuannnya sama dengan pendidikan budi
pekerti, sebagai sarana untuk mengadakan perubahan secara mendasar atas
individu. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris
diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian
antara lain: adat istiadat, sopan santun dan perilaku. Secara hakiki, budi
pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan
dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata krama, sopan santun dan
norma budaya dan adat istiadat masyarakat. Budi pekerti ini akan
mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam
perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasan, dan kepribadian manusia
(Zuriah, 2011:17).
b.
Nilai-Nilai Pendidikan
Karakter
Secara
substantif, karakter terdiri atas 3 (tiga) nilai operatif (operative value),
nilai-nilai dalam tindakan, atau tiga unjuk perilaku yang satu sama lain saling
berkaitan dan terdiri atas pengetahuan tentang moral (moral knowing/kognitif),
penghayatan moral (moral feeling/afektif), dan tindakan moral (moral
behavior/psikomotor). Karakter yang baik (good character) terdiri
atas proses-proses yang meliputi ketiga aspek tersebut (Samani dan Hariyanto,
2012:49)
Dalam
pendidikan karakter ada nilai-nilai etika inti yang harus dikembangkan seperti
kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan rasa hormat terhadap diri
dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti
ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang
baik (Muslich, 2013;129).
Kementerian
Pendidikan Nasional merumuskan 18 nilai karakter yang bersumber dari agama, Pancasila,
budaya, dan tujuan pendidikan nasional
yang akan ditanamkan dalam diri peserta didik sebagai upaya membangun karakter
bangsa, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur,
(3)
Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat
Kebangsaan,
(11) Cinta
Tanah
Air, (12) Menghargai
Prestasi,
(13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar
Membaca,
(16)
Peduli Lingkungan, (17)
Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Kemendiknas, 2009:9-10).
Meskipun telah dirumuskan 18 nilai pembentuk
karakter bangsa, namun satuan
pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya untuk melanjutkan nilai-nilai
prakondisi yang telah dikembangkan. Pemilihan nilai-nilai tersebut beranjak dari
kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing,
yang dilakukan melalui
analisis konteks, sehingga dalam implementasinya
dimungkinkan terdapat perbedaan jenis nilai karakter yang
dikembangkan antara satu sekolah dan atau daerah yang satu
dengan lainnya (Hasan, dkk, 2011:8). Implementasi nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari
nilai-nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan serta responsif terhadap isu sosial di
masyarakat.
Pendidikan
karakter secara terperinci memiliki lima tujuan (Zuriah, 2011:67). Pertama, mengembangkan potensi afektif peserta didik
sebagai manusia dan warga negara yang memiliki karakter bangsa. Kedua,
mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga,
menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai penerus
bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang
mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan
kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
kreativitas dan persahabatan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh
kekuatan.
Untuk
mencapai tujuan dari pendidikan karakter, terdapat tiga tahapan pendidikan
karakter yang harus lakukan (Lickona, 2013:85) agar terbentuk karakter yang
baik, yaitu:
1)
Moral Knowing, adalah langkah awal
dalam pendidikan karakter. Dalam tahap ini diorientasikan pada penguasaan
pengetahuan tentang nilai-nilai moral, kesadaran moral, penentuan sudut
pandang, logika moral, pengenalan diri dan keberanian menentukan sikap.
Penguasaan terhadap enam unsur ini menjadikan peserta didik mampu membedakan
nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai universal, dan memahami
akhlak mulia secara logis dan rasional bukan secara doktrin.
2)
Moral Feeling, merupakan penguat
aspek emosi untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan
bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu percaya diri, empati, cinta
kebenaran, pengendalian diri dan kerendahan hati. Tahapan ini untuk menumbuhkan
rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Jadi, yang menjadi
sasaran guru adalah dimensi emosi, hati, dan jiwa bukan kognitif, logika atau
akal.
3)
Moral Action, merupakan outcome
dan puncak keberhasilan peserta didik dalam pendidikan karakter. Wujud dari
tahapan ketiga ini adalah mempraktikkan nilai-nilai akhlak dalam perilaku
sehari-hari.
Ketiga tahapan di
atas perlu disuguhkan kepada peserta didik melalui cara-cara yang logis,
rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah
karakter (Hasan, 2010:9) :
1)
Religius,
yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama yang
dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, serta hidup rukun dan berdampingan.
2)
Jujur,
yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan,
dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan
yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang
dapat dipercaya.
3)
Toleransi,
yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan
agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan
hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat
hidup tenang di tengah perbedaan tersebut.
4)
Disiplin,
yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan
atau tata tertib yang berlaku.
5)
Kerja
keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan
sebaik-baiknya.
6)
Kreatif,
yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam
memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, hasil-hasil baru
yang lebih baik dari sebelumnya.
7)
Mandiri,
yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
berbagai tugas maupun persoalan.
8)
Demokratis,
yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban
secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9)
Rasa
ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan
penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan
dipelajari secara lebih mendalam.
10)
Semangat
kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan
golongan.
11)
Cinta
tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia,
peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik,
dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat
merugikan bangsa sendiri.
12)
Menghargai
prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui
kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih
tinggi.
13)
Komunikatif,
senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap
orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara
kolaboratif dengan baik.
14)
Cinta
damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang,
dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
15)
Gemar
membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara
khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran, dan
sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya.
16)
Peduli
lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan
melestarikan lingkungan sekitar.
17)
Peduli
sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang
lain maupun masyarakat yang membutuhkannya.
18)
Tanggung
jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, bangsa, negara,
maupun agama.
Untuk merespon gejala-gejala sosial yang muncul terlebih
gejala kemerosotan moral, maka peningkatan dan intensitas pelaksanaan
pendidikan moral yang merupakan bagian dari materi pendidikan Islam merupakan
tugas yang sangat urgen dan harus selalu dilaksanakan secara gradual dan
komprehensif serta dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses
pembelajaran atau pendidikan (Zuriah, 2011:115).
Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk
menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah-mentah konsep pendidikan moral,
tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi
yang memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan atau perilaku
moral.
Dalam teori pendidikan terdapat tiga domain dalam
taksonomi tujuan pendidikan. Pertama, domain kognitif yang menekankan aspek
untuk mengingat dan untuk mereproduksi informasi yang telah dipelajari, yaitu
untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide-ide dan materi
baru. Kedua, domain afektif yang menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi,
nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, domain
psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk melatih keterampilan seperti
menulis, teknik mengajar, berdagang, dan lain-lain. Idealnya ketiga domain
tersebut selaras dan saling melengkapi (Nata, 2013:299-303).[1]
Ketiga domain tersebut harus berjalan beriringan untuk membentuk generasi yang
cerdas dan berkarakter.
2.
KONSEP DASAR PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
Secara etimologis kata korupsi berarti : kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap tidak bermoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah. Kata Corruptio memiliki banyak arti namun sering samakan artinya dengan penyuapan. Menurut
Poerwadarminta dalam Kamus
Umum Bahasa
Indonesia, korupsi adalah perbuatan yang
buruk seperti pengertian
penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya
(Nurdjana, 2010:14).
Sedangkan Transparency
Internasional mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Nurdjana,
2010:15). Dalam perkembangan semantisnya, kata korupsi diartikan sesuai
perspektif yang dipakai, secara simplistik korupsi adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk kepentingan pribadi.
Terma korupsi
secara universal selama ini diartikan sebagai tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk
keuntungan pribadi, berakibat merugikan kepentingan umum dan negara.
Bentuk nyata tingkah laku korupsi bisa berwujud penggelapan, penyuapan,
penyogokan, gratifikasi, manipulasi data administrasi keuangan (termasuk mark
up), pemerasan, penyelundupan, jual-beli dukungan politik dan perbuatan sejenis
lainnya (Puspito, dkk, 2011:25).
Menurut
perspektif hukum, definisi korupsi dijelaskan dalam UU No. 20 Tahun 2001.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh
bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan ; kerugian keuangan
negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang,
benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi. Pasal-pasal tersebut
menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi (KPK, 2005:20).
Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan melawan
hukum yang berupa penyimpangan kekuasaan dan jabatan, privatisasi fasilitas,
penyuapan atau penyogokan, penipuan (KPK, 2005:3). Kejahatan korupsi lebih
eksplisit lagi karena adanya kerugian yang diakibatkan dari tindakan korupsi,
seperti kerugian uang negara secara materiil. Oleh karenanya dapat diketahui
bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur di dalamnya: pertama,
penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat
atau aparatur negara, kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau golongan di
atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.
Dalam konteks
dunia pendidikan, definisi korupsi diatas bisa diperluas cakupannya. Perbuatan
seperti berbohong, menyontek saat ujian, penggunaan fasilitas sekolah untuk
kepentingan pribadi, manipulasi laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
(termasuk mark up), dan lain sebagainya. Dengan demikian, korupsi merupakan
tindakan yang menyimpang, tidak sesuai dengan aturan, ketidakjujuran dan
merugikan orang lain. Bahkan tindakan-tindakan koruptif tersebut mudah sekali
kita temukan dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung lazim dilakukan oleh
masyarakat. Tindakan tersebut seakan-akan menjadi kebiasaan yang lumrah tanpa
ada rasa malu dan bersalah karena dianggap sudah menjadi budaya dan dilakukan
banyak orang.
Masyarakat
pada umumnya menggunakan
istilah korupsi untuk merujuk kepada serangkaian tindakan-tindakan terlarang
atau melawan hukum dalam rangka mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain. Perilaku korupsi
bagi masyarakat umum penekanannya
terletak pada penyalahgunaan kekuasaan
atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi.
Pendidikan
antikorupsi merupakan usaha sadar untuk memberikan pemahaman dan pengenalan
nilai-nilai antikorupsi (knowing), penghayatan nilai-nilai antikorupsi (feeling),
pengamalan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari (action)
dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan melalui pendidikan
formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga) dan pendidikan nonformal
(masyarakat) (Wibowo, 2013:38-39).
Antikorupsi
merupakan sikap tidak setuju, tidak suka dan tidak senang terhadap tindakan
korupsi. Antikorupsi merupakan sikap antipati yang dapat mencegah dan
menghilangkan peluang bagi berkembangnya tindakan korupsi (Kemenag, 2013:6).
Dalam konteks antikorupsi, pencegahan adalah upaya meningkatkan kesadaran
individu untuk tidak korupsi dan mengubah persepsi serta sikap terhadap
korupsi.
Pada dasarnya
korupsi merupakan perilaku yang dimunculkan oleh individu secara sadar dan
disengaja. Secara psikologis terdapat beberapa komponen yang menyebabkan
perilaku tersebut muncul. Setiap perilaku yang dilakukan secara sadar berasal
dari potensi perilaku (perilaku yang belum terwujud secara nyata), yang disebut
dengan istilah intensi (Wade dan Tavris: 2007). Potensi intensi perilaku
tersebut adalah sikap, yang terdiri dari tiga faktor yaitu kognisi, afeksi dan
psikomotor, ketiganya bersinergi membentuk suatu perilaku tertentu (Azwar:
2006). Dengan demikian, perilaku korupsi/antikorupsi yang dimunculkan oleh
individu didasari oleh adanya intensi perilaku korupsi/antikorupsi yang
didalamnya terjadi sinergi tiga faktor kognisi, afeksi dan psikomotorik. Metode
pendidikan antikorupsi harus mensinergikan ketiga komponen tersebut secara
seimbang, sehingga benar-benar dapat berfungsi untuk memperkuat potensi
perilaku antikorupsi peserta didik (Puspito, dkk, 2011: 6). Pada dasarnya potensi
antikorupsi ada pada diri setiap individu peserta didik, dan tugas guru adalah untuk
memperkuat potensi tersebut.
Terkait
intensi perilaku antikorupsi, terdapat 3 (tiga) komponen utama pembentuk
intensi perilaku yaitu (Fishbein dan Ajzen, 1975:301):
a.
Attitude
Toward Behavior (ATB) : yang dipengaruhi oleh behavioral
belief, yaitu evaluasi positif ataupun negatif terhadap suatu perilaku
tertentu tercermin dalam kata-kata seperti, benar-salah, setuju-tidak setuju,
baik-buruk, dan lain-lain. Evaluasi negatif terhadap perilaku korupsi dan
evaluasi positif terhadap antikorupsi akan meningkatkan intensi (potensi) untuk
berperilaku anti-korupsi.
b.
Subjective
Norms (SN) : yang dipengaruhi oleh subjective norms
di sekeliling individu yang mengharapkan si individu berperilaku tertentu atau
tidak. Misal norma agama, norma sosial, norma keluarga, atau ketika orang-orang
yang penting bagi individu atau cenderung dipatuhi oleh individu menganggap
perilaku anti-korupsi sebagai hal positif, maka akan meningkatkan intensi (potensi)
berperilaku antikorupsi.
c.
Control
Belief (CB) : yang dipengaruhi oleh perceived
behavior control, yaitu acuan
kesulitan dan kemudahan untuk memunculkan suatu perilaku. Ini berkaitan dengan
sumber dan kesempatan untuk mewujudkan perilaku tersebut. Misalnya lingkungan
disekeliling individu yang korup atau
kesempatan korupsi yang besar/mudah akan meningkatkan intensi individu untuk
melakukan perilaku korupsi, dan sebaliknya.
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan harus
didukung secara paralel dengan perbaikan integritas oleh pemerintah dan
masyarakat. Sedangkan di dalam pendidikan itu sendiri, pengajar (guru) harus mampu
memainkan perannya sebagai motivator bagi para peserta didik.
Relevansi pendidikan
antikorupsi didasarkan keyakinan,
nilai, serta pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan. Oleh
karena problematika korupsi menyangkut nilai dari suatu sikap atau perilaku
yang bertentangan dengan yang diidealkan, maka pendekatannya adalah melalui
pendidikan nilai guna memupuk dan melahirkan sikap tegas yang responsif terhadap
problem-problem sosial seperti korupsi (Wibowo, 2013:36).
Mengacu pada berbagai aspek yang dapat
menjadi penyebab terjadinya korupsi, dapat dikatakan bahwa penyebab korupsi
terdiri atas faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datangnya dari diri
pribadi atau individu, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan atau
sistem. Upaya pencegahan korupsi pada dasarnya dapat dilakukan dengan
menghilangkan atau mengurangi kedua faktor penyebab korupsi tersebut (Puspito, dkk,
2011:75).
Faktor internal sangat ditentukan oleh kuat tidaknya
nilai-nilai anti korupsi tertanam dalam diri setiap individu. Nilai-nilai antikorupsi
tersebut antara lain : (a) kejujuran, (b) kemandirian, (c) kedisiplinan, (d) tanggung
jawab, (e) kerja keras, (f) sederhana, (g) keberanian, (h) kepedulian dan (i) keadilan.
Nilai-nilai antikorupsi itu perlu diterapkan oleh setiap individu untuk dapat
mengatasi faktor eksternal agar korupsi tidak terjadi. Untuk mencegah
terjadinya faktor eksternal, setiap individu juga perlu memahami
prinsip-prinsip antikorupsi yaitu akuntabilitas, transparansi, kewajaran,
kebijakan, dan kontrol kebijakan dalam suatu institusi / masyarakat (Puspito, dkk,
2011:75). Oleh karena itu hubungan antara prinsip-prinsip dan nilai-nilai antikorupsi
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
3.
HUBUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN
ANTIKORUPSI
Dari argumentasi diatas, bisa ditarik sebuah benang
merah antara pendidikan karakter dan pendidikan antikorupsi. Keduanya memiliki
hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Artinya bahwa nilai-nilai pendidikan
antikorupsi merupakan bagian dari pendidikan karakter. Sebagaimana tertuang
dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Dengan demikian, secara substantif tujuan pendidikan adalah
pendidikan karakter.
Nilai-nilai yang terkandung
dalam pendidikan antikorupsi merupakan bagian dari pendidikan karakter. Sebuah
karakter yang dibangun diatas landasan kejujuran, integritas dan keluhuran.
Pendidikan antikorupsi bagi anak-anak perlu ditanamkan sejak usia dini karena mereka
juga mempunyai potensi berperilaku negatif. Misalnya, berbohong, mencontek saat
ujian, mengambil barang milik orang lain dan lain sebagainya.
Pendidikan antikorupsi harus
ditumbuhkan sejak dini, dalam pendidikan formal sebagai upaya pencegahan tindakan-tindakan
koruptif. Upaya pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu dapat
dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa
Indonesia melalui pendidikan. Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian
adalah penanaman pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi melalui sekolah,
karena sekolah adalah proses pembudayaan.
Pendidikan
antikorupsi merupakan usaha sadar untuk memberikan pemahaman dan pengenalan
nilai-nilai antikorupsi (knowing), penghayatan nilai-nilai antikorupsi (feeling),
pengamalan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari (action)
dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan melalui pendidikan
formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga) dan pendidikan nonformal
(masyarakat) (Wibowo, 2013:38).
Dalam
konteks pendidikan antikorupsi ini yang penting untuk ditekankan ialah tujuan
pendidikan nilai, bukan kemahiran menjelaskan tentang nilai-nilai, tetapi juga
menggunakan pengetahuan tentang kepatuhan terhadap nilai-nilai untuk diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pelaksanaan konsep pendidikan antikorupsi
dapat mendorong lahirnya generasi yang mampu memperbarui sistem nilai akan tercapai
dengan baik.
Pendidikan karakter (watak)
adalah pendidikan nilai, dimana hakikat pendidikan nilai adalah menghantarkan
peserta didik mengenali, mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai, moral dan
keyakinan agama untuk memasuki kehidupan budaya zamannya (Adisusilo, 2013:70). Namun
realitas pendidikan sekarang menempatkan nilai-nilai pendidikan hanya berhenti
pada teori dan indoktrinasi. Pendidikan nilai mestinya lebih ditekankan pada
pemahaman, diteruskan dengan penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai.
Masalah serius yang dihadapi
dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah moralitas. Mendidik manusia yang
cerdas dan terampil relatif lebih mudah dibandingkan dengan mendidik manusia
yang bermoral. Oleh karena itu, kita memerlukan pendidikan moral, yaitu
pendidikan yang memiliki komitmen tentang langkah-langkah apa yang seharusnya
dilakukan pendidik untuk mengarahkan generasi muda pada nilai-nilai (values)
dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik
(good people) (Zubaedi, 2005:5).
Kebijakan bidang pendidikan
di Indonesia justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk melihat secara
lebih komprehensif masalah kualitas pendidikan. Secara periodik, kurikulum selalu
berganti dan disempurnakan. Akan tetapi, pada tataran praksis alih-alih
memperbaiki kualitas pendidikan, justru semakin memperburuk kualitas pendidikan
di Indonesia.
Pemberlakukan Ujian Nasional (UN) sebagai
penentu kelulusan di lembaga pendidikan adalah contoh yang relevan. Memang
masalah UN selalu menimbulkan pro dan kontra. Namun jika kita cermati lebih
dalam, UN memiliki andil besar dalam mendistorsi proses pendidikan di
Indonesia. Artinya bahwa pendidikan yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003) menjadi
semakin tidak realistis.
Pemberlakukan UN yang
dijadikan standar kelulusan dengan nilai tiga mata pelajaran : Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika telah mendistorsi tujuan pendidikan
sedemikian rupa. Orientasi pendidikan menjadi sekadar memenuhi target “lulus”,
dengan menghalalkan berbagai macam cara yang tidak etis.
Fenomena ini menjadi isu
yang sangat populer dibicarakan dalam masyarakat, bahkan sudah menjadi rahasia
umum. Para siswa dibebani dengan keharusan lulus ujian dengan standar nilai
minimum yang ditetapkan pemerintah, para guru secara psikologis terbebani jika
siswanya tidak lulus. Berbagai cara ditempuh oleh guru, siswa, dan lembaga
pendidikan demi mengejar prosentase kelulusan 100 persen. Adanya guru yang
memberi contekan, adanya anjuran untuk saling memberi jawaban kepada sesama murid,
pembentukan tim sukses di sekolah/madrasah untuk “meluluskan siswa” menunjukkan
terjadinya “kebobrokan” dalam proses pendidikan. Proses pendidikan yang
bertujuan mencerdaskan, membentuk sikap dan keterampilan peserta didik justru
dinodai oleh lembaga pendidikan dan para pendidik sendiri.
Lembaga pendidikan sebagai
pusat transfer of knowledge, dan transfer of value terkebiri
fungsinya hanya sebagai “bimbingan belajar” soal-soal ujian. Yang paling parah
adalah tidak adanya norma yang bisa diteladani oleh peserta didik karena proses
pendidikan yang mereka tempuh dirusak oleh “penghalalan” segala cara untuk
lulus ujian. Akibatnya, nilai-nilai kejujuran menjadi kehilangan makna karena
secara sistematis para pendidik dan lembaga pendidikan mengajarkan dan memberi
contoh untuk melanggarnya. Nilai-nilai ini secara tidak diinternalisasikan kepada
peserta didik, generasi masa depan yang diharapkan menjunjung nilai-nilai
kejujuran dan kebajikan.
Hal ini secara tidak
langsung sangat berpengaruh terhadap kepribadian peserta didik, karena
pembentukan kepribadian manusia menurut Peter Poole (2002) sebagaimana dikutip
Muslich (2013:43) ditentukan oleh proses sosialisasi, baik yang sengaja
dilakukan maupun yang tidak sengaja. Sosialisasi yang sengaja dilakukan biasanya
sudah terencana, misalnya dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan
pembentukan watak dan kepribadian. Sosialisasi tidak sengaja adalah apa yang
disaksikan dan dialami oleh peserta didik di dalam interaksi sosialnya.
Nilai-nilai yang tidak sengaja ditanamkan kadangkala lebih kuat perannya dalam
membentuk kepribadian seseorang (Narwoko dan Suyanto, 2004:66).
Pendidikan idealnya harus menjadi
sarana pembentuk karakter. Pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966) mengatakan
bahwa hakikat utama pendidikan adalah pembentukan karakter. Dalam pandangan
Foerster, ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yakni keteraturan
interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai, koherensi
yang memberi keberanian, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada
situasi baru, memberikan otonomi dalam menginternalisasikan aturan luar menjadi
nilai bagi pribadi, dan membangun keteguhan dan kesetiaan dalam memperjuangkan
kebenaran dan keadilan (Adisusilo, 2013:78). Kematangan empat nilai dasar Foerster
tersebut akan membentuk manusia dari tahap individualitas menuju personalitas.
Dengan keempat nilai dasar itulah akan lahir seorang pribadi yang tangguh dan
siap menerjang ketimpangan yang melanda masyarakat.
Pendidikan
karakter ini harus dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran,
penghayatan dalam bentuk sikap dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai
dengan nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi
terhadap Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya (Samani dan
Hariyanto, 2012:46). Nilai-nilai luhur tersebut antara lain
kejujuran, kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial, kecerdasan
berfikir termasuk rasa ingin tahu akan ilmu pengetahuan, dan berfikir logis.
Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter tidak bisa hanya mentransfer
pengetahuan atau melatih suatu ketrampilan tertentu. Penanaman karakter
perlu proses, keteladanan, dan pembiasaan atau pembudayaan (Zubaedi, 2011:17)
dalam lingkungan peserta didik, baik di lingkungan sekolah, keluarga,
masyarakat maupun lingkungan media massa.
4.
PENERAPAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DI SEKOLAH
Pendidikan karakter pada dasarnya proses
menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan
baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan
didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan.
Dengan demikian,
karakter yang dibangun melalui pendidikan karakter adalah memunculkan perilaku
yang berkembang menjadi kebiasaan baik terjadi karena adanya dorongan dari
dalam, bukan adanya paksaan dari luar. Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai pada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melakukan nilai-nilai ini.
Adapun strategi
pengembangan karakter pada satuan pendidikan atau sekolah secara holistic
(the whole school reform). Sekolah sebagai leading sector, berupaya
memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk
menginisiasi, memperbaiki, menguatkan dan menyempurnakan secara terus menerus
proses pendidikan karakter di sekolah (Samani dan Hariyanto, 2012:112).
Secara mikro
pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat langkah, yakni kegiatan
belajar mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk penciptaan budaya
sekolah (school culture); kegiatan ko kurikuler atau ekstrakurikuler,
serta kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat. (Hasan, 2011:14). Dalam
kegiatan belajar mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter bisa dilakukan
dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embedded
approach)). Khusus untuk mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan,
karena memang misinya mengembangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter
harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode
pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata pelajaran
tersebut nilai karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional
effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effect). Sementara itu
untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain
pembangunan karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak
pengiring berkembangnya karakter dalam diri peserta didik
(Samani dan Hariyanto, 2012:113).
Dalam lingkungan
sekolah dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosio-kultural memungkinkan para
peserta didik bersama dengan warga sekolah terbiasa membangun kegiatan
keseharian di sekolah yang mencerminkan nilai/karakter. Melalui langkah ini
akan terbangun budaya sekolah (school culture) yang mencerminkan
nilai-nilai karakter seperti budaya bersih, disiplin, kritis, sopan santun dan
toleransi. Budaya sekolah diyakini merupakan salah satu aspek yang berpengaruh
terhadap perkembangan anak. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah
dimana peserta didik berinteraksi terhadap sesamanya, guru dengan guru,
konselor dengan peserta didik, dan anggota kelompok masyarakat dengan warga
sekolah. Nilai karakter yang dikembangkan dalam budaya sekolah seperti
kepemimpinan, keteladana, keramahan, toleransi, rasa keangsaan dan tanggung
jawab (Zubaedi, 2011:201).
Dalam pendidikan antikorupsi
di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk
komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
Untuk
mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah perlu diupayakan dengan
pendekatan holistis, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam
setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan holistik dalam pendidikan karakter
memiliki indikasi sebagai berikut (Zubaedi, 2011:195):
a.
Segala
kegiatan di sekolah diatur berdasarkan sinergitas-kolaborasi hubungan antar
siswa, guru dan masyarakat.
b.
Pembelajaran
emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
c.
Kerjasama
dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan
persaingan
d.
Nilai-nilai
seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran
sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
e.
Siswa
diberikan banyak kesempatan untuk mempraktikkan prilaku moralnya melalui
kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberi pelayanan
f.
Disiplin
dan pengelolaan kelas menjadi focus dalam memecahkan masalah dibandingkan
hadiah dan hukuman
g.
Model
pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi
dimana guru dan siswa membangun kesatuan, norma dan memecahkan masalah
Sementara itu,
peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan
karakter bisa melalui empat langkah:
a.
Mengumpulkan
guru, orang tua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan
mendefinisikan unsur-unsur karakter yang ingin ditekankan
b.
Memberi
pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke
dalam kehidupan dan budaya sekolah
c.
Menjalin
kerjasama dengan orang tua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa
perilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya
d.
Memberi
kesempatan kepada kepala sekolah, guru dan orang tua serta masyarakat untuk
menjadi model pelaku sosial dan moral (Zubaedi,
2011:196)
Pada lingkungan
keluarga, orang tua/wali mengupayakan pendidikan antikorupsi melalui kegiatan
keseharian di rumah, untuk memperkuat hasil pendidikan karakter yang di lakukan
sekolah. Pada lingkungan masyarakat, tokoh-tokoh/pemuka masyarakat mengupayakan
pendidikan antikorupsi melalui kegiatan keseharian di tengah-tengah masyarakat
sebagai upaya memeperkuat hasil pendidikan antikorupsi di sekolah dan keluarga.
Pola kolaboratif
ketiga institusi ini dalam berbagi peran ketika mendidik karakter anak didik
tidak bisa ditawar lagi sesuai dengan meningkatnya kompleksitas dan kesulitan
dalam pendidikan karakter pada era sekarang. Kompleksitas dan kesulitan yang
lebih tinggi ini merupakan dampak dari factor perkembangan ilmu
pengetahuan dan budaya yang lebih massif dibandingkan dengan era-era sebelumnya
(Zubaedi, 2011:203). Thomas Lickona (2012:57) mengungkapkan bahwa sinergi orang
tua, guru, tenaga kependidikan, dan kepala sekolah dalam pembentukan karakter
peserta didik mutlak diperlukan. Hanya dengan demikian, akan terbentuk iklim
atau atmosfer sekolah yang kondusif bagi persemaian nilai-nilai luhur yang
disepakati.
Secara teori, ada dua
pendekatan dalam menerapkan pendidikan antikorupsi di sekolah. Pertama,
pendidikan antikorupsi diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Kedua,
pendidikan antikorupsi diposisikan sebagai misi setiap mata pelajaran atau
diintegrasiakan ke dalam setiap mata pelajaran. Agaknya pendekatan yang kedua
yang menjadi pilihan dalam implementasi pendidikan antikorupsi di
sekolah-sekolah (Zubaedi, 2011:269).
Secara mikro, pendidikan antikorupsi dapat diintegrasikan
dalam kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler. Perencanaan dan pelaksanaannya
dilakukan oleh kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan secara
bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik. Pendidikan antikorupsi ini
diterapkan ke dalam kurikulum melalui (Muslich, 2013:175-177):
a.
Program pengembangan diri
Perencanaan
dan pelaksanaan pendidikan karakter dalam program pengembangan diri dilakukan
melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah, yaitu kegiatan
rutin sekolah, kegiatan spontan, teladan dan pengkondisian.
b.
Pengintegrasian ke dalam
semua mata pelajaran
Pendidikan
karakter pada dasarnya melekat pada setiap mata pelajaran, karena pada setiap
mata pelajaran memiliki nilai-nilai karakter yang harus dicapai peserta didik.
Di sini dibutuhkan kerja keras guru untuk menemukan sekaligus merumuskan nilai antikorupsi
yang terdapat pada mata pelajaran yang diajarkannya. Langkah guru dalam
mengintegrasikan nilai antikorupsi dimulai dari merumuskan nilai karakter
kedalam silabus dan RPP untuk selanjutnya dilaksanakan dalam
pembelajaran. Pengembangan nilai antikorupsi dalam silabus ditempuh dengan cara
: mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar apakah kandungan nilai antikorupsi
sudah tercakup di dalamnya, memperlihatkan keterkaitan Standar Kompetensi (SK) /
Kompetensi Dasar (KD) dan indikator untuk menentukan nilai antikorupsi yang
dikembangkan, mengembangkan proses pembelajaran peserta didik aktif dan
memungkinkan peserta didik melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya
dalam perilaku, dan memberi bantuan peserta didik yang kesulitan
menginternalisasikan nilai antikorupsi (Wibowo, 2013:58).
Untuk
mengintegrasikan pendidikan antikorupsi ke dalam semua mata pelajaran
dibutuhkan kerjasama sinergis-kolaboratif antar semua mata pelajaran.
Masing-masing mata pelajaran memiliki fungsi dan peran dalam menanamkan nilai
karakter. Mata pelajaran PAI dan PKn membangun akhlak dan moral perlu mendapat
dukungan dari mata pelajaran yang lain seperti pendidikan jasmani, sains,
matematika dan lain-lain (Zuriah, 2011:76). Dengan pertimbangan ini, semua mata
pelajaran perlu didesain dengan bermuatan penguatan karakter peserta didik.
c.
Pengintegrasian ke dalam
kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler
Penanaman
nilai antikorupsi dapat ditanamkan melalui kegiatan- kegiatan di luar pembelajaran misalnya dalam kegiatan
ekstrakurikuler atau kegiatan insidental.
Penanaman nilai dengan model ini lebih mengutamakan
pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk dibahas dan dikupas nilai-nilai hidupnya.
Model ini dapat dilaksanakan oleh guru sekolah/madrasah yang bersangkutan yang mendapat tugas tersebut atau dipercayakan pada lembaga
di luar sekolah/madrasah untuk
melakukannya, misalnya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Kemenag,
2013:10).
d.
Pembiasaan
Sekolah seyogyanya menerapkan totalitas
pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan
pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga apa yang dilihat,
didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta didik adalah bermuatan
pendidikan antikorupsi. Penciptaan lingkungan di sekolah dapat dilakukan
melalui: penugasan, pembiasaan, pelatihan, pengajaran, pengarahan, dan
keteladanan.
Pelaksanaan pendidikan antikorupsi sudah memasuki tahun keempat setelah dicanangkannya oleh kemendikbud, namun kenyataan di
lapangan (di sekolah-sekolah) belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan
kualitasnya. Nilai-nilai budi pekerti belum sepenuhnya terakomodir oleh materi
pendidikan agama dan materi pendidikan kewarganegaraan. Disamping itu, materi
agama dan budi pekerti yang disampaikan oleh guru agama masih bersifat normatif
dan “melangit”. Dalam pengertian, rumusan tujuannya bersifat teosentris
dan abstrak. Hal ini bukannya tidak sah, tetapi cenderung mengabaikan realitas,
dimana peserta didik hidup dan berinteraksi. Sehingga pendidikan agama dianggap
belum bisa memperkuat moralitas peserta didik.
Model
pengintegrasian pendidikan karakter pada semua mata pelajaran, termasuk
pengintegrasian pada program kokurikuler dan ekstrakurikuler, juga belum dapat
dilaksanakan dengan optimal, baik oleh pemerintah maupun pelaku pendidikan
(kepala sekolah dan guru). Secara umum, ada empat kelemahan yang menyebabkan
pendidikan karakter belum optimal. Pertama, guru belum memahami
sepenuhnya bagaimana menintegrasikan nilai karakter pada masing-masing materi
pelajaran. Sehingga ketika menyantumkan nilai karakter saat penyusunan silabus
dan RPP terkesan asal yang penting ada bunyi nilai karakter “formalitas”. Kedua,
karena Silabus dan RPP hanya sebagai formalitas, maka dalam proses
pembelajaran berjalan secara konvensional sesuai gaya guru masing-masing dan
tidak mencerminkan peaksanaan dari silabus dan RPP, sehingga pesan penanaman
nilai karakter juga tidak terealisasikan. Ketiga, masih kuatnya
orientasi pendidikan pada dimensi pengetahuan (cognitive oriented) dan
kurang memperhatikan aspek pengembangan sikap (Muslich, 2013:18). Hal
ini menyebabkan para peserta didik mengetahui banyak hal, namun kurang memiliki
sitem nilai, sikap, minat maupun apresiasi secara positif terhadap apa yang
diketahuinya. Keempat, masih kuatnya asumsi bahwa jika aspek
perkembangan kognitif dikembangkan secara benar maka aspek afektif akan ikut
berkembang (Suyanto, 2000:153). Asumsi ini salah mengingat pengembangan
afektif bisa secepat perkembangan kognitif, jika pengalaman pembelajaran
afektif diberikan sama banyaknya dengan pengalaman pembelajaran kognitif .
Sampai saat ini,
mungkin pola pendekatan pembiasaan dan keteladanan masih sangat efektif
untuk menanamkan nilai karakter atau budi pekerti peserta didik. Pembiasaan
berarti pola kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan. Dengan pola
pembiasaan, dapat muncul nilai-nilai karakter seperti disiplin, tanggungjawab,
jujur, peduli, dan tentunya religius. Pola pembiasaan dan keteladanan ini dapat
kita lihat dari pola pembelajaran di pondok pesantren, sekolah/madrasah yang menerapkan
sistem asrama dan lain-lain.
C.
KESIMPULAN
pendidikan antikorupsi
merupakan keniscayaan guna mengurangi krisis multidimensi yang melanda
Indonesia. Agar efektif maka pendidikan karakter ini harus melibatkan
tiga basis. Pertama, basis kelas, dimana terjadi relasi antara guru dan peserta
didik. Kedua, basis kultur sekolah yaitu membangun kultur sekolah yang mampu
membentuk karakter peserta didik, dan ketiga, basis komunitas, yaitu keluarga,
masyarakat dan negara juga harus membangun karakter yang tercerminkan dalam
pola kehidupan sehari-hari.
Sekolah atau
lembaga pendidikan sebagai salah satu basis dalam pengembangan pendidikan
karakter harus mampu mengimplementasikan pendidikan antikorupsi dengan pendekatan
holistis, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek
kehidupan sekolah dengan menggunakan berbagai pendekatan. Disini dibutuhkan
keseriusan seluruh komponen yang ada (kepala sekolah, guru, dan tenaga
kependidikan) dan pemerintah.
Daftar Pustaka
Abdullah,
M. Yatimin, 2007, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, Jakarta:
Amzah.
Adisusilo, J.R., Sutarjo, 2013, Pembelajaran
Nilai Karakter, Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran
Afektif, Jakarta : Raja Grafindo.
Azwar, S., 2006, Sikap Manusia :
Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Fishbein, M., dan Ajzein, I., 1975, Belief,
Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research, Sydney
: Addison-Wesley Publishing.
Hasan,
Hamid, dkk., 2011, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta:
Puskurbuk Balitbang Kemendiknas.
Hasan,
Said Hamid, dkk., 2010, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa,
Bahan Pelatihan Penguatan Metode Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Bangsa, Jakarta:
Puskur Balitbang Kemendiknas.
Kementerian Agama
RI, 2013, Panduan Penyelenggaran Pendidikan Antikorupsi di Madrasah,
Jakarta : Kemenag.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
2005, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta : KPK.
Lestari, S. dan Ngatini, 2010, Pendidikan Islam
Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Lickona, Thomas, 2013, Mendidik untuk Membentuk
Karakter, Bagaimana Sekolah dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan Tanggung Jawab,
terj. Juma Abdu Wamaungo, Jakarta : Bumi Aksara.
----------, 1992, Educating for Character, How
Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York : Bantam Books.
Madjid, Abdul, 2012, Pendidikan Karakter Perspektif
Islam, Bandung: Rosdakarya.
Maftukhin, 2007, “ Etika Imperatif Kategoris” dalam Filsafat
Barat, Yogyakarta: Arruz Media.
Maksudin, 2013, Pendidikan Karakter
Nondikotomik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Muin, Fathul, 2011, Pendidikan Karakter: Konstruksi
Teoritik dan Praktik Jogjakarta: Ar Ruzz.
Muslich, Masnur, 2013, Pendidikan Karakter,
Menjawab Tantangan Krisis Multidimensi, Jakarta : Bumi Aksara.
Narwoko, J. Dwi & Bagong Suyanto, 2004,
Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, Jakarta: Prenada Media.
Nata, Abuddin, 2013, Pemikiran
Pendidikan Islam dan Barat, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Nurdjana, Igm, 2010, Sistem Hukum Pidana dan
Bahaya Laten Korupsi, Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Puspito, Nanang T., dkk., 2011, Pendidikan Anti-Korupsi
untuk Perguruan Tinggi, Jakarta : Dirjen Dikti Kemendikbud.
Samani, Muchlas dan Hariyanto, 2012, Konsep
dan Model Pendidikan Karakter, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Suseno, Franz Magnis, 1987, Etika Dasar, Jakarta:
Pusat Filosof.
Suyanto, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di
Indonesia Memasuki Millennium Ketiga, Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa.
Undang-Undang No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Depdiknas.
Wade, C., dan Tavris, C., 2007, Psikologi,
Jakarta : Penerbit Erlangga
Wibowo, Agus, 2013, Pendidikan
Antikorupsi di Sekolah, Strategi Internalisasi Pendidikan Antikorupsi di
Sekolah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Zubaedi, 2005, Pendidikan Berbasis Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
----------, 2011, Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi
dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta : Kencana.
Zuriah, Nurul, 2011, Pendidikan Moral
dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, Menggagas Platfom Pendidikan Budi
Pekerti secara Kontekstual dan Futuristik, Jakarta : Bumi Aksara.
[1] Dalam konteks
pendidikan karakter (nilai) menurut Thomas Lickona (1992) ada tiga komponen
yang juga saling bersinergi sehingga bisa menghasilkan karakter yang baik yaitu
: pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral
feeling), dan perbuatan moral (moral action) (Muslich, 2013:133-136),
lihat penjelasan lebih lengkap Thomas Lickona (2013:85-99)